Setelah makan malam berdua dan harus mati-matian menahan diri tidak mencekik leher suaminya, Gita langsung menuju kamar. Dia malas berlama-lama di meja makan mendengar ocehan Abian yang seolah tidak pernah kehabisan stok bahan obrolan.
Dulu, Gita pikir Abian sosok yang kalem dan irit bicara. Baru usai menikah Gita menemukan sisi lain dalam diri Abian yang membuat perempuan itu semakin muak.
Gita mengecek ponselnya barangkali ada pesan dari Ega, sudah dua bulan lelaki itu membencinya seakan-akan Gita dianggap pengkhianat. Bahkan permintaan maafnya hanya diabaikan, tidak seperti Ega yang dikenal sangat perhatian.
"Mana ada, sih, yang mau perhatian sama istri orang, apalagi istri abangnya sendiri," gumam Gita sadar diri. Dia terlalu berharap kalau Ega mau memberi maaf dan bersedia menunggu proses perceraian dengan Abian.
Gita menghela napas, dia bersandar pada headboard ranjang sambil memijat kepalanya yang berdenyut. Dua bulan menyandang status istri Abian sudah cukup menahan batin.
"Pokoknya harus cerai, pusing banget!" gerutu Gita seraya melirik ke pintu kamar yang masih tertutup. Abian ada di dapur membantu ART-nya membereskan meja makan, dan Gita tidak ada niat menggantikan tugas suaminya.
Merasa pesanannya akan terus diabaikan, Gita menaruh ponselnya ke meja sebelah ranjang. Dia menarik selimut dan berusaha memejamkan mata sekalipun sulit, kepalanya penuh oleh bayangan Ega dan tatapan kecewanya saat datang ke pernikahan sang kakak bersama pacarnya sendiri.
Seandainya Gita nekat menentang orang tuanya untuk menolak lamaran Abian, pasti hubungan bersama Ega masih baik-baik saja. Sayangnya Gita tidak bisa egois mengingat mamanya sudah sakit-sakitan batuk serta sesak napas, Gita akan melukai sang mama kalau melawan.
Tak berapa lama suara pintu dibuka dari luar terdengar, Gita segera memejamkan mata memilih pura-pura tidur daripada terlibat interaksi apa pun bersama suaminya.
"Kamu kelelahan, ya, Sayang," gumam Abian selagi mendekat ke ranjang, mengamati wajah cantik sang istri yang terlihat damai. Tidak ada ekspresi masam atau judes seperti biasanya.
Abian membungkuk dengan jarinya menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah sang istri, membelai pelan pipi halus Gita dengan tidak tahu diri. Maksudnya dia hanya bisa melakukan itu kalau orangnya tertidur, padahal meminta lebih juga sudah haknya.
Singkirkan tangan kamu dari wajahku. Gita sudah menggerutu dalam hati menahan agar tidak mendorong tubuh suaminya.
Dia semakin geram karena Abian dinilai terlalu berani menyentuh kulitnya. Dalam hati sudah mengabsen isi kebun binatang saking kesalnya pada Abian.
Abian malah menyusuri permukaan bibir kenyal Gita, pandangan matanya tidak berpindah satu menit pun dari kecantikan wajah sang istri.
"Saya beruntung memiliki kamu, Gita."
Aku yang sial tujuh turunan nikah sama orang semacam kamu!
Sesaat Gita bisa menghirup aroma cinamon dengan begitu jelas, buru-buru dia membuka mata dan terkejut melihat Abian hampir mengecup keningnya.
"Kurang ajar!" Gita mendorong tubuh kekar suaminya sekuat tenaga, Abian juga tak kalah kaget melihat sang istri tiba-tiba membuka mata.
Abian menghitung dalam hati kalau perang dunia akan kembali terjadi. Gita akan emosi stadium akut tahu hampir kecolongan.
"Mas, berapa kali aku bilang jangan macam-macam!" Gita sudah mendelik galak, berubah posisi dari tiduran menjadi rebahan serta menarik selimut untuk melindungi diri takut kalau-kalau Abian khilaf.
"Hanya cium, Git."
"Hanya?" ulang Gita dengan mata melempar totalitas seolah akan melompat dari tempatnya. Dia geleng-geleng tak habis pikir, jangankan dicium, disentuh seujung kuku saja Gita tidak akan sudi.
Abian membuat gerakan mengusap rambut ke belakang, menatap Gita dengan bingung akan menjelaskan apa. Barusan dia hampir mencuri cium wanita yang sudah halal disentuh bagian mana saja.
"Mas nggak bisa dipercaya!"
"Saya normal, Git."
Gita berdecak sebal. "Iya, tahu, siapa juga yang bilang Mas gay. Tapi jangan sama aku."
Abian mengernyit, menatap sang istri yang memasang raut masam. "Maksudnya kamu minta aku sama wanita lain?"
Lama-lama kerutan di wajah Gita akan muncul kalau terus berhadapan dengan suaminya. Dia menggeram kesal, menatap Abian dengan ekspresi galak. "Siapa yang bilang?"
"Kamu, kamu yang minta. Beneran ikhlas kalau ada wanita yang--"
"Berisik!" potong Gita entah kenapa tidak sanggup membayangkan kalau suaminya menjamah kulit perempuan lain. Dia tidak cemburu, hanya jijik saja.
Abian terkekeh menyebalkan. "Mulai sayang, ya?"
"Jangan harap! Sana tidur di sofa!"
Tanpa merasa kasihan atau iba dengan suaminya, Gita meraih bantal di sebelah seraya melempar ke Abian yang sigap ditangkap.
"Awas saja berani curi kesempatan kalau aku tidur!" gerutu Gita masih ingat tindakan kurang ajar Abian membelai-belai wajahnya.
"Dikit aja nggak boleh?"
Gita melolot galak, ya ampun ... hanya bertemu waktu malam saja sudah tidak bisa dihitung berapa kali matanya melebar. Dia tidak membayangkan kalau harus 24 jam bersama Abian bisa-bisa bola matanya sudah menggelinding.
"Mau ngapain, heh, jangan macam-macam!" Gita tersentak kaget dan panik begitu Abian mencondongkan tubuhnya dengan aroma cinamon menyapa indra penciuman Gita.
"Ambil selimut," ujar Abian enteng tidak peduli reaksi kaget sang istri. "Biar hangat pakai selimut, nggak ada yang bisa dipeluk."
Gita melolot.
"Guling maksudnya," kekeh Abian setelah berhasil mengambil selimut melewati sebelah tubuh sang istri. "Kecuali kalau kamu mau jadi pengganti guling, sih."
"Jangan mimpi!"
Abian terkekeh. "Nggak apa-apa, namanya juga mimpi siapa tahu jadi kenyataan."
Daripada menguras emosi berdebat dengan Abian yang tidak pernah kalah. Lebih baik Gita diam, nanti akan searching santet online kalau-kalau Abian makin kurang ajar.
Setelah Abian tiduran di sofa panjang, Gita masih belum memejamkan mata. Dia gelisah berguling ke kanan kiri takut kalau-kalau kecolongan, dalam benaknya sudah muncul bayangan Abian akan mencium atau melakukan hal lebih parah selama dia terlelap.
Tapi dua bulan juga aman, kamu nggak perlu cemas, Gita. Perempuan itu mengangguk meyakinkan dirinya sendiri. Dia menoleh ke Abian yang sudah anteng di sofa, padahal tidurnya tidak nyaman.
Baru saja Gita menenangkan diri dan mulai dilanda kantuk. Ponsel yang tergeletak di nakas bergetar singkat, segera Gita meraihnya dan melolot kaget melihat notifikasi pesan masuk dari Ega.
Ega Sayang : Git, aku nggak bisa bohong kangen juga sama kamu.
Ada bahagia membuncah saat membaca chat yang masuk sampai air matanya keluar. Dia melirik sebentar ke Abian yang masih terlelap, lalu menghela napas.
Hubungan dia dan Ega masih baik-baik saja kalau Abian tidak membawanya ke pernikahan, jadi semua salah Abian.
Gita : Akhirnya kamu mau balas pesan aku, Ga. Maaf, sekali lagi maaf sudah membuat kecewa.
Ega Sayang : Kita bicara besok.
Ega Sayang : Di Starbucks
Gita : Besok?
Ega Sayang : Pukul sepuluh kalau kamu mau datang.
Mengambil waktu sebentar untuk berpikir, menimbang keputusan yang akan diambil. Di sini lain, dia sangat merindukan Ega dan ingin menjelaskan langsung kalau dia tidak pernah mencintai Abian. Tapi, akal warasnya tidak membenarkan karena status dia sudah menjadi istri Abian.