"Apa yang kau lakukan di sini?"
Gadis bersurai cokelat duduk pada sofa, sedangkan Liam memilih kursi kerjanya. Ia sembari memeriksa beberapa dokumen tanpa menatap satu gadis di ruangan itu.
"Aku tidak ingin berpisah denganmu. Kita ... kita bisa memperbaiki semuanya, kan?"
Kedua bola mata Liam masih sibuk memutar mengamati kertas-kertas dalam genggamannya.
Ia berkata, "Apa kau sudah lupa yang aku katakan kemarin?"
Camille sejak tadi menatap pria itu meskipun tanpa balasan.
"Aku ingat."
"Pahami dan resapi. Jangan asal berpikir seolah kau bisa melakukan apapun."
"Tapi, Liam, aku masih mencintaimu dan aku yakin kau juga sama."
Ia menarik satu sudut bibirnya. "Apa kau tidak mengenalku? Siapapun yang melakukan itu, aku tidak akan memaafkannya."
"Aku meninggalkanmu karena ada alasannya, Liam."
"Simpan saja." Masih tanpa menatap.
Raut wajah Camille kesal melihat Liam tidak menanggapinya dengan benar.
"Apa pekerjaan itu lebih penting daripada aku?" suaranya terdengar ketus.
"Kau bukan yang dulu lagi sehingga aku perlu menatapmu lebih sering. Pekerjaanku tentu lebih penting."
"Liam!" Camille berdiri di barengi pekikan kecil, tidak luput menatap marah pria itu.
Liam menghembuskan nafas, tangannya berhenti bekerja dan melepaskan pen di atas kertas. Sedangkan, gadis di depannya masih menatap dengan nafas memburu. Ada raut kesal sekaligus kecewa di sana.
"Apa kau ingin kita berakhir begitu saja?"
Liam mendongak. "Bukan aku yang melakukan itu lebih dulu."
Ia sungguh tidak mengerti apa tujuan Camille sebenarnya melakukan itu semua. Dia pergi meninggalkan pernikahan begitu saja lalu kembali seolah tidak terjadi apa-apa. Gadis itu bahkan seakan memperjuangkan hubungan mereka yang rasanya sudah kandas di pinggir jalan.
"Iya, aku tahu. Aku yang salah telah meninggalkanmu. Tapi, sekarang aku sadar bahwa tidak seharusnya aku melakukan itu."
Kabar kesedihan terpancar di kedua mata Camille. Detik kemudian air mata mengalir perlahan membasahi pipi diikuti sesak tangis yang semakin menggebu.
"Liam, maafkan aku," lirihnya.
Sejak tangisan muncul, sosok tegap Liam tidak bergerak sama sekali. Masih menatap si gadis yang menangis sesegukan dengan beberapa kali mengusap air mata di pipi. Perasaannya seketika melemah diikuti denging akan sebuah rindu yang ternyata selalu melanda.
"Camille."
Serak tutur panggilan Liam seraya penuh atensi pada si gadis.
"Apa kau merindukanku?"
Pertanyaan pelan dibalas anggukan cepat oleh Camille. Segera mengambil langkah lebar Liam menabrakkan diri memeluknya erat. Raut wajah penuh rindu yang dulu sulit bertemu, namun di tutupi rasa semakin kecewa yang perlahan tumbuh.
Tidak membuang waktu Camille membalas pelukannya lebih erat dengan tangis yang semakin terdengar. Liam menyembunyikan kepala pada tengkuk si gadis seraya mengusap lurus surainya.
"Aku merindukanmu." Camille berkata memburu tangis.
Liam mengangguk dan membalas, "Aku tahu."
"Ka-kau juga rindu padaku, kan?"
Tanpa sadar ia mengangguk lagi sembari memejamkan mata.
"Aku sangat merindukanmu."
Mereka saling mengeratkan pelukan untuk mempertemukan rindu yang menggebu tanpa temu. Tidak menyadari bahwa ada suatu perubahan dari hasil perpisahan. Semuanya di singkirkan dengan mengikuti perasaan merindu yang menyebabkan semua bisu.
•••
"Nona, apakah boleh jika saya ikut seperti ini?"
"Tidak apa, Grizel. Aku akan bicara padanya nanti. Lagian, ada dua pengawal yang menjaga kita."
"Tapi, Nona. Anda belum meminta izin apakah saya boleh ikut atau tidak."
Gadis yang membawa keranjang rotan di kedua tangan itu tersenyum.
"Jika tidak boleh, maka kau jangan menampakkan diri."
"Nona Liora, bagaimana jika Tuan Muda mengetahuinya?"
"Itu tidak akan terjadi."
Grizel terus berjalan mengikuti langkah sang Nyonya. Ia juga sedikit khawatir jika Tuan Liam tidak menyetujui Grizel untuk menemani Liora ke kantornya. Bukankah, sang Nyonya hanya boleh bersama pengawalnya saja?
"Nona." Langkah berhenti dengan panggilan cepat dari Grizel.
Gadis pelayan itu sedikit melirik pengawal yang mengikuti mereka di belakang. Kemudian berbalik menatap Liora yang sudah tersenyum.
"Grizel, aku pikir tidak masalah kau menemaniku. Dia pasti bisa mengerti."
"Nona yakin?" Liora menganggukkan kepala.
"Aku akan bicara padanya bahwa kau hanya menemaniku untuk ke sini. Kau tahu, kan, aku merasa sangat tidak nyaman dengan dua pengawal." Sedikit nada pelan dan hati-hati pada kalimat terakhir.
Grizel mengangguk-anggukkan kepala, berhasil membuat Liora menyunggingkan senyuman. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan diikuti dua pengawal di belakang. Sampai di depan elevator yang baru saja terbuka dengan satu orang di dalam. Liora bergegas ingin masuk tanpa sadar menabrak seseorang yang melangkah ke luar.
Seorang perempuan berdecak kesal dengan menatap nyalang.
"Ah, maafkan saya."
Liora membungkuk satu kali diikuti Grizel seraya meminta maaf. Sedangkan yang ditabrak hanya menatap dua pengawal di belakang mereka berdua. Kemudian beralih pada dua perempuan di hadapan. Raut wajahnya masih penuh kesal sampai akhirnya ia melanjutkan perjalanan tanpa membalas apapun.
Grizel mendongak mencoba untuk mengetahui orang tersebut hanya bisa menatap punggung yang semakin menjauh. Kedua alisnya mengerut dengan pikiran melayang seolah tahu siapa orang yang baru saja tertubruk oleh sang Nyonya.
Berbeda dengan Liora tengah mendengus menatap kepergian orang yang baru saja ia tubruk. Liora berpikir orang itu mungkin marah sebab tidak sengaja ia senggol, ada rasa menyesal dalam lubuk hati Liora. Maka dari itu, dia tidak menjawab permintaan maafnya dan langsung pergi begitu saja.
"Nona, Anda baik-baik saja?"
Beralih pada Grizel dan menganggukkan kepala dengan raut menyesal. "Aku sungguh tidak sengaja."
Grizel menggeleng dan berkata, "Tidak apa-apa, Nona. Jangan di pikirkan."
Mengelus lembut kedua bahu Liora dari samping kemudian menarik perlahan untuk masuk ke dalam elevator. Tidak lama mereka sampai di lantai atas dan berjalan menuju ruangan milik Liam Mallory. Bersamaan dengan itu pintu terbuka menampilkan Liam yang langsung memanggil sekretaris. Namun, pandangan terkejut mendapati sang istri di hadapan.
Liora tersenyum simpul menghampiri bersama Grizel.
"Apa kau sibuk?" tanyanya.
Sang pria berdehem lantas mengangguk sekali. "Apa yang kau lakukan di sini?" Sedikit melirik pada Grizel yang menunduk.
Dua pengawal jaraknya sedikit jauh, tetapi masih dalam memantau.
"Eum, Grizel hanya menemaniku. Bolehkah?"
Liam menatap dan mengangguk lagi, di hadiahi senyuman senang dari sang istri.
"Aku tahu, kau tidak sarapan pagi ini. Jadi, aku membawa makanan untukmu. Ka-kau tidak boleh terlambat sarapan, kan?"
Sebenarnya, Liora sangat gugup sebab tiba-tiba hadir di kantor Liam tanpa memberitahu lebih dulu. Di tengah perbincangan sepi itu, sosok sekretaris Liam datang dan mencomot atensi Liora.
"Lain kali, beritahu aku jika kau akan datang." Di balas anggukan.
"Berikan pada Elva, dia akan meletakkannya di ruanganku."
Elva mengangguk pada Liora yang sudah mengulurkan keranjang rotan kecil berisi makanan itu.
"Terimakasih," ucapnya pelan sehingga mendapat balasan senyuman manis Elva.
"Lebih baik pulanglah. Aku masih sangat sibuk."
Liam menatap satu-satunya pelayan di sana. "Grizel, pulang sampai ke rumah. Jangan pergi kemanapun."
"Baik, Tuan." Grizel mematuhi perintah dengan anggukan.
Pria itu lantas berbalik menatap istrinya. "Aku akan pulang malam, jangan menungguku."
Tanpa menunggu lama, Liora mengangguk-anggukkan kepala. Ia tidak bisa berkata lebih sebab Liam mungkin memang sangat sibuk. Mencoba untuk mengerti dan tidak mengganggu suaminya bekerja.
"Aku akan pulang. Kau ... jangan lupa sarapan."
Liam mengangguk tanpa membalas raut wajah apapun. Bersama satu pelayan dan dua pengawal perlahan Liora berbalik pergi.
Pria itu menghela nafas lantas beralih menatap sekretarisnya.
"Elva, Tuan Raymond sudah datang?"
"Beliau masih dalam perjalan, Pak."
Raymond?
Suara percakapan suami dengan sekretaris masih terdengar di telinga Liora. Ia berhenti melangkah dan mencoba berbalik, tetapi Liam sudah tidak ada.
"Nona, ada apa?"
Grizel bertanya setelah melihat raut terkejut sang Nyonya.
"Anda baik-baik saja?"
Gadis itu menggeleng. "Tidak ada apa-apa."
Ia menggenggam tangan pelayan tersebut untuk ditariknya berjalan menuju elevator. Sampai pada lantai bawah masih dalam kediaman. Rematan erat dari kedua tangan Liora di lengan Grizel, berhasil membuat pelayan itu bingung. Kedua alisnya mengerut seraya menatap Liora yang hanya diam saja.
"Grizel, cepatlah."
Sedikit menarik untuk berlari kecil menyusuri koridor gedung besar itu. Tatapan Liora takut-takut memandangi satu per satu orang yang berlalu-lalang melewati mereka. Hingga sampai pada titik tepat di depan pintu gedung mendapati seseorang yang langsung berhenti berjalan kala menatap Liora penuh tajam.
Nafasnya memburu diikuti remasan pada lengan Grizel. Langkah kaki semakin cepat menarik untuk keluar gedung.
"Cepatlah, Grizel." Sambil memekik di tengah pelarian mereka.
Grizel yang bingung hanya bisa menurut saja seraya mencoba untuk menenangkan sang Nyonya.
"Nona, ada apa? Kenapa Anda—"
"Aku mohon." Mendengar lirihan Liora membuat Grizel terdiam.
Kecemasan kentara di wajah Liora juga semakin menumbuhkan perasaan cemas dalam diri Grizel. Mobil datang dengan secepat kilat Liora membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.
"Lioraa!"
"Nona, Anda—"
Grizel sudah masuk dan menyambut pelukan erat Liora yang berusaha menyembunyikan wajahnya. Ia tahu ada seseorang yang selalu menatap mereka sejak di koridor gedung tersebut. Bahkan teriakan pria itu terdengar meskipun mereka sudah di dalam mobil. Terdapat dari jendela, Grizel bisa melihat pria asing itu mencoba menghampiri.
"Liora!"
Berteriak memanggil nama sang Nyonya, berhasil membuat Grizel cemas. Apalagi, pelukan kencang Liora yang terlihat ketakutan.
"Nona, tenanglah."
Bersamaan dengan mobil yang melaju, meninggalkan sosok pria asing yang berteriak bahkan sedikit mengejar mobil mereka. Grizel merasakan kepalan kedua tangan Liora dan tubuhnya yang gemetar. Sepertinya, sang Nyonya sungguh ketakutan. Nafasnya terdengar tidak teratur dan jantungnya berdetak cepat. Keringat dingin membasahi kening, segera Grizel usap dengan tisu perlahan.
"Nona, tenangkan diri Anda. Sekarang kita sudah aman."
Di sisi Grizel mengetahui bahwa orang asing yang berteriak memanggil itu sepertinya sangat berpengaruh bagi sang Nyonya.