Chereads / Savior Husband / Chapter 17 - Bagian 17 : Datang Kembali

Chapter 17 - Bagian 17 : Datang Kembali

Tangan kekar Liam menekan gagang pintu ruangan kantornya. Ia dorong cepat dan mendapati seseorang yang sudah berdiri dekat meja kerja. Gadis berkemeja putih dibalut jaket denim berwarna cokelat dengan jeans biru. Surai hitam mengkilat sepinggang dengan raut senyuman kentara di kedua sudut bibir.

Berbeda dengan Liam yang sudah mengepalkan kedua tangan. Tatapan tajam menyambar dengan gelutan amarah mulai menguasai. Perasaan kesal dan banyak pertanyaan yang ingin ia utarakan, tetapi Liam mengurungkan. Sudah terlanjur sakit hati akan perbuatan gadis di depannya itu sekaligus membuat Liam kecewa. Meninggalkan pernikahan mereka begitu saja tanpa berdiskusi.

"Apa yang kau lakukan di sini?" ketusnya.

Pria itu tidak berniat untuk masuk, masih berdiri di ambang pintu sendirian. Enggan hanya untuk satu ruangan dengan mantan kekasihnya.

"Aku ..."

"Pergilah."

"Liam." Si gadis cantik mendongak.

"Aku tahu, aku salah telah meninggalkanmu hari itu. Tapi—"

"Cukup. Aku tidak perlu alasan apapun. Semua sudah berakhir, maka tidak ada yang harus dijelaskan."

"Liam, aku mohon dengarkan aku dulu."

Gadis itu mencoba untuk menghampiri sang pria.

"Camille, jangan mendekat!"

Sang pria melayangkan tangan kanan guna meminta gadis itu berhenti melangkah.

"Aku masih mencintaimu," lirihnya.

Liam berdecih mengalihkan pandang pada yang lain. Setelah dia pergi dan seenaknya kembali mengatakan tentang cinta. Ia muak seketika melihat wajah sedih gadis di depannya. Di tambah melihat penampilannya yang berubah, sepertinya Camille menikmati hari-hari di Prancis. Sangat terawat bak model papan atas.

Ia sudah tahu bahwa Camille pergi untuk menjadi seorang model internasional. Dia rela meninggalkan pernikahan demi hadir di acara Fashion Show Prancis. Liam mengetahui itu semua setelah hari kedua pernikahannya.

"Liam, ka-kau masih mencintaiku, kan?"

"Aku pikir ... kau lebih baik pergi."

"Aku minta maaf." Camille menyahut cepat dan menundukkan kepala.

Si pria menggeleng-gelengkan kepala. "Sudah terlambat," ucapnya.

Camille mendongak perlahan menatap terkejut pada Liam. "Apa yang sudah terlambat? Aku kembali untuk memperbaiki semuanya. Aku sudah siap untuk menikah."

Liam berdecak menatap nyalang lawan bicara. Ia tahu pasti bahwa Camille belum mengetahui apapun. Dia terlalu menikmati hidupnya tanpa peduli lagi pada Liam.

"Aku bilang sudah terlambat. Memangnya, kau percaya aku akan membatalkan pernikahan itu?"

Camille mengerut. "Apa maksudmu?"

Gadis yang menjadi mantan kekasihnya itu tidak sepolos yang di pikirkan. Camille adalah seorang model majalah, dia memiliki mimpi menjadi model Internasional bahkan Prancis menjadi negara idamannya. Liam sangat tahu bahwa Camille bukanlah gadis yang begitu mudah. Di tambah dia sangat kuat dan pemberani. Camille bisa melakukan apapun yang dia inginkan bahkan dengan cara kotor sekalipun.

Liam menghela nafas. "Aku sudah menikah."

"Apa?!" Camille memekik terkejut.

Raut wajah dan tatapan tajam ia layangkan pada Liam yang hanya diam tanpa beban.

"Aku tidak akan pernah membatalkan apapun rencana yang sudah aku setujui. Percuma kau kembali, kau bukan siapa-siapaku lagi."

"Siapa yang kau nikahi? Kau memiliki perempuan lain?" Camille masih menuntut pertanyaan.

"Bukan urusanmu." 

Camille menatap kesal pria di ambang pintu itu. Kedua tangan sudah mengepal di sisinya.

"Aku membutuhkan penjelasanmu."

"Dan aku tidak pernah bertanya kenapa kau pergi di hari pernikahan kita. Aku tidak membutuhkan alasanmu itu. Lalu, kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?"

Liam melangkah masuk seraya berkata, "Pergilah atau aku akan memberitahu pengawalku untuk menyeretmu detik ini juga."

Camille sontak menggeleng keras, ia menghampiri Liam dan memeluk pria itu dari belakang. Liam berhenti melangkah dan hanya diam tanpa membalas apapun.

"Aku tidak ingin pergi. Aku yakin, kau tidak akan menikah semudah itu."

"Nyatanya, aku sudah memiliki seorang istri."

Camille menggeleng-gelengkan kepala seraya menangis. "Aku tidak percaya."

Dengusan kasar terdengar. "Aku tidak peduli, kau percaya atau tidak."

"Liam, kita sudah berjanji bahwa kita akan menikah apapun yang terjadi."

Pria itu sedikit kasar melepaskan diri dari pelukan erat Camille. Ia berdiri di depan meja kerja dan menatap gadis di depannya.

"Kita juga sudah berjanji tidak akan ada yang pergi. Tapi, kau sendiri yang sudah melanggar janji itu. Meninggalkanku begitu saja tanpa menjelaskan apapun. Jika begitu caramu, aku juga bisa melakukan yang lebih dari itu."

Camille mendongak dengan wajah tangisnya. "Jadi, kau balas dendam padaku?"

Pria itu menarik salah satu sudut bibirnya tanpa menjawab.

"Kau balas dendam padaku karena aku meninggalkanmu? Apa kau sadar yang telah kau lakukan?" Camille hampir berteriak di depan Liam.

Sang pria hanya diam dengan wajah datar.

"Pergilah." Ia berbalik untuk duduk pada kursi.

Tangannya mengambil gagang telepon kantor dan di dekatkan pada telinga.

"Ke ruanganku sekarang."

Tidak lama dua pengawal Liam sudah berdiri di depan pintu. Sedangkan, Camille masih diam menatap tajam pria yang tengah fokus pada dokumen dalam genggaman. Camille menepalkan kedua tangan, raut wajah masih kentara bahwa ada amarah di sana.

Liam mendongak mendapati dua pengawalnya sudah hadir. Ia hanya mengangkat dagu sebagai perintah, pengawal yang mengerti pun segera masuk dan menyeret satu-satunya gadis di ruangan itu.

"Lepaskan aku! Liam, kau tidak bisa melakukan ini padaku!" teriak Camille seraya meronta dalam cekalan pengawal-pengawal tersebut.

"Aku masih mencintaimu!"

BRAK!

Pintu tertutup rapat seketika meninggalkan keheningan antara Liam dan ruangan. Sebenarnya ia tidak begitu yakin akan kalimatnya tadi, tetapi karena perbuatan Camille yang membuat Liam sakit hati. Ia tidak bermaksud untuk balas dendam, hanya saja ingin memberikan pelajaran kepada gadis itu.

Liam mengetahui semua alasan kenapa Camille memilih ke Prancis adalah demi impiannya. Namun, Liam tidak terima gadis itu pergi tepat di satu hari pernikahan mereka. Itu menandakan bahwa Camille tidak peduli dengan perasaan Liam, tidak memikirkan apa yang akan terjadi jika pernikahan batal. Bukan hanya membuat malu dirinya, tetapi Liam tidak ingin Ayahnya kecewa mendengar pernikahan dibatalkan.

Di tengah pikiran tersebut, ia berdecak pelan. "Aku hanya kecewa."

Andai gadis itu tahu bahwa Liam sungguh kecewa dan sangat memikirkan Camille. Ia bahkan tidak berniat sekedar mendekati istrinya sendiri sebab masih memikirkan kekasihnya yang pergi. Liam masih sering sedikit merindukan Camille. Namun, karena tingkah gadis itu yang seenaknya membuat Liam muak.

Pintu diketuk perlahan, ia mempersilakan sekretaris masuk.

"Permisi, Pak. Beliau sudah datang."

Liam menghembuskan nafas untuk tenang lalu mengangguk sebagai balasan.

"Aku akan hadir sebentar lagi."

"Baik, Pak."

Elva keluar ruangan meninggalkan Liam yang sudah berdiri dan membenarkan dasi kemudian jas kantornya. Menarik nafas lalu di hembuskan lagi, ketenangan adalah nomor satu bagi Liam. Setelah itu membuka pintu dan berjalan diikuti Elva dari belakang.

Berhenti tepat di ruang pertemuan yang sudah terbuka. Hanya ada dua orang di dalam sana. Mereka berdua berdiri menyambut kedatangan Liam sekaligus memberi salam. Saling mengulurkan tangan untuk menyapa.

"Raymond Nicholas."

•••

Petang hadir semakin detik jam berlalu. Singgah sebentar senja berbalut setiap kisah manusia satu persatu. Saatnya bersanding dengan lelah setelah perjuangan seharian penuh. Tidak terkecuali gadis yang tengah duduk pada karpet berbulu di bawah sofa. Bersama Diomira yang sibuk dengan benang rajutnya. Sedangkan, si gadis hanya menatap seraya menikmati kripik kentang dalam genggaman.

Melihat Diomira yang sangat teliti merajut itu membuat Liora penasaran.

"Bibi, boleh aku bertanya sesuatu?" Diomira mendongak lalu mengangguk satu kali.

"Sejak kapan Bibi suka merajut?"

Diomira tersenyum dan berhenti dengan kegiatannya. "Saat masih sangat muda, mungkin sama dengan umur Grizel yang sekarang."

"Berarti itu sudah lama sekali, Bi. Pasti Bibi ahli dalam merajut," serunya.

"Terimakasih, Nona. Sebenarnya, merajut hanya untuk mengisi waktu kosong."

Liora mengangguk-anggukkan kepala mengerti.

"Bibi, apakah bisa mengajariku merajut?"

Diomira langsung mengangguk. "Apa yang ingin Nona buat?"

Si gadis mengulum senyum. "Hanya satu syal untuk dia, Bi. Boleh, kan?" lirihnya.

"Tentu saja boleh, Nona."

"Terimakasih, Bibi. Aku juga akan menunggunya di sini."

Sang pelayan mengerutkan alis. "Nona, ini sudah malam. Lebih baik Anda berbaring di kamar saja."

Gadis itu menggeleng cepat. "Tidak masalah, aku bisa menunggu di sofa sampai dia pulang."

Liora berbaring di sofa dengan menghadap ke samping. Menindih tangkupan kedua tangan dengan kepalanya. Matanya terpejam seiring waktu sampai Diomira menyelesaikan rajutan topinya. Tidak lama suara mobil dan pintu yang mulai terbuka, Diomira segera berdiri diikuti pelayan yang lain untuk menghampiri sumber suara. Pintu utama terbuka lebar memunculkan sosok pria tinggi yang sebagai sang majikan berjalan tegas. Seluruh pelayan menunduk sesuai barisan yang sudah diatur secepat kilat.

Liam melangkah masuk dengan pandangan menyusuri ruangan. Perlahan langkah terhenti melihat sosok istrinya yang tertidur di sofa hitam ruang tamu.

"Tuan Muda, saya sudah meminta Nyonya untuk tidur di kamar. Tetapi, Nyonya ingin menunggu Anda pulang," jelas Diomira yang tiba-tiba bersuara.

Liam agaknya sedikit tersentak, tetapi di hempaskan begitu saja. Pria itu mendekati sang istri, menatap penuh bagaimana mata bulat itu terpejam sangat tenang ketika tertidur. Kedua tangan menghampiri dan langsung menggendong Liora. Tidak luput perbuatannya menimbulkan tatapan tak percaya dari beberapa pelayan yang masih berdiri di sekitar.

"Bibi, buatkan aku air hangat saja."

"Baik, Tuan."

Jejak kaki menyusuri lantai hingga menaiki tangga seraya membawa istrinya ke dalam kamar mereka.