Netra mengerjap beberapa kali ketika terdengar ramainya kicauan burung pagi hari. Perlahan pandangannya menjadi jernih, Liora menatap sekeliling dan tepat seketika membelalakkan kedua mata kala mendapati seseorang yang tertidur di tepi ranjang. Di tambah genggaman tangannya yang mencengkeram erat tangan sosok tersebut.
Suaminya merebahkan kepala pada genggaman kedua tangan mereka. Melihat bahwa Liam tengah duduk di lantai dan tertidur di tepi ranjang miliknya. Liora tidak ingat kenapa hal tersebut bisa terjadi. Namun, karena semua itu membuat ia bisa melihat Liam ketika bangun tidur.
Si gadis tersenyum simpul menatap raut wajah damai untuk yang kedua kali. Liora sungguh menyadari bahwa suaminya itu sangat tampan. Meskipun bersikap dingin dan tidak ramah, tetapi ia yakin Liam adalah orang yang baik. Semua perasaan dan prasangka Liora tentang Liam hanya salam paham.
Mendengar deheman lirih membuat Liora tersadar, ia langsung memejamkan kedua mata lagi. Sedangkan, Liam sudah terbangun dan perlahan melepaskan genggaman kedua tangan mereka yang sudah bertengger semalaman.
Liam menyentuh kening sang istri. "Demamnya sudah turun," gumamnya.
Ia berdiri lalu menuju kamar mandi tanpa menyadari bahwa Liora sudah terjaga. Tangan si gadis menyentuh kening dengan penasaran dan hanya dingin yang ia rasakan.
"Jadi, semalam aku demam?"
Liora tidak sadar bahwa dirinya demam, apalagi di depan suaminya. Yang ia rasakan bahwa badannya sangat sakit, lelah menguasai tubuhnya. Mendapati kompres penurun panas di atas nakas seketika membuat perasaannya malu.
"Apa dia yang memberiku ini? Ah, bukan. Pasti bibi Diomira, tapi ..."
Posenya terlihat tengah berpikir serius, memikirkan tentang siapa dalang dibalik pengobatan demam Liora semalam. Namun, semakin di pikirkan semakin membuatnya pusing. Sepertinya, hari ini kesehatan Liora tidak berjalan baik.
Tatapan beralih pada pintu kamar mandi, terdengar gemericik air dari dalam. Hari ini suaminya pasti bekerja dan Liora ingin mempersiapkan segalanya. Ia berdiri dengan sedikit pusing, hingga membuatnya sedikit terguncang. Namun, Liora bisa mengatasi dan langsung menggeleng cepat untuk sadar. Segera mengambil langkah mendekati lemari guna memilih pakaian yang pas untuk suaminya bekerja.
"Mungkin setelan hitam dengan jas hitam cocok untuk hari ini. Ah, dasi jangan sampai lupa."
Ia meletakkan setelan jas suami di atas ranjang kemudian beralih memilih dasi yang cocok.
"Sedikit ada warna biru bergaris sepertinya tidak masalah."
Ketangkasan dan kecepatan gadis itu mengambil dasi di lemari khusus barang tersebut bersamaan dengan bunyi pintu terbuka. Liora sedikit tersentak dan langsung berputar menatap sumber. Tepat terjadi tatapan yang tiba-tiba di antara mereka.
Terlihat Liam juga sedikit terkejut mendapati sang istri berdiri di depan lemari dengan membawa sebuah dasi miliknya. Namun, bukan itu yang menjadi patok seorang Liam. Ia hanya belum siap menatap Liora lebih lama, hingga detik berikutnya Liam menghancurkan tatapan tersebut dengan deheman pelan.
"A-aku ... sudah mempersiapkan pakaian kerjamu hari ini." Telunjuk menunjuk pada ranjang.
Liam mengikuti arahan dan mendapati pakaian kerja tergeletak di sana. Sedangkan, Liora masih sibuk mengatasi detak jantung yang tiba-tiba bergemuruh cepat. Apalagi, melihat suaminya keluar kamar mandi menggunakan kaos putih dan bawahan dengan handuk bertengger di pinggang. Seketika membuat Liora berpaling pada yang lain, tidak luput Liam juga melakukan hal yang sama.
Pria itu bergegas mengambil langkah menghampiri guna menuju pakaian yang menjadi tujuan. Membiarkan Liora masih berdiri menatap penuh atensi dengan nafasnya yang di tahan. Di sisi Liora yang semakin mencengkeram erat dasi dalam genggaman.
"Aku tidak menyuruhmu melakukannya."
Liam mengambil setelan jas tersebut seraya meneliti.
"Tapi, aku hanya ingin mempersiapkan pakaian kerja untukmu." Liora menunduk pelan. "Maaf, jika aku salah lagi."
Sang pria mendongak menatap istrinya. Ia ingin mengerti apa maksud Liora, tetapi entah bibirnya tidak berhenti berkata penuh dingin. Di samping itu, Liam menyipitkan kedua mata menatap. Terlihat sekali wajah istrinya sedikit pucat, tetapi gadis itu masih bisa berdiri dengan tegak.
Si pria menghela nafas. "Apa kau sudah membaik?" Di balas anggukan cepat.
"Semalam kau demam."
"Terimakasih, karena sudah -"
"Bukan aku, tapi bibi Diomira yang memberimu obat."
Kepala si gadis langsung menunduk, merasa ucapannya terpotong sebab Liam membela diri.
Pria itu sedikit berdehem. "Maaf, kemarin aku marah padamu."
"Tidak masalah. Aku yang salah karena tidak melihat jalan." Sedikit ulasan senyuman tipis di bibir.
Liam beralih pandang, berusaha tenang dan biasa saja. "Aku juga salah."
"Aku sudah memaafkanmu."
Ia melirik sang istri yang tersenyum simpul kemudian menarik tatapan menuju ke arah lain. Terjadi keheningan sebentar sampai Liora memberanikan diri untuk mengulurkan dasi dari tangan guna merebut atensi suami.
"Pakai dasi ini, sepertinya cocok dengan setelan kerjamu."
Liam menatap barang tersebut dan mengambilnya perlahan. Tanpa melihat Liora yang sudah tersenyum, pipinya memerah.
Detik kemudian Liam melangkah menuju kamar mandi begitu saja. Meninggalkan Liora yang menatap dengan sumringah, meskipun pria itu tidak tersenyum. Liora tetap senang karena Liam bersikap sedikit peduli.
"Bukan dia, tapi kenapa menungguku sampai pagi dengan genggaman tangan?"
Ia menggelengkan kepala dua kali diikuti terkekeh pelan mengingat Liam tidak ingin mengaku. Jika bibi Diomira yang memberinya obat, tetapi Liam sampai tertidur di tepi ranjang dengan genggaman erat tangan mereka berdua.
Apakah Liam mencemaskannya sampai tertidur seperti itu?
Liora menghela nafas memilih keluar kamar dan menuruni tangga menuju dapur. Sudah ada Diomira yang berkutat dengan masakannya.
"Bibi, selamat pagi."
Suara tiba-tiba itu mengejutkan Diomira yang langsung mengendikkan kedua bahu. Pasalnya, sang kepala pelayan itu tengah mengaduk masakan di panci, sedangkan Liora menyapa tepat di belakang.
"Astaga! Nona Liora."
Raut terkejut itu berubah senyuman kala berbalik menatap Sang Nyonya di hadapan.
"Nona, Apakah Anda baik-baik saja?" Sembari menyentuh kening Liora.
"Bibi, aku sudah membaik."
Ia maju selangkah untuk melihat apa yang di masak oleh kepala pelayan itu masih dengan senyuman paginya. Namun, tiba-tiba tarikan kedua sudut bibir menghilang di gantikan dengan raut kedua alis mengerut.
"Bubur?" tanyanya.
Diomira mengangguk. "Semalam Nona demam. Saya buatkan bubur untuk sarapan."
Liora terdiam menatap sampai Diomira memanggil lebih keras.
"Nona, ada apa?"
"Ah, bukan apa-apa, Bi." Ia meringis seraya menggeleng.
"Ya sudah, buburnya sudah matang. Sebaiknya Anda sarapan sekarang."
Diomira mengambil dua sendok ke mangkuk kecil. Ia letakkan di atas meja makan, sedangkan Liora masih berdiri di depan kompor. Sampai Diomira kembali mendapati Liora masih berdiam diri.
"Nona, Anda baik-baik saja? Kenapa melamun di sini?"
Liora mendongak. "Semalam, Bibi yang merawatku?" Kepala pelayan mengangguk.
"Begitu, ya."
Gadis itu tersenyum simpul dan berkata, "Terimakasih, Bi. Aku sudah sangat merepotkan."
Diomira menggeleng. "Tidak ada yang merepotkan. Tuan Muda yang memberitahu bahwa Nona sedang demam."
"Dia ..."
"Iya, Nona. Saat Tuan Muda pulang beliau langsung ke kamar. Beberapa menit kemudian memberitahu bahwa Anda sakit."
"Benar, Nona." celetuk gadis bernama Grizel di ambang pintu dapur.
Ia menghampiri dengan berlari kecil, wajahnya tersenyum sumringah.
"Bahkan, Tuan Muda berteriak memanggil pelayan untuk segera memeriksa Nona di kamar. Raut wajahnya terlihat cemas, jika Nona melihat pasti akan senang."
Tanpa aba-aba Diomira langsung memukul lengan Grizel
"Aduh! Bibi, kenapa memukulku?" pekiknya seraya meringis menyentuh lengannya sendiri.
"Jaga ucapanmu, Grizel."
"Tapi, Bi, aku hanya-"
"Grizel, diam." Diomira menaikkan nada suara, hingga membuat gadis itu terdiam.
Liora yang berhasil mendengar kalimat pelayan muda tersebut seketika tersenyum. Kemudian menenangkan Diomira tengah menatap tajam Grizel yang mengaduh sakit.
"Bibi, tenanglah."
Grizel bersembunyi di belakang sang Nyonya.
"Tapi, Nona, Grizel sudah berlebihan."
Liora menggeleng. "Tidak, Bi. Dia hanya menceritakan tentang suamiku yang cemas padaku tadi malam."
"Nona, Andai saja Anda melihat Tuan Muda yang mencemaskanmu. Itu benar-benar ..."
"Grizel, kau bisa dipecat oleh Tuan Muda jika berbicara seperti itu." Diomira berceletuk memotong ucapan pelayan tersebut.
Seketika Grizel membungkam bibirnya dengan tangan. Di sisi semangatnya untuk menceritakan tentang Tuan Muda kepada sang Nyonya, ia juga takut jika dipecat lagi oleh Liam.
Liora terkekeh dan berkata, "Terimakasih, kau sudah menceritakannya meskipun sedikit."
Grizel ikut tersenyum lalu mendekat dan berbisik, "Jika aman dari Tuan Liam, saya pasti akan ceritakan dengan terperinci nanti. Nona, tenang saja."
Diomira yang mendengar itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Anak muda memang suka berbicara banyak hal, Diomira sangat tahu sebab ia juga pernah muda.
Liora tersenyum simpul seraya mengangguk cepat. Hatinya menghangat kala mendengar fakta reaksi suaminya ketika ia sakit tadi malam. Liora jadi ingin memberikan hadiah untuk Liam, tetapi tidak tahu harus apa. Mungkin membuat hidangan makan siang untuk Liam bisa menjadi opsi.
"Bibi, apakah dia makan siang di kantor?"
"Tuan Muda jarang makan di luar. Biasanya, beliau makan siang di ruangannya. Terkadang, Wyman membawa makanan dari rumah atau beli di luar rumah."
"Jadi, dia tidak pernah makan di luar, Bi?"
Diomira mengangguk diikuti Grizel.
"Tuan Liam anti dengan dunia luar, Nona." Grizel menimpali.
Liora mengerti kemudian tersenyum lebar. Mengambil dua langkah untuk pergi, tetapi terhenti lalu berbalik.
"Terimakasih, kalian sangat baik padaku."
Gadis itu membungkuk satu kali dengan penuh senyuman lebar. Sesekali memekik senang melanjutkan berjalan seraya meloncat kecil.
"Nona!" Grizel memanggil tidak mendapat balasan.
Sedangkan, Diomira hanya bisa menatap punggung Liora yang semakin kecil itu.
"Bibi, apa yang akan direncanakan Nona Liora?"