Gita menjepit ponsel di antara bahu dan telinga selagi membayar ongkos taksi, dari perjalanan sampai rumah harus mendengar sang mama merajuk agar ia menengok bersama Abian. Entah diguna-guna apa mamanya sangat sayang pada Abian dan anti pada Ega pertama kali dikenalkan.
Kadang Gita pikir ada kejanggalan yang perlu diselidiki. Mama dan papanya langsung menyukai Abian sejak pertama kali datang ke rumah, sedangkan Ega selalu dianggap tidak cocok, bukan laki-laki yang baik.
Mungkin mamanya amnesia kalau dua lelaki itu lahir dan tumbuh di satu keluarga. Gita sangat yakin Abian memakai sesuatu.
"Mama nggak yakin sama pilihan kamu, Git," ujar mamanya setiap Ega mengantar pulang. "Orangnya aja kurang sopan."
Saat itu Gita hanya diam, malas melawan atau membela Ega yang ujungnya sia-sia, berbanding terbalik sekali ketika Abian yang datang disambut hangat seperti tamu kehormatan. Papanya akan mengajak ngobrol bisnis, mamanya akan terus menawarkan mau dimasakkan menu apa.
"Git, kalau sama Nak Abian yang nurut loh." Suara sang mama masih terdengar di sambungan telepon.
Gita tidak akan sudi menurut pada orang yang sudah menghancurkan semua mimpi-mimpinya bersama Ega. Tapi, dia harus pura-pura mengiyakan. "Iya, Ma. Mana mungkin Gita membangkang sama Papa dan Mama aja nurut dipaksa nikah."
"Demi kebaikan kamu, nyatanya bahagia."
Oke, Gita harus menyimpan sendiri cerita rumah tangga yang tidak ada manis-manisnya.
"Git? Malah diam?"
"Eh, iya. Maaf, Ma."
"Ke sini besok apa nanti malam? Biar Mama masak dulu kesukaan Nak Abian." Bahkan dalam durasi dua bulan mamanya hafal masakan kesukaan menantu kesayangan. Lihat saja hanya menyebut memasak favorit Abian, seolah anak kandungnya adalah Abian.
Gita menarik napas panjang. "Aku tanya Mas Abian dulu, barangkali sibuk, Ma. Udah dulu, ya, Ma, aku udah turun dari taksi."
"Ya sudah, titip salam buat Nak Abian."
Lama-lama Gita ingin membanting ponsel miliknya mendengar sang mama selalu menyebut nama yang membuat telinga alergi. Lagi-lagi semua tentang Abian seolah dia raja harus disambut sebaik mungkin.
"Heem."
Udah diguna-guna nih pasti Mama sama suami tidak tahu diri!
Gita membuang napas kasar usai menjejalkan ponsel ke tas, sekalipun malas pulang karena ada satu manusia yang bagi Gita tidak berguna apa-apa dalam hidupnya selain menambah list penderitaan. Namun, dia tidak ada pilihan daripada ke rumah mamanya pasti ditanya Abian.
"Loh udah balik, kenapa nggak kasih kabar biar dijemput," sapa Abian yang sedang membaca koran saat Gita menjejak lantai ruang tamu.
Gita tersenyum sinis. "Nggak perlu sok baik!"
"Suamimu bukan sok baik, tapi memang baik dari lahir," respons Abian dengan kekehan kecil.
Mendengar jawaban suaminya yang seakan tidak terpengaruh ucapan pedasnya, Gita langsung mencebik kesal.
Alih-alih marah, Abian justru gemas dan berdiri mendekati sang istri.
"Sana gih jangan dekat-dekat!" ketus Gita dengan ekspresi galak totalitas.
"Kalo mau dekat sama istri sendiri masa nggak boleh," ucap Abian sambil mengedipkan sebelah mata. Sejak menikah menggoda Gita sudah menjadi favorit. Ia senang melihat wajah masam istrinya yang selalu terlihat manis.
Sementara Gita geram karena setelah menikah Abian sangat genit. Daripada emosi makin melambung tinggi sampai ubun-ubun, Gita menghentakkan kaki ke lantai dan bergegas ke kamar. Udara sangat panas kalau ada Abian di sekitar.
"Mau ke mana, Sayang?" Abian mencekal lengan sang istri dengan menaik turunkan alis.
Gita ingin menyihir suaminya kalau perlu, kurang ajar sekali. Dengan segera ditepis tangan Abian. "Berisik!"
"Kamu semakin menggemaskan kalo marah," kekeh Abian membiarkan Gita lepas.
"Makin besar kepala dia!" gerutunya seraya menutup pintu kamar dengan keras.
Dia sudah mandi dan berendam di bathtub demi merilekskan pikiran yang kacau. Rumah tangga seperti neraka membuat rambut Gita rasanya mau rontok semua.
Saat hendak menyelesaikan mandinya yang dirasa sudah membuat otaknya jernih, Gita baru tersadar tidak membawa handuk karena buru-buru ke kamar mandi demi menghindari suaminya.
"Sial ... Kenapa aku ceroboh banget!" gerutunya kesal.
Pelan-pelan dia mengintip lewat celah pintu dan sialnya Abian sedang duduk di sofa.
"Dasar menyebalkan!" gerutunya kesal. Berkali-kali Gita mencoba menarik napas, lama-lama tubuhnya mulai kedinginan. Akhirnya, karena merasa tak mempunyai pilihan lain. Gita memutuskan memanggil suaminya.
"Mas!" panggil dari kamar mandi.
"Ada apa, Sayang?" sahut Abian yang langsung mendekat. Jarang-jarang Gita mau memanggil.
Argh ... sabar, Git, batinnya sambil mengatur napas.
Kalau saja bukan karena butuh, pasti sudah mengamuk mendapati pria itu makin besar kepala terus memanggil sayang.
"Handuk!" jawab Gita singkat.
Abian menaikkan sebelah alisnya. "Kamu mau handukmu?"
Nggak paham bahasa manusia kali ya, batin Gita geram.
"Cepat!" Gita sudah menahan diri agar tidak mengumpat.
"Ada syaratnya gimana?" Abian tersenyum licik. "Panggil sayang dulu."
Mendengar permintaan suaminya ia langsung mengutuk dalam hati. Mengambil waktu sebentar dan keluar dalam keadaan polos bukan pilihan terbaik.
Sebelum menjawab, Gita menarik napas dalam-dalam. "Apa ada syarat lain?" tanyanya mencoba negosiasi.
"Ada," goda Abian seraya terkekeh. "Kamu harus bersedia kencan bersama suamimu."
Di dalam, darahnya sudah mendidih. Negosiasi dengan Abian akan percuma, ia tak habis pikir persoalan lupa membawa handuk akan serumit ini.
Dengan berat hati ia terpaksa mengalah. "Baiklah."
"Kencan dengan saya?" goda Adam senang.
"Tidak!"
"Ya sudah panggil sayang cukup, kok."
Gita menghela napas berat, dia mengumpulkan nyali mengucapkan kalimat menjijikkan itu. "Sayang, ambilkan handuk dan bajuku."
Mendengar itu Abian langsung terkekeh senang bukan main seakan mendapat bongkahan berlian. Cepat-cepat Abian langsung mengambil handuk dan baju tidur istrinya.
"Buka pintunya, Sayang," ucap Adam dengan ekspresi bahagia.
Setelah yakin suaminya berada di balik pintu. Ia mengeluarkan tangannya lewat pintu yang dibuka sedikit. Namun, Abian sengaja menggoda dengan menarik ulur hingga Gita mengerang frustrasi.
"Cepat!"
"Ya sudah kasihan istri tercantik saya," balas Abian puas bercanda dengan istrinya, sekalipun yang di dalam emosinya sudah sampai stadium akut
Ketika keluar Gita melirik warna baju yang melekat di tubuh atletis suaminya. Sorot matanya langsung berkilat emosi.
"Kamu sengaja, Mas!"
"Apanya?" tanya Abian santai usai menyingkirkan ponsel dari depan wajah.
"Kenapa warnanya sama? Apa kamu mulai besar kepala jadi suami," geram Gita.
Abian tersenyum manis menanggapi emosi istrinya. "Terima kasih menyebut saya suami."
Gita melotot galak, dia ingin meralat apa yang keluar dari mulutnya. Bagi Gita pernikahan mereka hanya sekadar menyenangkan orang tua dan akan direncanakan cerai.
Abian terkekeh lagi sampai Gita heran cerita sekali lelaki yang menikahinya. Dia sangat puas menikmati penderitaan istri yang terpaksa menikah dengannya. Andai saja mempelai pria yang datang waktu itu Ega, pasti hidup Gita sempurna versinya.