"MENYEBALKAN."
Kamu berkencan dengannya? Rain bertanya dari sisiku, dan aku menoleh untuk melihatnya.
"Aku tahu. Kesalahan besar, sangat besar."
"Tidak terlalu buruk." Gumam Fiky saat tiga orang pirang yang semuanya terlihat hampir sama berjalan ke arah kami sambil cekikikan.
"Ya, apakah seburuk itu." Kataku padanya saat Rain menegang di sampingku ketika salah satu pirang berdiri di sampingnya.
"Mengapa Kamu bekerja untuk Rain? Aku pikir Kamu masih menjadi model? "
"Model?" Rain bertanya, dan ketiga wanita pirang itu mulai terkikik lebih keras, seolah mereka tidak bisa mempercayai telinga mereka.
"Kupikir kita terjun payung." Kataku, mengganti topik pembicaraan. Karena saat ini, aku lebih suka jatuh pada kematian dari pada di tengah situasi seperti ini.
"Siapa temanmu?" Tanya si pirang yang berdiri di samping Rain dan aku menatap tajam ke arahnya.
"Maaf nona. Ini temanku Rain, dan ini Celine." Seru Fiky tersenyum, mengangguk ke arahku.
"Dan kau berkencan dengannya?" Pertanyaan si pirang yang lainnya, melihat antara Fiky dan aku dengan ekspresi bingung di wajah cantiknya (sayangnya).
"Aku melakukannya." Fiky mengangguk, masih tersenyum.
"Tapi dia gendut." Si pirang bergumam sambil menatapku.
"Maaf?" Rain menggeram saat Fiky menggeram. "Celin."
"Maaf." Bisiknya, mundur selangkah menuju ke tempat kedua teman pirangnya.
"Ayo pergi." Rain meraih tangan ku dan tidak memberi pilihan. Rain menarik ku menjauh dari kelompok pirang dan membawa ku ke gedung, mengayunkan lengannya ke bahu ku lalu bertanya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja. Ini bukan pertama kalinya seseorang menyebut aku gemuk. "
"Maksudku dengan Fiky."
"Oh, dia? Ya." Aku mengangkat bahu.
"Betulkah?"
"Tentu saja, kami berkencan dengan santai selama beberapa bulan. Itu tidak serius. Seperti dirimu, kurasa dia tidak akan pernah tinggal dengan seorang wanita manapun."
"Apa artinya itu?" Ketus Rain, terdengar terhina saat dia menarik lengannya dariku seperti aku baru saja membakarnya.
"Hei, jangan tersinggung. Ada dua tipe pria di dunia ini. Tipe yang menginginkan keluarga, dan tipe yang ingin bersenang-senang. Selama Kamu baik-baik saja dengan dirimu, berarti tidak ada lagi hal yang lebih penting. "
"Siapa bilang aku tidak ingin punya keluarga?"
"Kapan Kamu pernah memiliki hubungan yang serius?" Aku bertanya, dan wajahnya menutup. "Tepat." gumamku saat kami melangkah keluar dari terik matahari dan masuk ke interior gedung yang sejuk.
"Jadi apa, kamu dan Fiky baru saja berhubungan?"
"Tidak." Aku menggelengkan kepalaku lalu berbisik agar Fiky yang mengikuti dari belakang, tidak bisa mendengar. "Aku pikir, aku menjauhinya saat dia yakin menginginkan sesuatu yang lebih. Hanya saja dia tidak benar-benar menginginkan tekanan atau kesetiaan dari hubungan yang nyata." Saat itu untungnya seorang pria jangkung dan lebih tua yang Rain perkenalkan kepada ku sebagai pemilik, keluar untuk menyambut kami dan membawa kami kembali ke hanggar.
"Karena aku memiliki lebih banyak lompatan di bawah ikat pinggangku, kupikir Sesil harus melompat bersamaku." Kata Fiky saat aku mengenakan jumpsuit yang baru saja diberikan instruktur kepadaku.
"Dia melompat bersamaku, dan namanya adalah Celine, bukan Sesil." Gerutu Rain dari sisiku saat dia membaca beberapa dokumen yang diberikan Pak Hans padanya.
"Kamu memanggilnya Sesil?" Seru Fiky dengan tegas, menyilangkan tangan di depan dada dengan seringai geli.
"Dia milikku."
"Aku bukan siapa-siapa. Aku manusia, dan aku bukan milikmu." Aku memutar mataku pada Rain lalu melihat Fiky. "Aku tidak akan melompat bersamamu. Ambil Dumb, Dumber, atau Dumbest." Kataku dengan anggukan ke tiga pirang, yang masing-masing terlihat bingung saat instruktur berusaha membantu mereka bersiap.
"Apakah kecemburuan yang kudengar dari nadamu, Celine?" Seru Fiky.
"Tidak, aku hanya tidak ingin dekat denganmu."
"Jika aku mengingatnya dengan benar, Kamu dulu suka dekat dengan ku." Kata Fiky cukup pelan sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya.
"Aku dulu juga suka nenas sampai aku tahu itu penyebab gatal-gatal yang terus aku dapatkan." Gumam ku, dan dia terkekeh.
"Kamu selalu membuatku tertawa." Katanya lembut.
"Itu aku, selalu bagus untuk ditertawakan." Gerutuku, berpaling dari Fiky.
"Apa kau akan baik-baik saja saat aku berbicara dengan Fiky selama beberapa menit?" Rain bertanya, meletakkan jarinya di bawah daguku, memaksa mataku untuk menatap matanya.
"Tentu saja." Bisikku, berharap pada saat itu dia akan menciumku. Ah, pikiran yang benar-benar konyol.
"Aku hanya akan berbicara beberapa menit." Dia berbisik kembali mencari tatapanku lalu menggelengkan kepalanya, menjatuhkan tangannya, dan berbalik meletakkan tangannya di bahu Fiky lalu membawanya pergi.
Melihat mereka, aku bertanya-tanya bisnis apa yang perlu mereka bicarakan. Fiky adalah pemain poker yang pertama kali membuat nama untuk dirinya sendiri dalam perjudian online, tetapi sejak itu tumbuh menjadi salah satu nama terbesar di Kota ini. Aku tidak bertemu Fiky sejak aku memberitahu bahwa aku tidak bisa bertemu dengannya lagi dua tahun lalu. Dia selalu mencari pemacu adrenalin berikutnya, sementara aku mencari kebahagiaan selamanya. Sepertinya kita berdua masih mencari. Mengabaikan kesedihan yang membuatku merasa terpuruk dan aku telah selesai bersiap-siap, duduk, dan menunggu Rain kembali.
"Apakah kamu siap?" Tanya Rain di dekat telingaku, jadi aku bisa mendengarnya di antara raungan keras mesin pesawat. Sambil menggelengkan kepala, aku memejamkan mata lalu memegang kedua pahanya saat pesawat menggema. "Aku berjanji tidak akan terjadi apa-apa padamu." Katanya lembut, meremas pinggangku, menarikku lebih dekat dengannya, yang tampaknya mustahil karena aku benar-benar duduk di pangkuannya.
"Kami berada di ketinggian menyelam." Pilot mengumumkan melalui pengeras suara yang membentang di sepanjang bagian dalam pesawat. Aku membuka mata. Aku melihat salah satu instruktur membuka kunci pintu dan menariknya terbuka, menyebabkan interiornya dipenuhi dengan udara dingin.
"Kita akan lompat terakhir." Teriak Rain.
Aku mengangguk lalu berteriak kembali. "Jika aku mati, aku akan kembali dan menghantui mu." Itu hanya berfungsi untuk membuatnya tertawa begitu keras sehingga tubuhku, yang terikat padanya, bergetar bersamanya.
"Sampai jumpa di bawah!" Fiky berteriak saat dia melewati kami dengan salah satu pirang terikat di depannya.
"Pembebasan yang bagus." Aku menggerutu lalu merasakan tubuh Rain bergetar di bawah tubuhku sekali lagi. Melihat Fiky melompat dari pesawat, diikuti oleh dua teman perempuannya yang terikat dengan instruktur, aku merasakan aliran adrenalin di tubuh ku.
"Ayo kita terjun, sayang." Kata Rain sambil berdiri, tidak memberiku pilihan selain pergi bersamanya menuju pintu yang terbuka. Aku Melihat ke bawah, mataku berlinang air mata. Aku telah melakukan banyak perjalanan pesawat selama bertahun-tahun, dan selalu senang ketika bisa mendapatkan tempat duduk di dekat jendela sehingga dapat melihat dunia saat kita terbang di atasnya. Tetapi mengetahui aku akan jatuh ke tanah yang tampak berlapis awan di bawah adalah perasaan yang berbeda sama sekali.
"Silangkan tanganmu di depan dada, sayang." Rain menginstruksikan, dengan ringan meraih pergelangan tanganku di tangannya dan menempatkannya di depan depanku.
"Aku membenci mu."
"Pada hitungan ketiga. Satu dua…"
Dan kemudian kita jatuh.
"Dasar brengsek, bangsat!" Aku menelan ludah saat udara mengalir ke arahku begitu cepat sehingga mulutku terbuka dan terisi, menyebabkan pipiku mengembang. Memaksa mulutku menutup, aku meraih tali di dekat pundakku dan bertahan seumur hidup, meskipun aku tahu mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkanku. Sambil memejamkan mata, kami memelintir dan berbalik saat perut ku turun dan naik.
"Aku akan membuka 'parasut".
"Ide bagus." Teriakku, dan tubuh kami tersentak ke belakang lalu mataku terbuka.
"Lihat? Tidak terlalu buruk, bukan? " Rain tertawa, dan aku melihat ke belakang. Aku melihat Rain begitu bahagia dan sangat senang sekarang. Stres yang biasanya dia bawa di sekitar matanya hilang dan digantikan oleh garis tawa yang membuatnya semakin tampan.
"Kita masih harus mendarat." Kataku padanya, dan terlihat jelas senyumnya sangat melebar.
"Tapi sampai saat jatuh ke tanah, rasakan dulu dan nikmati saja."
Dengan enggan menarik mataku dari yang wajah bahagianya, aku melihat sekeliling dan kemudian ke bawah. Aku benci mengakuinya, tapi ini adalah salah satu pengalaman paling menakjubkan yang pernah aku alami. Mengambang di udara, pemandangan daratan di bawah dan langit di atas, membuatku terkagum-kagum.
Perasaan kebebasan saat kita jatuh. Rain di punggung ku, lengannya di pinggang ku. Itu membuat ku merasa aman dengan cara yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Saat kami semakin dekat ke tanah, aku melipat lutut ke arah dada dan menutup mata, tidak ingin melihat tanah datang dengan cepat ke arah ku. Secepat itu dimulai dan secepat itu berakhir. Aku merasakan tanah di bawah pantat ku dan membuka mata perlahan.