Gita mendongak ketika dia lagi duduk-duduk santai menghadap ke jendela gelap, sedangkan tangannya sesekali menggulir layar mengecek pesan dari Ega yang mengajak keluar lagi besok-besok. Tangan seseorang menaruh mangkuk berisi bubur kacang hijau sampai memaksa Gita menatap orangnya.
"Ini enak buat teman bengong," ujarnya dengan cengiran lebar seperti biasa. Lalu Abian mengambil posisi duduk di depan sang istri.
Tanpa membuang energi untuk menolak makanan yang kelihatan memanggil cacing di perut, dia segera meraih sendok untuk mencicipi.
"Malam Minggu begini belum ada rencana keluar juga, sekadar jalan-jalan sebentar gitu?"
"Nggak, udah betah di rumah."
Abian mengangguk-angguk, tidak ingin memaksa Gita yang akan menolak dengan judes kalau dipaksa. Pelan-pelan Abian hafal sifat sang istri.
Gita jadi teringat rengekan sang mama, mungkin besok pagi bisa meminta Abian menemani ke rumah sekadar setor muka supaya masih dianggap anak.
"Mas?"
Abian menaikkan alis, memandang sang istri dengan tatapan memuja berlebihan sampai Gita muak ingin mencolok matanya.
"Besok mau ke rumah nggak? Mama sama Papa nanya terus," ucap Gita dengan nada terlalu datar untuk sebuah permintaan.
Abian terkekeh, tangan kekarnya terangkat mengusap lembut rambut Gita. "Boleh, saya senang kamu mengajak ke rumah. Saya juga sudah kepikiran mau main ke sana kangen sama mertua."
Gita mendengkus, dia tidak suka tingkah Abian yang seenaknya menyentuh kepala atau bagian mana pun di dirinya.
Dengan sebal, Gita menyendok bubur kacang hijau yang enak untuk menyuapkan ke mulut. Dia makan sendiri tidak peduli orang di depannya sudah menyantapnya atau belum sama sekali.
Setelah selesai, dia cukup tahu diri tidak menyodorkan mangkuk kosong untuk dicuci suaminya sekalipun Abian mengatakan tidak keberatan mengemban tugas itu.
Gita meninggalkan Abian yang sempat melarang ke dapur, seakan dia akan menjadikan Gita ratu setiap hari semua dilayani.
"Ponselku ketinggalan," gumam Gita sadar ada yang terlupa selagi sibuk mengikat rambut tinggi-tinggi, lalu menyingsingkan lengan sebatas siku untuk mencuci di wastafel. "Udahlah Mas Abian nggak akan sidak juga."
Suara dering ponsel Gita terdengar dan sesekali Abian meliriknya, mengeja nama yang berpendar di layar membuat tubuhnya lemas.
"Ada telepon, ya?" Gita buru-buru berlari dari dapur dan menyambar ponselnya dengan napas ngos-ngosan. Dia panik, menatap Abian dengan prasangka buruk berjejelan di kepala.
Gita garuk-garuk kepala selagi menyimpan ponsel yang sudah tidak berdering ke saku, panggilan dari Ega diabaikan sampai berhenti sendiri.
"Tadi Mas sudah lihat siapa yang menghubungi, ya?" todong Gita mengikuti Abian yang berjalan malas-malasan menuju ke kamar.
Abian hanya menoleh sebentar, lalu tersenyum sok manis.
"Saya nggak pernah melarang kamu, Gita. Saya nggak ingin membatasi komunikasi kamu sampai nggak nyaman," repsons Abian tanpa menoleh ke orangnya sibuk mengambil buku di laci dan membawa ke sofa untuk dibaca malam-malam.
"Iya, aku tahu Mas kasih kebebasan." Gita mengigit bibir bawahnya dengan bingung. Dia sendiri heran kenapa harus mirip maling kepergok, padahal Abian bukan siapa-siapa, maksudnya tidak memiliki arti apa-apa dalam hidupnya.
Namun kali ini, Gita merasa sudah membuat kesalahan yang masuk kategori pengkhianatan. Hal yang selama ini sangat dibenci Gita setengah mati, ternyata dia bermain-main dengan api.
"Aku nggak ada apa-apa sama Ega sejak terpaksa putus," beritahu Gita tanpa ditanya, dia memang belum masuk kategori selingkuh yang terlampau jauh.
Abian mendongak, sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan senyum. "Memang harusnya begitu, Git."
"Harusnya aku nggak akan terjebak begini kalau Mas nggak tiba-tiba melamar," balas Gita gemas menuai kekehan kecil Abian.
Alih-alih merasa bersalah sudah menghancurkan mimpi yang Gita rangkai bersama Ega, Abian justru tersenyum tanpa dosa. Tangan kekarnya menepuk permukaan sofa persis sebelahnya.
"Ngapain?" Gita masih konsisten judes stadium akut.
"Duduk, biar enak ngobrolnya. Emang nggak capek berdiri terus?"
"Siapa juga yang mau ngobrol sama kamu, Mas. Nggak usah kepedean, ya, aku cuma menjelaskan biar nggak dianggap istri nggak bener."
Abian menahan tawa menatap sang istri. "Oke, udah nggak mau menemani saya ngobrol?"
"Nggak!"
"Tapi masih betah berdiri di depan saya?"
Gita melolot, lalu menghentakkan kaki kasar ke lantai. "Ini juga mau pergi."
Setelah mengatakan itu, Gita bergegas pergi dan mengacak-acak rambut sendiri usai melewati pintu. Dia ingin tenggelam ke palung laut saking malunya pada diri sendiri, iya juga kenapa mengekor Abian untuk menjelaskan. Bukankah bagus kalau Abian berpikir dikhianati dan mentalaknya?
***
Abian menyesap teh yang dibawakan mama mertua ke belakang rumah, menemani papanya Gita mengobrol banyak hal soal ketiga anak perempuannya.
"Gita dulu paling manja pas dua adiknya sudah mulai besar, mereka suka berebut apa saja, berantem sampai kepala Papa pusing dengarnya," ceritanya dengan mata menerawang mengingat momen selagi ketiga putrinya masih berkumpul.
"Bapak hebat," puji Abian tulus. "Membebaskan tiga anak perempuan tidak mudah, Papa saya bersyukur tidak memiliki anak perempuan karena katanya lebih susah menjaganya."
Gunawan, papanya Gita, terkekeh kecil sambil menepuk pelan pundak menantunya. "Orang bilang begitu, tapi Papa selalu merasa gagal. Gita sangat keras kepala dan sering berbeda pendapat, makanya Papa bersyukur dia berada di tangan yang tepat."
Abian tersenyum, teringat pertama kali nekat datang mengatakan pada orang tua Gita kalau mencintai anaknya. Gunawan sempat kaget, menanyakan macam-macam mulai dari latar belakang Abian, pekerjaan Abian, dan apa yang membuatnya tertarik pada Gita.
Saat itu Abian menjawab sudah lama mengangumi Gita jauh sebelum mengetahui kalau Gita pacaran dengan adiknya.
"Kamu akan ada masalah dengan saudara sendiri."
Abian mengangguk mantap. "Saya tahu kalau Ega hanya sebatas main-main, makanya saya akan mengikat Gita."
Tanpa diduga tidak perlu merayu panjang lebar mama dan papanya Gita langsung menerima Abian dengan tangan terbuka. Menurut penilaian mereka, Abian sangat cocok untuk membimbing Gita daripada membiarkan anaknya semakin susah diatur bersama Ega.
Dua lelaki beda generasi tersebut melanjutkan obrolan yang terasa mengalir, Abian menanggapi dengan antusias cerita soal ketiga putri Gunawan. Sesekali keduanya tertawa membahas tingkah lucu ketiganya.
Di kursi rotan yang sengaja ditaruh di belakang, mereka duduk-duduk dibelai lembutnya angin pagi serta menghirup udara segar dari tanaman hijau yang sengaka ditanam sekitar rumah.
Sejak Gita datang tanpa memberi kabar, mamanya langsung menyeret ke dapur untuk membuat kolak biji salak kesukaan Abian, padahal belum bulan puasa sudah sibuk dengan bahan-bahan kolak. Dua adiknya ditugaskan membuat kue kering untuk tamu kehormatan.
"Ini jangan besar-besar, mau suamimu keselek," protes Arum, mamanya yang melihat bulatan besar di baskom. Gita berdecak kesal harus repot-repot membuat sesuatu untuk suami tidak diharapkan.
"Setiap ada Mas Abian wajah Mama selalu bersinar terang," sindir Nadiv, adiknya yang masih kelas tiga SMA dan sedang ditugaskan mencetak kue sebelum masuk oven.
Yola, adiknya yang masih kuliah dan suka cari masalah ikut menyambar. "Iyalah, ada Mas Abian rumah lebih hidup, Mas Abian baik, ganteng, herannya mau nikah sama dedemit."
Nadiv tertawa keras dan mengganguk-angguk setuju. Sementara Gita sudah berpikir bagaimana kalau menyumpal mulut adik-adik kurang ajarnya dengan adonan.
"Jangan-jangan Mas Abian kena pelet," canda Nadiv dengan tawa yang belum surut.
"Mas Abian, apa bagusnya dia? Yang ada dia beruntung banget bisa nikah sama aku," komentar Gita dengan gemas.
Mamanya mengerutkan alis.
"Setidaknya jauh di atas mantan Kakak, iya nggak?" celetuk Yola tanpa basa-basi.
"Mama setuju, untung cepat dilamar sama Nak Abian."
"Ya tinggal nagih cucu, Ma," sambar Yola yang gunanya mirip bahan bakar sekarang.
"Mau yang mirip sama Mas Abian dong, jangan mirip Kak Gita udah sepet," balas Nadiv dengan cekikikan geli.
Mereka masih ada di depan meja dengan tugas masing-masing, Nadiv berhadapan dengan Yola sambil terus mengobrol seputar ponakan lucu sampai matanya mirip siapa.
Gita ingin sekali menjahit mulut dua adik tidak tahu dirinya, dia malas mengeluarkan energi besar mengaminkan atau memprotes. Lagi pula siapa juga yang akan membuatkan ponakan lucu atau cucu untuk keluarganya? Disentuh seujung kuku pun Gita tidak sudi dan bisa gatal-gatal sepanjang hari. Dia alergi apa pun yang melibatkan Abian!