Suasana sarapan terkesan hening, sejak turunnya Liam dari lantai atas. Pria itu langsung menyantap makanan yang di suguhkan oleh sang istri di atas meja. Masih enggan menanggapi, sedangkan Liora sedikit melirik suami beberapa kali yang tengah menikmati makanannya. Liora sebenarnya menunggu balasan atau setidaknya Liam bersuara untuk menyapa. Namun, itu semua tidak terjadi, suaminya hanya diam.
Dentingan sendok dan garpu yang terakhir kali, makanan di piring Liam sudah habis. Meneguk setengah gelas air putih kemudian berdiri tegak seraya sedikit merapikan jas kerja. Mengambil langkah untuk berbalik menuju pintu utama, tetapi terhenti sebab Liora bersuara.
"Tunggu."
Liora sudah berdiri dengan sedikit gugup, tangannya terasa gemetar kecil.
"Ada apa?"
Gadis itu mengulum bibirnya sebentar lantas bertanya, "Bolehkah aku meminta izin padamu?"
Liam berbalik badan menatap. "Apa?"
"A-aku ingin mengunjungi kantormu."
"Untuk apa?" pertanyaan cepat terlontar.
Para pelayan termasuk Grizel dan Diomira di sana terkejut mendengar.
"Bo-bolehkah, aku membawakan makan siang ke kantormu hari ini? Tapi, jika tidak boleh maka —"
"Untuk apa melakukan itu?" Liam memotong ucapan.
Sungguh, suara tegas sang suami seketika membuat Liora menciut.
"Hanya ingin membuatkan makan siang untukmu."
"Aku tidak makan siang," tungkasnya.
"Tapi, Bibi mengatakan bahwa kau sangat teratur dan selalu makan siang di kantor."
Liam langsung menatap Diomira menunduk.
Pria itu berdehem pelan. "Jika, kau ingin pergi ke luar. Aku akan kirimkan pengawal."
"Tidak." Liora menggeleng.
"Bukankah, ada sopir atau aku bisa di antar oleh Paman Xavier."
Liam mengerut mendengar sang istri memanggil Wyman dengan sebutan 'Paman'.
"Wyman asistenku, tanpa perintahku dia tidak seenaknya menjagamu."
"Tapi ..."
"Akan aku kirimkan pengawal untuk menjaga nanti."
Liora menarik kedua sudut bibir. "Jadi, aku boleh membuatkanmu makan siang?"
Mendengar kalimat tersebut, Liam beralih menatap yang lain sebentar. Sedikit ada gugup dalam diri, tetapi langsung ditepis begitu saja.
"Terserah padamu, tapi ingat jangan pernah pergi tanpa pengawal."
Liora mengangguk mantap. "Aku janji."
Senyumannya semakin mengembang dengan menaikkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan. Liam hanya menghembuskan nafas dan berbalik melanjutkan langkahnya menuju pintu utama. Liora tidak tertinggal untuk mengikuti dari belakang dengan perlahan. Menatap bahagia sang suami yang sudah masuk ke dalam mobil.
"Paman, hati-hati!" Sedikit memekik kepada Xavier yang ingin masuk pada jok mobil depan.
Pria tua itu mengangguk dan tersenyum. Sedangkan, Liora langsung melambai dengan semangat sampai mobil di telan gerbang rumah besar yang masih terlihat dalam pandangan.
"Bibi, Grizel, berhasil!"
Liora meloncat girang seraya bergelayut di lengan Diomira.
"Nona, memangnya apa rencana Anda hari ini?"
Gadis itu tersenyum. "Tentu saja, mengantar makan siang untuk suami." Kemudian beralih kepada Diomira yang sejak tadi belum bersuara.
"Bibi, hari ini ajari aku memasak makan siang untuk dia, ya?"
Diomira tersenyum lembut lantas mengangguk. "Tentu saja, Nona."
"Rencana ini akan berhasil merebut hatinya. Aku yakin."
Ia mengepalkan tangan di depan dan mengangguk penuh keyakinan. Sedangkan, Grizel hanya terkekeh melihat itu.
"Semoga berhasil, Nona. Grizel akan selalu mendukungmu."
"Sudah, sekarang kita masuk ke dalam."
Diomira menarik Grizel untuk masuk ke dalam, sedikit meninggalkan Liora yang masih berdiri di teras rumah.
Gadis itu tersenyum sumringah mengingat ia diperbolehkan untuk keluar dan juga mengantarkan makan siang untuk Liam.
•••
"Kau yakin?"
Carlos mengangguk. "Yakin, Bos. Rumah itu tidak ada."
"Jadi, apa dia sedang mempermainkan kita?"
Liam mengerutkan kedua alis, mendengar bahwa rumah mawar di ujung kota tidak ditemukan. Ia sudah memerintahkan Carlos dan anak buah yang lainnya, tetapi Carlos melapor bahwa rumah itu tidak ada.
"Bos, kita harus berhati-hati. Mungkin saja ini jebakan?"
Sedikit melirik Carlos kemudian kembali menatap jendela.
"Apa kau sudah ke rumah sakit?" tanyanya.
Carlos mengangguk. "Sudah, Bos. Keadaanya semakin memburuk, tadi pagi dia mengalami kejang. Dokter mengatakan bahwa David sedang stress berat, dia tidak bisa menangani sakitnya sendiri dan berakhir koma."
"Apa?!" Liam terkejut.
"Iya, Bos. David mengalami koma dan tidak tahu kapan dia akan sadar."
Pria itu berdecak kesal, ia berdiri dan melangkah semakin mendekati jendela. Menatap lekat bangunan-bangunan tinggi yang berdiri di sekitar gedung perusahaannya.
"Bos, kita tidak menemukan rumah itu. Apakah harus di—"
"Lanjutkan, cari sampai ketemu. Di ujung kota, kau tahu ada peristiwa apa di sana. Kita tidak boleh melewatkannya."
"Tapi, Bos, apa kau tidak curiga dengan orang itu?"
Liam menatap sahabat sekaligus pekerjanya itu. "Carlos, sepertinya dia tidak berbohong."
"Seberapa yakin kau dengannya? Aku tidak pernah melihat kau seyakin ini dengan orang lain." Hampir saja sang lawan membentak si Bos Liam.
"Entahlah, aku memiliki firasat yang buruk. Kau tahu, kan firasatkut tidak pernah salah."
Carlos hanya bisa mendengus.
"Ayolah, kau tidak mengizinkan aku libur sama sekali."
"Carlos, jaga sikapmu." Liam menatap tajam Carlos yang seenaknya berbicara dan bertingkah.
"Hanya sebentar, untuk menghabiskan waktuku seminggu saja."
"Setelah kau menemukan rumah Mawar itu. Aku beri cuti selama dua minggu."
"Benarkah?" Hampir pria itu meloncat dari duduknya.
Menatap sang Bos dengan berbinar dan perlahan membentuk senyuman bahagia kala Liam menganggukkan kepala.
"Kau janji?"
Pasalnya, Carlos sering di perintahkan dikala ia cuti satu tahun yang lalu. Alhasil, Carlos hanya mendapat cuti beberapa hari sebab yang seharusnya sebulan menikmati libur menjadi kerja bagai kuda. Liam memang tidak terduga, dia memberikan perintah apapun yang dia inginkan.
"Apa aku pernah ingkar janji dengan klien ku?"
Memang, Liam terkenal sangat menepati janji dengan kliennya. Namun, berbeda lagi dengan anak buahnya terutama Carlos yang sekaligus sahabat Liam.
"Baiklah, aku akan mencari sampai menemukannya."
Liam menarik satu sudut bibirnya diikuti Carlos yang berdiri.
"Kalau begitu, aku akan pergi. Waktunya istirahat dan makan siang. Apa kau tidak ingin bergabung?"
Pria itu terdiam sebentar sampai Carlos memanggil lagi, Liam tersadar kemudian menatap. Carlos masih bisa berbicara informal dengan sang Bos.
"Kau tidak istirahat untuk makan siang?"
Seketika ingatan Liam tentang tadi pagi, sang istri yang menawari untuk mengantarkan makan siang. Liam jadi memikirkannya atau lebih tepatnya sedang menunggu.
"Ya sudah, jika tidak ingin bergabung. Aku pergi dulu dan ku pastikan minggu depan aku sudah libur, sahabatku!"
Terdengar pintu tertutup meninggalkan Liam yang berdiam diri dekat jendela.
•••
Mobil klasik jenis West Coast Custom Cadillac Limousine, tahun 1975 bertengger di depan gedung perusahaan Lory. Keluar seorang laki-laki yang langsung bergegas membuka pintu belakang, sosok gadis dengan balutan baju biru dan rok panjang yang lebar berwarna putih dengan renda di bagian bawah. Surainya di gerai sebahu indah keduanya.
Senyuman tertampil simpul. "Terimakasih."
Gadis itu menenteng keranjang rotan kecil di kedua tangan. Kemudian mengikuti pengawal yang baru tadi pagi dikirim oleh Liam sesuai janjinya.
"Nyonya, silakan Anda menunggu di sini."
Liora menuruti dengan duduk pada sebagian sofa yang terbentang rapi sebagai kursi tunggu di gedung tersebut. Sembari melihat-lihat isi gedung perusahaan bergaya klasik modern itu. Memang dari depan gedung sangat terlihat menggunakan desain yang klasik, namun terkesan modern di jaman sekarang. Seperti gedung perkantoran kerajaan di jaman modern yang mewah.
Suasana juga sangat sejuk di tambah banyak pegawai berlalu-lalang di sekitar. Resepsionis sebagai penerima dan menyambut tamu juga sangat rapi, mereka benar-benar sempurna. Tidak hanya desain luar yang terlihat indah, bagian dalam perusahaan bahkan lebih indah dan sempurna. Liora mengamati satu pengawal yang masih berbicara dengan pegawai resepsionis dan yang satunya berdiri tidak jauh darinya. Liam mengirim dua pengawal sekaligus, ia jadi sedikit gugup dan sungguh menjaga sikap di depan mereka.
Pengawal tersebut berjalan menghampiri setelah berbicara dengan salah seorang wanita penerima tamu perusahaan itu.
"Baik, Nyonya. Mari ikuti kami," ucapnya.
Tanpa apapun Liora menganggukkan kepala, ia mengambil keranjang rotan yang bertengger di sebelah. Mengikuti satu pengawal yang mulai berjalan perlahan dan pengawal satunya lagi ada di belakangnya.
"Pastikan pertemuan itu terjadi besok."
"Tapi, Pak, kita sudah menyetujui untuk pertemuan minggu depan dengan Beliau."
Pria tinggi berkulit tan itu berbalik menatap asistennya.
"Kau tahu, kan aku tidak suka menunda? Hari ini tidak bisa bertemu, maka besok harus adakan pertemuan."
"Tapi, Pak—"
"Brian, Liam Mallory itu orang yang penting. Aku tidak bisa menunggu lama untuk bekerja sama dengannya."
"Kita sudah menyetujui untuk pertemuan minggu depan. Beliau pasti tidak bisa—"
"Aku tidak mau tahu. Kau sudah membuatku kemari dan ternyata dia tidak bisa di ganggu. Membuang waktuku saja."
Pria tersebut melanjutkan perjalanan di koridor perusahaan diikuti sang asisten.
"Sekretarisnya mengatakan bahwa Beliau sedang sibuk."
"Ini semua karena dirimu." Si pria mendengus. "Harusnya kau sudah membuat janji dengannya, bukan malah aku yang kemari!"
"Maafkan saya, Pak."
"Kau memang—"
Pria dengan jas biru tua itu berhenti melangkah tiba-tiba, tepat Brian juga ikut berhenti di belakang. Raut wajahnya mengerut kala tidak sengaja melewati tiga orang dari dua arah yang berlawanan. Ia yakin sekali satu di antara mereka bertiga adalah perempuan. Pria itu berbalik cepat, tetapi tiga orang tersebut sudah masuk ke dalam elevator. Hanya siluet perempuan berbaju biru dengan rok putih membawa keranjang rotan kecil.
Apalagi, ia sangat tahu bagaimana rasanya ketika berpapasan dengan sosok gadis tersebut.
"Liora?"