Gita masih mengenakan piyama tidur, melangkah malas-malasan menuju ke meja makan. Dia melirik ke Abian yang sudah segar dari rambut setengah basah, mengenakan kaus putih, dan aroma cinamon menguar begitu orangnya meraih piring di sebelah sang istri.
Abian memang rajin terbiasa bangun pagi sekalipun hari libur, orang normal lain akan memilih leha-leha di kasur menikmati istirahat.
"Sarapan sandwich saja nggak apa-apa, kan?"
Tidak ada jawaban, Gita malas berinteraksi apa pun bersama suaminya. Biarkan saja Abian mengoceh sendiri sampai mulut berbusa.
"Ini enak loh, saya yang bikin."
Gita hanya melirik sebentar begitu Abian duduk usai mengambilkan roti lapis berisi daging dan sayuran ke piring sang istri. Abian tidak keberatan, dia memang selalu menjadikan Gita ratunya.
"Hari ini kita berdua saja di rumah. Apa kamu mau jalan-jalan?"
Satu gigitan yang baru masuk ke mulut mendadak ingin Gita muntahkan. Dia celingukan ke kanan kiri, pantas tidak melihat dua ART-nya sejak turun ke meja makan.
"Bibi libur semua, kasihan perlu refreshing. Lagian saya kangen berduaan sama istri," kekeh Abian tidak peduli ekspresi galak Gita.
Gita ingin mencongkel ginjal suaminya kalau perlu. Dia mana sudi berduaan bersama Abian seharian penuh, bisa sesak napas rasanya.
Begitu sarapan selesai dengan Abian yang terus mengajak bicara satu menit sekali, sementara Gita cenderung merengut tanpa merespons apa-apa. Gita segera mandi, memilih baju simpel untuk bertemu Ega sesuai permintaan lelaki itu.
"Mau ke mana?" tanya Abian dengan kening berkerut-kerut melihat sang istri sedang merias wajah.
Gita hanya memutar bola matanya jengah.
"Saya lagi nanya, loh, kamu mau jalan-jalan kenapa nggak bilang. Ya sudah saya ganti baju dulu."
"Nggak perlu!" potong Gita sebal, bisa gawat kalau Abian tahu siapa yang bertemu dengannya. "Aku sama teman."
"Siapa? Namanya siapa?"
"Bukan urusan kamu!" jawab Gita judes selagi menatap kembali ke cermin, dia memulas bibir dengan lipstik warna merah menyala. Lagi pula sejak kapan Abian berubah posesif harus tahu detail kegiatan dan siapa yang Gita temui.
Abian bersedekap, kesenangan barunya melihat segala aktivitas Gita termasuk saat merias wajah.
"Merah banget lipstik-nya, saya nggak mau loh nanti ada pria nakal yang menjadikan kamu fantasinya."
Gita tidak peduli apa pun komentar Abian yang berlebihan. Mungkin lebih baik mengambil lakban agar mulut suaminya diam. Gita benar-benar jengkel hanya mendengar suara lelaki di sebelahnya.
"Kamu mau bertemu teman siapa? Laki-laki apa perempuan, cantik banget dandan gitu. Kalau ada yang naksir gimana?"
Udah dari dulu kali Ega naksir aku, kalau saja kamu nggak merusak kebahagiaan kami. Gita mendengkus sebal mengutuk suaminya dalam hati.
Cita-cita Gita sekarang bercerai dari Abian dalam waktu dekat, dia ogah berlama-lama terjebak dalam pernikahan terpaksa.
Selesai memoles make up tipis-tipis, ia meraih ponsel memesan taksi online yang langsung disambar Abian. "Saya antar biar hemat ongkos, nggak perlu pesan taksi."
Lama-lama stok kesabaran Gita yang memang sudah tipis setiap berhadapan dengan suami, mendadak lenyap. Dia menyoroti tajam sebelum merebut kembali ponsel di tangan Abian.
"Sehari saja tolong jangan ganggu hidup aku, Mas. Rasanya aku sudah darah tinggi!"
Abian tertawa, alih-alih merasa bersalah anehnya. "Hidup saya kurang lengkap Gita kalau tidak berdebat sama kamu."
Sadar emosinya sudah di ujung tanduk, Gita memilih menyambar tas dan bergegas keluar daripada terdorong melakukan hal-hal kriminal, mencekik leher Abian contohnya yang selama ini hanya ada di bayangan. Dia tidak ingin menghabiskan waktu di penjara dan akan muncul di headline surat kabar seorang istri dihukum mati karena mencekik suaminya yang genit.
"Gita, saya antar." Abian menjajari langkah sang istri dan seakan memiliki tekad sekuat baja. Gita benar-benar dibuat frustrasi dan yakin tidak baik untuk kesehatan mental.
Gita memilih diam daripada adu mulut dan menimbulkan kerutan. Sia-sia usahanya memoles bedak kalau keriput dan bisa-bisa Ega berpaling.
Beruntung taksi online yang dipesan sudah datang, jadi Gita tidak perlu meladeni Abian. Gita sedang malas menyetir di hari libur dan memesan taksi sudah pilihan paling tepat.
"Mau ke mana kamu, Git. Kenapa saya mendadak cemas takut kamu kenapa-kenapa," gumam Abian selagi melihat sang istri memasuki taksi.
***
Sebelum turun dari taksi, Gita berkali-kali mengatur pernapasan merancang kalimat yang akan dilontarkan depan Ega. Dia sudah menyimpan dalam otak dan berharap tidak ada blank kalau berhadapan langsung.
Gita memutari gerai Starbucks dan menemukan sosok pria dengan hodie hitamnya memilih duduk sebelah tembok kaca.
Mata Gita berkaca-kaca hanya melihat orang yang dicintai, dia merindukan masa-masa masih bebas menghirup aroma musk dari tubuh kekar Ega yang sering memeluk erat. Gita kangen menghabiskan satu cup minuman sambil bercerita aktivitas keseharian pada Ega.
Bagi Gita, Ega merupakan pacar sempurna dan masuk dalam kriteria suami idaman. Dia selalu menanti masa-masa Ega akan serius mengajak ke jenjang pernikahan. Sayang sekali, nasib tidak berpihak justru Abian menghancurkan semua mimpi Gita dalam sekejap.
"Sudah lama?" tanya Gita basa-basi dengan nada terdengar gugup.
Ega mengangkat wajah, menjeda aktivitas menyesap minuman di cup-nya. "Duduk."
Gita menurut, memilih duduk di depan Ega dengan perasaan campur aduk. Dia meremas kedua tangan selagi menatap ekspresi datar Ega.
"Gimana sama Bang Abian?"
"Jangan bahas dia," jawab Gita dengan sebal, dia malas mencatut nama Abian di pertemuan pentingnya bersama Ega.
Ega tersenyum sengit. "Bukannya dia suami kamu, salah kalau aku bahas?"
"Ga, please percaya kalau aku akan berusaha berpisah dari Mas Abian."
Ega menatap Gita sebentar, lalu menghela napas panjang.
"Kamu mau nunggu aku?" Kebodohan pertama dia mengabaikan harga dirinya menawarkan diri pada Ega. Semua kalimat yang dirancang sepanjang perjalanan lenyap begitu saja dan langsung ke topik inti.
Ega belum menjawab apa-apa, dia memilih menyesap minuman dulu. Sementara Gita hanya memegang cup dengan was-was, menghitung mundur menunggumu respons mantan pacarnya.
"Git?" Ega memandang Gita lamat-lamat. "Sebenarnya aku nggak suka bekas orang apalagi bekas abangku sendiri. Tapi aku nggak bisa bohong masih belum rela kamu bersama orang lain. Aku mencintai kamu, Git."
Gita mengerjap dan air mata yang sejak tadi ditahan meluncur. Dia mengangguk senang.
"Jadi?"
Suara dering ponsel Ega menginterupsi dan lelaki itu memilih menggeser layar daripada menjawab pertanyaan Gita.
"Aku lagi di luar, nanti dulu, ya."
Setelah itu Ega memutuskan sambungan telepon, semantara Gita menebak siapa orang yang menghubungi Ega.
"Gimana tadi?" Ega menjejalkan ponsel ke saku dan kembali memandang ke depan.
Terkesan murahan memang karena menawarkan diri pada pria lain, tapi Gita tidak peduli. Dia sangat mencintai Ega sejak awal pacaran sampai sekarang.
"Kamu mau nunggu aku, Ga?"
"Kita lihat nanti, aku nggak mau nunggu yang belum pasti."
"Aku pasti cerai sama Mas Abian." Gita sampai mengabaikan minuman di cup-nya. Dia menekankan kalimatnya dengan yakin.
Ega mengedikkan bahu. "Aku nggak yakin Bang Abian mau melepas kamu, bukankah dia sangat mencintai kamu."
Setengah harapan Gita hilang, dia bisa saja bersikeras pisah, tapi kalau Abian enggan mengajukan talak mana mungkin akan ada perceraian.
"Kasih aku waktu." Gita berjanji akan membuat Abian muak dan memilih melepasnya.
Ega memandang wajah cantik Gita, mengulurkan tangan mengusap sudut bibir Gita yang memiliki kebiasaan mengigit bibirnya saat gugup. "Nanti berdarah."
Gita tersentak kaget, lalu menepis tangan Ega yang bisa membuatnya khilaf. Sentuhan kecil Ega menimbulkan keinginan memeluk pria itu. Dia harus menahan diri mengingat statusnya masih istri Abian.