Pria muda berpostur lumayan tinggi duduk santai di kursi kerjanya seorang diri. Banyak pikiran menjejaki dan bayangan sekilas pertemuan tidak terduga itu. Ia menganggap bahwa gadis yang baru saja ia temui sudah tidak ada. Menghilang seolah di telan bumi, tetapi hampir satu bulan mereka bertemu kembali. Tepat di gedung perusahaan milik partner kerja samanya.
Sudah dua kali ia bertemu dan kemarin adalah kali kedua pertemuan mereka secara tiba-tiba. Bahkan bisa dilihat bagaimana reaksi gadis itu kala ia mencoba untuk mendekat. Bukan apa-apa, di sisi lain hanya ingin memastikan bahwa gadis itulah yang menghilang.
Ketukan pintu mengubah atensi kedua mata lelaki tersebut dari tembok kosong di hadapan. Masuk sekretaris Brian yang sudah berdiri menghadap.
"Bagaimana? Apa yang kau dapatkan?"
"Mohon maaf, Pak. Kami sudah mencari tahu tentang Liora, tapi dia tidak bisa terdeteksi."
"Apa?"
Pria itu berdiri dengan raut terkejut, tidak luput menggebrak meja.
"Tidak ada yang bisa menemukan tentang dia, seolah semuanya tertutup."
Ia mengerut dan berkata, "Apakah ada hubungannya dengan Liam?"
"Sepertinya, iya. Hanya orang seperti Liam Mallory yang bisa melakukan itu, Pak."
"Lalu, ada hubungan apa mereka?"
"Setelah kami telusuri, memang ada hubungan yang sulit di jelaskan antara mereka. Karena, tidak ada yang tahu termasuk seluruh pegawai di kantornya."
Lagi-lagi pria itu mendengus. "Aku tidak mau tahu. Kau harus mencari mengenai mereka berdua."
Ia menatap ke arah lain. "Liam bukanlah orang sembarangan. Dia tidak mungkin dengan mudah memungut seorang gadis di jalanan."
•••
Pintu terbuka pada kamar kosong di lantai dua rumah besar Liam. Gadis itu membuka sedikit lebar seraya tatapan mengelilingi mencari seseorang. Ketika mendengar dan memastikan bahwa sang suami sedang ada di kamar mandi. Segera Liora masuk lalu berjalan menuju lemari.
Sudah menjadi tugasnya dalam menyiapkan pakaian suami setiap pagi. Selama beberapa lama, Liam tidak pernah protes apapun baju kerja yang di pilihkan oleh Liora. Pria itu menggunakannya saja seolah baju kerja itulah yang harus ia kenakan. Mengambil dasi pada lemari kecil, Liora yakin kali ini suaminya akan menggunakan baju yang di siapkannya.
Ponsel di nakas berbunyi, gadis yang tengah menenteng jas hitam segera menoleh. Meletakkan jas di atas ranjang lalu menutup pintu lemari. Langkahnya menuju pada ponsel Liam menandakan ada yang menelepon.
Kepalanya menunduk menatap nama kontak di ponsel tersebut. Masih takut untuk mengambil dan menjawab, lebih baik melihat siapa yang menelepon suaminya pagi-pagi seperti ini.
"Camille?"
"Apa yang kau lakukan?"
Kedua bahu itu menaik terkejut kala suara Liam tepat di belakangnya sekaligus bunyi ponsel menghilang. Ia berbalik dengan cepat dan menatap.
"A-ada yang meneleponmu," ucapnya.
Liam mengerut bingung, mengambil satu langkah dan meraih ponsel. Melihat nama kontak panggilan tidak terjawab yang bertengger di layar.
Terdengar pria itu mendengus kemudian sedikit melirik sang istri yang masih berdiri di sana.
"Tidak penting."
Tanpa menghiraukan tatapan Liora yang tersentak kaget. Liam memilih mengambil baju kerja untuk di bawa ke dalam ruang ganti. Meninggalkan Liora sendirian penuh penantian kepastian.
"Apa maksudnya? Sudah jelas yang menghubunginya mantan kekasih."
Kekesalan menancap di hati dan ia bawa menuruni tangga menuju meja makan. Duduk penuh kediaman, sehingga mendapatkan atensi seluruh pelayan. Pasalnya, Liora hanya membisu dan raut wajah yang sedikit kesal, tidak ada senyuman sama sekali. Jika di telurusi lebih jelas, ada raut sedih di sana.
Diomira yang tengah menuangkan air ke dalam gelas tidak luput menatap sang Nyonya.
"Nona, Anda baik-baik saja?"
Gadis itu hanya mengangguk tanpa menatap si penanya. Lagi ia mendengus lalu menumpu kepala pada kedua tangan di atas meja.
"Bibi, bagaimana jika rencana ini tidak berjalan mulus?"
Diomira menaikkan alis kemudian meletakkan teko berlapis emas.
"Maksud, Nona?"
Si gadis menganggukkan kepala. "Seseorang itu datang, Bi." Menghela nafas. "Jika, dia masih menginginkannya. Bagaimana denganku?"
Masih tanpa menatap kepala pelayan di rumah itu.
"Siapa yang—"
Suara deheman lumayan keras membuat Diomira bungkam. Tidak melanjutkan ucapan dan memilih menggeser tubuh guna memberi ruang kepada majikan untuk duduk di kursinya. Liora juga langsung mengangkat kepala menatap sumber tersebut.
"Bibi, buatkan teh hangat untukku."
"Baik, Tuan."
Diomira bergegas pergi meninggalkan kawasan ruang makan. Liam masih sibuk mengancingkan lengan jas di sebelah kiri dengan tangan kanan. Sedangkan, Liora seolah tidak peduli. Pagi ini semangatnya menghilang di sebabkan dengan kehadiran sosok mantan kekasih Liam di ponsel pria itu.
Liam berdehem mencoba menarik perhatian sang istri. Namun, Liora hanya menatap malas lalu berdiri. Namun, sang pria seketika bersuara membuat ia berhenti.
"Kenapa berdiri?"
"Maaf, sepertinya aku tidak enak badan."
Ingin mengambil langkah untuk pergi, tiba-tiba saja Wyman hadir dengan tergesa berlari. Menarik tatapan pasangan suami istri tersebut.
"Tuan Muda Liam."
Si pria mengerut tidak suka. "Wyman, ada apa?"
"Liam!"
Suara nyaring hampir menggema di rumah itu kala seseorang hadir menyapa. Sehingga pelayan ikut keluar dari bersemayam dengan pekerjaannya. Menatap sosok wanita sudah berdiri dekat meja makan. Senyuman bahagia tidak lepas dari wajahnya, berhasil merenggut atensi semua orang di ruangan itu.
"Camille?" Liam mengerut.
"Karena kau tidak menjawab panggilanku. Jadi, apa salahnya aku ke sini?"
Kedua tangan Liam mengepal mendengar jawaban Camille dengan penuh senyuman. Gadis itu seolah tidak peduli apapun, melakukan semaunya. Ia menatap Wyman yang berdiri gugup sebab sudah membiarkan Camille masuk ke dalam rumah.
Namun, Liam kembali menelisik sosok mantan kekasihnya itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Camille menarik kedua sudut bibirnya. "Bertemu denganmu. Bukankah, kau akan ke kantor pagi ini? Bagaimana kalau aku temani?"
Satu-satunya gadis yang sudah menjadi istri Tuan Liam Mallory di sana hanya diam. Ia berada di belakang Liam, namun masih bisa bersetatap dengan Camille. Bahkan, Liora menunjukkan tatapan tidak suka begitupun sebaliknya. Keduanya saling mengetahui satu sama lain tanpa mereka berkenalan lebih dulu.
Di sisi Camille yang pasti sudah menebak bahwa gadis mungil di belakang Liam adalah istri pemuda itu. Ia mengetahui semua pelayan di sini dan yang paling muda adalah Grizel. Tetapi, ada satu gadis asing yang langsung bisa membuat Camille mengerti.
"Camille, aku peringatkan padamu bahwa orang asing tidak di perbolehkan masuk ke dalam rumah ini."
"Apakah aku orang asing? Semuanya di sini mengenalku."
Camille menyahut dengan lugas, langkahnya menghampiri barisan pelayan yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Satu pelayan muda yang tengah menunduk. "Grizel." Camille memanggil.
Ia melangkah lagi menyusuri beberapa pelayan di sana.
"Yang pertama adalah Grizel, lalu Bionza, Davina, Bonanza, Gritte, Alika, Laurence, Molly, Rizane, Anne, dan Saffina."
Gadis itu menyebut pelayan satu per satu seraya menghampiri. Sampai di depan sang kepala pelayan di sana.
Ia tersenyum simpul. "Bibi Diomira." Kemudian berbalik menatap sosok pria berumur di sebelah Liam. "Ah, dan Wyman. Aku mengenal mereka semua."
Menyilangkan kedua tangan di dada sembari menghela nafas. Kemudian melirik satu gadis yang sudah ada di dekatnya, tepat di belakang Liam.
"Dan gadis ini ..."
Liam sontak menatap tajam sumber suara. "Pergilah."
Camille menukik alisnya. "Liam, siapa gadis ini?"
"Camille, aku bilang pergi."
Liora hanya menundukkan kepala sebab tatapan Camille dari dekat terlihat sangat tajam.
"Aku tidak pernah tahu." Beralih memandang Liam dan melanjutkan, "Apa ada pelayan baru di sini?"
"Camille!"
Bentakan Liam tiba-tiba membuat semua orang terkejut, terlebih Liora yang berdiri dekat dengan pria itu.
"Aku sudah memperingatkanmu!" Tatapannya dingin dan tajam ia layangkan.
Sedangkan si empu hanya menghembuskan nafas.
"Apa kau mengusirku?"
"Pergi!"
"Kemarin kau mengatakan rindu padaku. Apa kau bercanda?"
Liam mengalihkan pandang pada yang lain kemudian mendongak sebentar.
"Jangan memperkeruh keadaan."
"Tidak. Aku hanya memastikan, apakah kau baik-baik saja? Setelah mengatakan rindu padaku. Kau tidak menjawab teleponku, Liam." Camille tanpa beban menjelaskan, sedikit melirik Liora.
"Aku merasakan pelukanmu sangat tulus dengan jelas bahwa kau memang rindu padaku. Aku yakin, Liam tidak akan pernah berbohong."
Pria itu memejamkan mata kesal.
"Kita sudah tidak ada urusan atau hubungan lagi."
Camille seolah menghiraukan perkataan pria itu dan memilih menghampiri Liora yang masih menunduk.
Mengulurkan tangan. "Perkenalkan, aku Camille Auristela. Cinta pertama Liam."