Mobil Gita memasuki carport rumahnya bersebelahan dengan Pajero yang sudah terparkir sempurna. Gita menarik napas panjang, sosok yang tinggal satu atap dengannya sudah pulang lebih dulu. Padahal Gita selalu berharap kalau Abian, suaminya, lembur sampai larut malam.
Gita menjejak lantai teras dengan tubuh lelah seharian banyak sekali naskah yang harus ditangani. Di sela-sela capeknya, Gita masih memikirkan cara agar lepas dari pernikahan bersama Abian.
"Sudah pulang?" tanya Abian dengan ekspresi ramah saat menemukan sang istri memasuki ruang tengah, lelaki itu baru saja membuat secangkir teh yang ada di tangan.
"Iya," jawab Gita datar dan terkesan judes. Selama dua bulan pernikahan, Gita tidak pernah bermanis muka pada suaminya kecuali di depan keluarga.
"Mau teh juga, nanti biar saya buatkan atau minta sama Bibi." Lelaki itu masih tersenyum, seolah-olah hatinya mulia sekali tidak peduli respons judes sang istri.
Gita malas basa-basi apalagi dilanda lelah sampai jari-jari. Dia ingin menghemat energi daripada beradu mulut dengan suami yang tidak pernah diharapkannya.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Gita melangkah menuju kamarnya yang berada tak jauh dari ruang tengah. Abian tidak tersinggung, dia sudah terbiasa melihat raut masam sang istri sejak resmi mengucap ijab kabul.
Baru saja Gita selesai mandi dengan aroma citrus menguar dari tubuhnya, Abian masuk tanpa permisi sampai Gita jengkel ingin mencekik leher suaminya.
"Ngapain ke sini!"
Abian terkekeh menyebalkan, apalagi melihat Gita masih mengenakan handuk kimono dengan rambut setengah basah yang jujur sangat menggoda.
"Ini kamar kita berdua, barangkali kamu lupa, Sayang."
Gita semakin kesal mendengar panggilan yang disematkan suaminya. Tidak tahu diri sekali lelaki yang menikahinya?
Sejak awal Gita mengusulkan pisah kamar agar hidupnya bisa lebih tenang, tapi Abian menolak usulnya dengan alasan sudah suami istri. Gita semakin geram dan sempat bertengkar yang ujung-ujungnya mengalah dengan syarat Abian tidur di sofa.
Saking malasnya berinteraksi dengan Abian, seolah-olah suaminya adalah kuman yang harus dihindari, Gita bergegas ke kamar mandi menyambar kaus polos putih di lemari dan celana pendek.
"Kenapa nggak di sini, kita udah sah, Git?" Entah sudah berapa ratus kali Abian mengingatkan dan Gita akan pura-pura tuli.
"Padahal saya penasaran gimana seksinya istriku," lanjut Abian tidak takut nyawanya melayang kalau Gita khilaf benar-benar mencekiknya.
Gita menoleh sebentar dengan raut galak dibalas tawa renyah Abian yang tidak ada takut-takutnya.
Segera, Gita memasuki kamar mandi dan membanting pintunya keras agar Abian ilfil serta mentalaknya sekarang juga. Impian Gita hanya bercerai dari Abian secepatnya. Dia memiliki pacar yang merupakan adik Abian sendiri.
Awal bertemu Abian satu tahun lalu, dia sangat menghormati kakak dari pacarnya. Sebaliknya, sekarang Gita muak dan sangat membenci Abian.
Bagaimana mungkin seorang kakak tega merebut pacar adiknya sendiri? Parahnya mama dan papa Gita justru menerima pinangan dari Abian.
Gita menatap pantulan wajah di cermin, kantung matanya sudah terlihat efek susah tidur selama dua bulan. Gita lupa kapan terakhir tersenyum karena bersama Abian hanya ada kesedihan.
Dia mencintai Ega, teman SMP yang baru bertemu lagi usai wisuda. Mereka sudah berpacaran selama satu tahun dan Gita sangat sayang pada Ega sepenuh hati.
Abian menggedor pintu dengan pelan. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"
Gita tersentak, dia sibuk melamun memikirkan nasib buruknya menjalani rumah tangga bersama orang yang dibenci.
"Lama banget di dalam. Gita, kalau kamu nggak keluar-keluar saya terpaksa dobrak pintunya, ya?"
Lagi, Gita harus menahan diri agar tidak mengikuti godaan setan bertanduk yang terus menjadi pemandu sorak untuk melenyapkan Abian.
"Gita?"
"Berisik!" teriak Gita galak.
Abian terkekeh di luar. "Ya sudah saya lega dengar suara kamu artinya baik-baik saja, sudah setengah jam loh di dalam."
Saat Gita keluar menuju ke ranjang, dia melihat Abian sedang duduk sambil serius menggulir layar ponsel. Gita tidak peduli apa pun kesibukan suaminya yang mengelola perusahaan e-commerce.
"Udah cantik banget istri saya," puji Abian sesudah menyadari kehadiran sang istri, lelaki yang mengenakan kaus putih polos tersebut memilih meletakkan ponselnya ke meja. "Mau makan malam di rumah apa di luar?"
Kalau perlu nggak makan biar cepat mati daripada hidup sama suami semacam kamu.
Tentu Gita hanya mengucapkan dalam hati. Dia memilih mengambil ikat rambut yang ada di nakas dan mengucir rambut panjangnya asal-asalan.
Namun, pandangan Abian tak lepas dari gerakan sederhana Gita yang terlihat seksi dengan leher mulus terekspos bebas. Abian membayangkan mengecup sedikit kulit putihnya serta meninggalkan jejak merah kalau boleh.
"Nggak usah lihat-lihat!" Gita melolot galak sadar diperhatikan suaminya.
Abian terkekeh, bangkit dari kursi untuk mendekati Gita. "Loh lihat kecantikan istri sendiri masa nggak boleh, daripada lihat perempuan di luar nanti dosa."
"Nggak usah sok alim, merebut pacar adik sendiri juga dosa."
"Masa?" Abian terkekeh menyebalkan. "Bukannya yang dosa merebut istri orang, justru saya menyelamatkan kamu agar terhindar dari dosa berkepanjangan."
"Ceramah sana di masjid!" Gita menatap kesal.
Abian tertawa, gemas sekali melihat ekspresi judes sang istri. Kadang dia iri kenapa adiknya yang berengsek bisa mendapatkan hati Gita tanpa susah payah?
Dia mungkin harus banyak belajar dan bersabar lagi menghadapi Gita yang usianya selisih jauh. Gita baru 25 tahun, sedangkan Abian sendiri sudah 32 tahun.
Abian tidak pernah membayangkan akan jatuh cinta pada pacar adiknya sendiri. Sejak melihat perempuan yang membela pengamen jalanan yang kena omel pemilik rumah makan, Abian langsung dibuat kagum dan diam-diam mengamati wanita tadi makan bersama anak jalanan yang dibantunya.
Hari berikutnya melihat Gita lagi sedang menggendong kucing yang terserempet motor, dia membalut dengan jaket yang dikenakan. Abian masih ingat raut panik Gita menyetop mobilnya meminta tolong dibawa ke dokter hewan.
Gita dan segala yang ada pada dirinya membuat Abian jatuh cinta. Sialnya, sebulan kemudian adiknya mengenalkan Gita sebagai pacar dan separuh harapan Abian lenyap begitu saja.
"Mau ke mana?" tanya Abian melihat Gita berjalan ke ambang pintu.
"Makan daripada di sini makan ati."
Lagi-lagi Abian tertawa, seolah-olah ucapan Gita barusan sangat lucu.
"Saya juga mau makan."
"Nggak nanya!"
"Makan kamu," lanjut Abian yang langsung menuai delikan lebar sang istri.
Abian tertawa dan selalu senang menggoda sang istri. Dalam mode galak pun Gita akan nampak cantik bagi Abian. Satu hal yang disyukuri dalam hidupnya adalah berhasil menikahi Gita sekalipun belum memiliki hatinya. Dia yakin pelan-pelan Gita akan berubah membuka kesempatan.
Gita sudah berlalu dengan bersungut-sungut kesal, sedangkan Abian masih di kamar menatap punggung sang istri yang tidak menutup pintu.
"Saya mencintai kamu, Git."