Chereads / Savior Husband / Chapter 20 - Bagian 20 : Perhatian

Chapter 20 - Bagian 20 : Perhatian

"Aku pikir seharusnya ..."

Liam mengerut kala melihat bahwa sang lawan bicara tidak sungguh mendengarkan. Ia berhenti berkutat pada laptop dan memilih menatap pria di sebrang meja lebar berbentuk lonjong tersebut. Hanya ada mereka berdua di ruangan rapat karena memang berjanji untuk membahas kerja sama.

"Permisi, Tuan Raymond."

Pria yang di panggil tersentak segera membenarkan cara duduk menjadi rapi. Menatap Liam di seberang yang mengerut bingung.

"Ah, maaf, aku ..."

"Apakah ada masalah?" tanya Liam.

Raymond menggeleng cepat. "Tidak, hanya sedikit memikirkan sesuatu."

"Sepertinya ada yang mengganggumu."

Sedikit menggeleng lagi seraya memejamkan mata. "Tidak masalah. Kau bisa melanjutkannya."

Liam menghela nafas, kedua tangan melepaskan satu kancing jas kantornya.

"Jika kau ada masalah, pertemuan bisa di lanjutkan lain hari. Aku tidak menerima kerja sama dengan orang yang tidak bisa membedakan pekerjaan dan masalah pribadi."

Pria itu menutup laptop dan mematikan layar. Berdiri dari duduknya yang berhasil merenggut atensi Raymond sepenuhnya.

"Kau harus menyelesaikan masalahmu terlebih dulu. Jika tidak, itu bisa mengganggu pekerjaanmu. Lain kali, kita membuat janji untuk pertemuan lagi. Terimakasih."

Tanpa menunggu jawaban sang lawan, Liam melenggos pergi begitu saja keluar ruangan. Meninggalkan sosok Raymond yang menatap sedikit kesal.

Ia berdecih, "Sial!" umpatnya.

Merogoh ponsel dalam saku jas lalu mendial nomor sekretaris.

"Brian, Liora masih hidup. Cari dimana dia berada."

Secepat kilat mematikan sambungan kemudian berdiri meninggalkan ruangan tersebut.

•••

Mobil klasik berstatus Aston Martin DB5 itu menyinggahi kawasan rumah besar yang mewah di tengah kota. Sosok pria tinggi berwibawa muncul dari pintu mobil dengan material panel aluminium langka tersebut. Berjalan diikuti asistennya yang bernama Xavier Wyman. Pintu utama terbuka menampakkan beberapa pelayan menyambut seperti yang seharusnya.

Pandangan Liam satu persatu mengelilingi ujung tempat itu. Sehingga berhenti tepat pada ruang tamu yang sepi dan kosong. Ia menatap Diomira masih diam sejak tadi kemudian Grizel yang menundukkan kepala.

"Bibi, aku ingin segelas kopi."

Diomira mendongak. "Baik, Tuan."

Segera setelah itu Liam ingin melangkah pergi, tetapi Grizel menengahi.

"Tu-tuan Liam."

Pria itu menatap. "Ada apa?" tanyanya.

"Tuan, maafkan saya tentang hari ini yang tidak sengaja menemani Nyonya Liora."

"Tidak masalah. Asalkan semua baik-baik saja." Ia menghela nafas.

Grizel mengangkat kepala. "Tapi Tuan, sejak pulang dari kantor, Nyonya mengurung dirinya di kamar dan belum keluar hingga sekarang."

Liam mengerut dengan raut sedikit terkejut. "Apa?"

Pelayan muda itu mengangguk. "Iya, Tuan. Saya tidak tahu persis, tetapi ada seseorang yang mengikuti kami saat pulang tadi siang."

"Di mana?"

"Di depan gedung kantor. Nyonya terlihat ketakutan ketika seseorang itu berteriak memanggilnya. Beruntung mobil sudah bergerak menjauh dan pengawal juga menengahi."

"Apa dia menangis?"

Grizel menggeleng perlahan. "Saya tidak tahu, Tuan. Nyonya Liora hanya diam saja dan mengurung diri di dalam kamar."

Pria itu berbalik menatap Diomira dan berkata, "Bibi, ambilkan kunci cadangan."

"Baik, Tuan."

Dengan langkah cepat Liam menaiki tangga diikuti Grizel dan Diomira yang sudah membawa kunci cadangan. Berdiri di depan pintu kamarnya, tangan Liam menekan gagang pintu dan mencoba mendorong, tetapi terkunci dari dalam. Ia segera mengambil kunci pada Diomira. Memutar kunci di lubang pintu dan tepat benda itu terbuka.

Keadaan sinar temaram, Liam menekan saklar lampu di tembok. Mendapati sosok gadis tengah berdiri menghadap jendela panjang vertikal di sana. Kedua pelayan pergi menuruti perintah Liam. Langkah kaki diambil perlahan mendekati sosok yang sejak tadi hanya diam. Seolah tidak menyadari akan kehadiran seseorang di ruangan itu.

Tidak jauh Liam berada di belakang, berdehem pelan sampai mendapati kedua bahu gadis di hadapan menaik. Si gadis berbalik dengan raut penuh terkejut menatap Liam yang sudah hadir.

"Ka-kau."

"Apa yang kau lakukan? Kenapa mengunci pintu seperti itu?" Liam langsung bertanya.

Liora menggeleng. "Maafkan aku."

Mendapati keadaan sang istri yang terlihat jauh dari kata baik. Liam mencoba mendekat dengan berbagai pertanyaan.

"Kau baik-baik saja?" Dibalas anggukan pelan.

"Sungguh?" Menyusuri seluruh tubuh Liora masih menggunakan baju yang sama saat di kantor tadi siang.

Gadis itu mengangguk lagi. "A-aku akan menyiapkan makan malam untukmu."

"Sudah Bibi yang menyiapkannya. Lebih baik, kau bersihkan dirimu."

Liora mendongak berseborok dengan mata biru sang suami. Saat itu juga, Liam dapat menemukan jejak air mata di pipi. Tatapan sedih dan rasa takut masih terlihat jelas.

Si pria menghela nafas. "Grizel mengatakan ada yang mengikuti kalian. Apa kau mengenalnya?"

Dapat terlihat oleh Liam bahwa seketika mata si gadis membulat sedikit. Namun, langsung diredupkan dengan berbagai cara.

"Katakan padaku. Kau mengenalnya atau tidak?" tanyanya lagi.

Liora menggeleng cepat. "Tidak, aku tidak ... tahu siapa."

Sebenarnya Liam sangat penasaran tentang keadaan Liora. Tetapi, istrinya tidak semudah untuk menceritakan segalanya. Sampai saat ini, Liam tidak pernah tahu siapa Liora sebenarnya. Apakah dia sebatang kara?

Apakah dia memiliki keluarga?

Gadis itu hanya diam seolah dia memang tidak memiliki siapa-siapa. Seakan dia hanya seorang diri di dunia ini. Lalu, apa jawaban jika Liam bertanya kala pertemuan pertama mereka?

Ia menemukan Liora dalam keadaan tidak sadarkan diri dan penuh luka. Liam sangat ingin tahu apa yang sudah terjadi. Cepat atau lambat, ia harus mencari tahu misteri tentang istrinya.

"Ka-kalau begitu, silakan kau membersihkan diri lebih dulu. Aku akan turun membantu Bibi."

"Kau menangis?"

Jejak air mata tidak bisa hilang secepatnya. Liam melihat raut wajah si gadis yang berantakan.

Seketika kedua tangan Liora mengusap cepat pipinya. "Tidak."

Satu langkah Liam mendekat. "Mulai besok, tidak boleh keluar rumah kecuali sangat penting. Jika, orang itu berbahaya untukmu. Katakan padaku, aku akan melenyapkannya."

Tanpa sadar kedua telapak tangan Liam menyentuh manis pipi si gadis. Mengangkat perlahan untuk menatap mata yang masih sedikit basah itu. Melihat dengan jarak dekat membuat jantung Liam berdetak kencang. Tidak tahu apa yang tengah ia rasakan. Hanya saja, hati dan pikirannya seolah ingin melindungi gadis di hadapannya itu.

Terlihat sangat rapuh, lemah, dan siratan akan sebuah pertolongan. Namun, Liam masih belum memahami fakta yang sesungguhnya terjadi. Ia belum tahu pasti apa yang sangat dirasakan oleh si gadis. Apa masalahnya?

Dan sebuah pertolongan seperti apa?

Pria itu menghancurkan tatapan dengan pengalihan pada jendela.

"Baiklah. Kau belum makan malam, kan? Ayo, kita makan."

Liora menggeleng dan membalas, "Aku tidak lapar."

"Apa kau sarapan tadi pagi?" Gadis itu mengangguk.

"Aku sudah menghabiskan makanan yang kau siapkan tadi siang. Sekarang aku lapar karena belum makan malam."

Ia menggenggam tangan dingin istrinya. "Kita makan bersama."

Tidak ada perlawanan kala Liam menarik sang istri untuk keluar kamar dan menuju ruang makan. Sampai dengan keadaan meja sudah terdapat beberapa makanan dan sup panas.

Mereka duduk bersama dan Liam yang mengambil alih guna meletakkan sendok pada sup panas milik sang istri.

"Makanlah. Menikmati sup panas di malam hari dapat menghangatkan tubuh dan mengembalikan energimu."

Perlahan Liora meraih sendok kemudian menyeruput sup setelah ditiupnya sebentar. Atensi Liam tetap pada Liora seolah menunggu jawaban yang semestinya.

"Terimakasih."

Meskipun suara lirih, tetapi Liam bisa mendengarnya dengan jelas. Pria itu mengangguk satu kali lalu mulai menikmati sup miliknya tanpa ada gangguan. Mereka hanya berdua di meja makan sebab Liam sudah memerintahkan pelayan untuk pergi.

Menghabiskan waktu beberapa lama keheningan dalam makan malam mereka. Tidak ada yang ingin memulai percakapan sampai Liora berkata bahwa ia sudah selesai.

"Aku akan membereskan semuanya."

Inginnya Liora berdiri, tetapi Liam mencekal pergelangan tangan. Sontak mereka saling menatap hingga Liam menghentikan.

"Bibi Diomira yang akan membersihkannya."

Liora menggeleng pelan seraya menyentuh tangan suami.

Tersenyum tipis. "Tidak masalah. Aku bisa membersihkan semuanya. Jangan cemaskan aku. Aku baik-baik saja."

Senyuman tipis yang Liam dapatkan berhasil membuatnya diam. Ia melepaskan cekalan tangan dan menatap bagaimana Liora mengambil mangkuk sup Liam yang sudah kosong.

"Terimakasih banyak, atas perhatianmu."

Setelah itu Liora berlalu menuju dapur meninggalkan Liam bertambah diam seribu bahasa. Entahlah, hatinya menghangat kala sang istri mengatakan kalimat tersebut di tambah senyuman kekuatan dan bahagia terpancar di kedua matanya.

Wyman yang baru datang menatap Liam melamun tanpa bergerak.

"Tuan," panggilnya.

Tetapi, Liam sama sekali tidak membalas apapun.

"Tuan Liam!" Sedikit menaikkan nada membuat si empu terkejut.

Sesaat mendapati bahwa kehadiran Wyman menghasilkan dengusan Liam.

"Anda baik-baik saja, Tuan?" Sang lawan mengangguk meyakinkan.

"Apakah Anda memanggil saya?"

"Iya, ikut ke ruanganku."

Liam berdiri lalu berjalan menuju ruang kerja diikuti Wyman. Setelah pintu tertutup hanya ada mereka berdua. Liam menatap luar jendela lebar di sana, sedangkan Wyman berdiri di belakang menunggu pembicaraan.

"Wyman, periksa seluruh CCTV dan cari tentang seseorang yang mengejar istriku hari ini."