Wanita itu sibuk membuka majalah selagi Abian bersiap-siap untuk salat isya di kamar milik sang istri. Wajahnya yang sedikit basah sisa air wudu terlihat makin tampan.
"Nggak salat dulu, nanti bisa lanjut baca majalahnya."
Gita tak mengalihkan matanya dari majalah, sedangkan tangannya cekatan membuka lembaran majalah fashion.
Detik selanjutnya terdengar helaan napas berat sebelum lelaki itu melaksanakan salat. Ia menoleh sebentar ke arah sang istri.
"Gita," ulangnya.
"Nggak usah bawel—" Suara Gita terputus ketika ponselnya bergetar. Wanita itu segera meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas sebelah ranjang. Terlihat ada panggilan dari sosok yang membuat bingung, ia melirik suaminya dan memilih mengabaikan panggilan.
Selanjutnya wanita itu sibuk melihat beranda di akun medsosnya selagi sang suami selesai salat. Dia memutar bola matanya malas ketika mendapati lelaki itu mengulum senyum. Lalu Abian memilih duduk mendekat ke istrinya di tepi ranjang.
"Pergi sana!" serunya dengan nada tinggi.
Menit berikutnya lelaki itu semakin merapatkan tubuh ke arah sang istri, sontak bola mata Gita membulat ketika manik mata itu menangkap foto yang ada di akun sang istri. "Astagfirullah!"
Gita menggerakkan kepala untuk menoleh, lalu tersenyum sinis.
"Mengapa baju kamu seksi sekal, Gita?" protes Abian saat melihat istrinya dibalut mini dress hitam dengan bagian dada terbuka. Jujur saja Abian tak rela kemolekan tubuh istrinya dinikmati mata laki-laki lain.
Sebenarnya foto tersebut Gita sengaja unggah di akun Instagram untuk memancing Ega agar protes, tepat sebulan usai pernikahannya dengan Abian.
"Jangan ikut campur!"
"Tapi saya suami kamu, Gita, kalau-kalau kamu lupa," jelas Abian.
"Jangan besar kepala!" teriak Gita dan ia mendorong tubuh suaminya kasar.
"Tapi—"
Di tengah ekspresi kaget, Gita mendekatkan wajahnya untuk menekankan kalimat dan berkata, "Kamu boleh menikah dengan aku, tapi jangan ikut campur masalah pribadi!"
Tanpa menunggu sahutan sang suami, ia bangkit dan melangkah ke arah kamar mandi untuk mengganti bajunya dengan pakaian tidur berbahan satin. Setelah itu ia naik ke atas ranjang sebelum menarik selimut sebatas dada.
Tak terasa waktu bergulir ke tengah malam, namun mata teduh Abian masih terang seakan susah dilanda kantuk. Ia enggan terpejam dan hanya sibuk menatap kecantikan wajah sang istri yang sudah tidur pulas di atas ranjang. Dari jauh mata itu tak melepas pandangan dari sang istri hingga pikirannya mulai berkeliaran.
Sedangkan Gita menutup rapat selimutnya, layaknya ia menutup hatinya untuk Abian. Ia membangun tembok pembatas yang sukar diruntuhan.
Abian nekat mendekat selagi sang istri masih terpejam. Tangannya membelai lembut rambut istrinya dan mencium keningnya pelan hingga pikiran liarnya kembali muncul. Buru-buru ia melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajah di wastafel.
Sejak malam pertama yang mayoritas diisi dengan obrolan mesra hingga malam panas tak berlaku untuk mereka. Gita memberi jarak yang susah di gapai hingga berjalan dua bulan.
Lelaki itu merebahkan tubuh di sofa dengan posisi miring dan kedua tangan sebagai bantal. Hingga pukul satu dini hari mata itu masih prima seolah telah tidur seharian.
Ia memilih menghabiskan malam dengan menatap wajah istrinya tanpa polesan make-up, tetap cantik tanpa cela. Sudut bibirnya terangkat membentuk segaris senyum memandang istrinya tanpa bosan.
Tiba-tiba Gita menggeliat, ia hanya pindah posisi miring sedangkan kelopak matanya masih tertutup.
Sedangkan di kamar lain mama mertua dan suami tidak henti bercerita impian memiliki cucu. Sibuk menebak-nebak akan seimut Gita kecil atau setampan menantu kesayangan. Topik seputar cucu terhenti ketika keduanya sama-sama terlelap.
***
"Sayang, ayo bangun dulu," ucap Abian selagi tangannya menyentuh bahu sang istri dengan lembut.
Gita mengerjapkan matanya, ia menatap wajah sang suami yang sedikit basah sisa air wudu. "Jam berapa?"
"Jam lima," kata Abian enteng selepas melirik ke jam dinding.
Gita menatap sinis. "Kamu benar-benar gila membangunkan aku jam segini saat jari libur!"
"Saya ingin mengajak salat subuh, seperti biasa."
Gita tak peduli, ia langsung menarik selimutnya sebatas leher dan membelakangi posisi Adam. Di akan salat nanti tanpa harus menjadi makmum suami yang tidak pernah dianggapnya.
Abian menghela napas dalam sebelum menggelar sajadah. Ia yakin suatu saat bidadarinya akan melunak.
Setelah jam enam pagi, Abian turun. Rutinitas seperti biasa kalau datang ke rumah mertua, ia membantu tukang kebun merapikan tanaman. Sementara di dapur mama mertuanya masih berkutat dengan masakan dibantu ART-nya sebelum membawa secangkir kopi untuk sang suami.
Sementara Gita masih malas-malasan di kasur, padahal ia berencana akan pulang pukul sepuluh pagi agar tidak perlu akting lama-lama.
"Ayo bangun, suamiku," ucap mamanya Gita sambil membawa cangkir dengan aroma kopi yang mengusik hidung Gunawan.
Setelah mengerjap, ia mengecup pipi sang istri singkat lalu menyesap kopi panas perlahan sebelum beranjak mandi.
Di kamar lain, Gita baru bangun setelah melirik jam weker di meja sebelah ranjang. Dia memilih meringkuk di kasur lagi usai melaksanakan salat subuh yang sudah mepet. Dengan malas-malasan ia bergegas ke kamar mandi.
Abian lalu berjalan menuju kamar. Saat ia membuka pintu terlihat sang istri baru keluar dari kamar mandi dengan handuk cokelat melilit di tubuhnya.
"Apa tangan kamu tidak bisa mengetuk pintu, Mas!" bentak Gita dongkol menganggap Abian sungguh tidak sopan.
Bentakan itu membuyarkan lamunan Abian yang sempat terdiam ambang pintu. Ia berkata penuh kekaguman, "Kamu sangat menggoda, Sayang. "
"Keluar enggak!" teriak Gita semakin diserang migrain akut dengan kelakuan suami.
Untuk menghindari emosi yang bisa berkobar-kobar lebih panas, Abian memutuskan keluar dan menunggu di depan pintu hingga sampai sosok istrinya keluar dengan balutan blus putih motif polkadot dipadu celana jeans hitam, rambut panjangnya diikat rapi memamerkan leher mulusnya.
Orang-orang sudah berkumpul di meja makan menunggu keduanya bergabung, sengaja mamanya tidak membangunkan Gita menganggap anaknya kelelahan semalam.
"Pengantin baru, ayo makan," sapa sang mama dengan senyum sumringah.
Abian mengambil posisi duduk di sebelah istrinya sehingga langsung mendapat tatapan tak suka.
"Gita, ambilkan dong makanan buat suami kamu," sindir mamanya dengan geleng-geleng melihat Abian meraih piring sendiri.
"Ambil sendiri bisa, kan? Manja banget," sahutnya ketus.
"Gita!"
"Tidak apa-apa, Ma," ucap Abian dengan senyum tulus selagi mengambil nasi ke piringnya.
Gita menoleh sebelum tersenyum sinis.
"Berasa jadi raja di sini, enak banget disayang semua orang."
"Gita!" tegur Gunawan dengan nada tegas sehingga Yola dan adiknya saling pandang.
Yola yang memang mulutnya sepedas cabai rawit dan paling suka memperkeruh suasana ikut berkomentar, "Sabar-sabar aja Mas Abian nikah sama dedemit, aku aja adiknya harus punya stok sabar tak terbatas."
Gita mendelik ke adiknya yang ingin dilempar ke kutub utara.
Nadiv cekikikan. "Iya, aku sih setuju kalau Mas Abian harus banyak nahan sabar."
Abian tersenyum menatap dua adik iparnya bergantian. "Masmu cuma minta doa supaya Mbak kalian yang cantik melihat pesona ipar kalian yang ganteng ini."
Nadiv langsung mengacungkan dua jempol dan Yola memberi hormat dengan tangan mirip di upacara bendera.
Semua tertawa riang kecuali Gita, perempuan itu merasa semua keluarganya sudah terjangkit virus berbahaya bernama Abian. Dia sendiri heran ajian apa yang dipakai suaminya sampai mendapatkan dukungan penuh dari keluarga Gita, tidak ada yang mau belajar memahami kondisi hati Gita.
Sial, makin di atas angin saja suami sok baik. Aku kutuk kamu jadi patung saja daripada bikin hidup kayak di neraka.