Dua lelaki tampan dengan paras yang hampir mirip itu, bahkan beberapa torehan tinta permanen yang ada di tubuh mereka di buat hampir sama, hanya duduk dengan pikiran masing-masing.
Masih dengan pembahasan soal pekerjaan yang sama dan soal rumah tangga masing-masing.
Alex mengusap rambut emasnya yang sedikit berantakan dan membuka beberapa file yang akan di bawa Jason untuk rapat siang nanti.
"Aku akan ke Kanada siang nanti. Juga dalam beberapa hari ini aku akan pindah." Jelas Alex masih dengan membubuhkan beberapa tanda tangan usai membacanya.
"Kau yakin Alex? Bukankah ini terlalu cepat. Juga, Aleta sedang hamil," jawab Jason dengan nada sedikit keberatan.
Alex hanya menggeleng dan tersenyum pias. "Tidak. Aku tak ingin mengambil risiko dengan memendam sesal lebih lama lagi. Atau akan lebih parah, seumur hidup." Alex menyandarkan punggungnya di sofa dan matanya menatap lekat ke atas langit-langit ruang kerjanya.
"Aku pernah merasakan sesal karena tak percaya pada Aleta dan juga bersikap kasar padanya." Mengusap kasar wajahnya, sekali lagi, dan menarik napas dalam-dalam. Sesak itu hadir kembali. "Aku menamparnya yang sialnya dengan tanganku sendiri Jason. Padahal itu tak benar nyatanya. Dan aku, aku malah berlaku kasar padanya."
Buliran bening itu tanpa sadar mengalir melewati celah pipi mulusnya. "Sesal itu hingga kini Jason. Sungguh. Aku tak bisa menepisnya. Walau sepersekian detik. Tidak. Dia tidak mau pergi dari ruang hatiku. Seakan akan itu hukuman untukku. Itu cambuk besar untuk hidupku. Untuk mengingatkanku soal perlakuan kasar itu." Curah Alex dengan nada yang hampir hilang.
Jason menatap prihatin. Bagaimana pun juga, dia sudah menganggap Alex seperti adiknya sendiri.
Baginya, Alex adalah sosok yang baik. Tak hanya baik, dia juga ramah. Meski sedikit tertutup. Namun, tetap saja hal itu tak menutup kemungkinan semua sifat yang ada pada dirinya.
Benar-benar replika kakak tirinya, Jeremy, ayah Alex.
Jason meremas pelan pundak tegap Alex. Memberinya sedikit ketenangan juga agar tak larut dalam penyesalannya. Dia sendiri tahu bagaimana Alex jika sudah mengenai hal seperti ini. Tak akan mudah melupakan kesalahan yang telah dibuatnya. Itulah Alex. Selamanya akan seperti itu.
"Bukankah sekarang Aleta sudah memaafkanmu? Lihatlah, dia bahagia bersamamu. Sangat bahagia jika aku melihatnya. Bahkan semua orang yang melihat hal itu," ucap Jason setelah lama terdiam mendengarkan curahan Alex.
"Aku tahu itu Jason. Meski dia telah memaafkannya. Justru hal itu sangat membuatku takut untuk menyakitinya lagi. Aku tidak tahu hatinya itu terbuat dari apa. Tapi sungguh, dia memaafkanku tanpa ada rasa sakit atau bahkan membenciku. Dia menerimaku dengan begitu terbuka. Dan bahkan mengurus semua yang aku sendiri tak memintanya. Dia tahu, sangat tahu dengan apa yang aku inginkan. Aku menyesal tak percaya dengan ucapanmu waktu itu soal apa yang kau lihat Jason." Ungkap Alex pada akhirnya.
Flashback on.
Alex berjalan memasuki mansion mewahnya ketika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Suasana mansion telah sepi. Beberapa lampu sudah di matikan. Hanya ada beberapa lampu kecil yang menyala.
Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mewahnya namun terhenti dan bergegas berjalan ke arah salah satu sudut kamar yang berada tak jauh dari letak kamarnya.
Menelisik masuk dan mendapati gadis yang menjadi istrinya telah terlelap. Alex tersenyum simpul. Memberi kecupan singkat pada kening gadis itu serta membenarkan letak selimutnya. Menutup pintu balkon dan gorden yang di biarkannya tergerai.
Angin dingin musim gugur di Paris. Pikir Alex.
Kakinya kembali melangkah keluar dan memasuki kamarnya yang tak begitu jauh. Merebahkan badannya dan meletakkan kedua lengan kekarnya menutupi wajahnya.
Lelah. Itu yang dirasakannya.
Pekerjaan di kantor cabang yang baru di buka benar-benar menyita waktunya.
Berangkat pagi dan pulang larut. Setiap hari seperti itu.
Dirinya bahkan harus bertengkar dengan kekasihnya yang berjauhan dengannya di Los Angeles. Entahlah, Alex sendiri tak memahami pemikiran gadis pirang dengan mata biru terang itu.
Seharusnya, kekasihnya itu segera menyusul ke Paris karena Alex sudah menetap selama hampir satu bulan. Tapi nyatanya, gadis itu malah enggan menyusul dan lebih memilih bertahan di negeri paman sam tersebut.
Mengembuskan napas kasar, Alex bergegas bangkit dan melepas semua pakaian yang sejak pagi di pakainya namun sudah tak rapi lagi.
Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan shower. Membiarkan air dingin guyuran shower meresap masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Memberinya rasa rileks.
Cukup dengan beberapa menit dan Alex segera keluar melilitkan handuk di pinggangnya.
Belum sampai kedua kakinya berjalan memasuki ruang ganti, getaran pada ponsel canggihnya mengharuskannya menoleh dan melirik jam di atas nakas.
Hampir tengah malam dan masih saja ada yang menghubunginya. Sumpah serapah dalam hatinya akan menyemburkan amukan pada siapapun yang mengiriminya pesan tengah malam seperti ini. Siapa pun itu. Gerutunya.
Jemari Alex dengan cepat membuka lock screen dan membuka apa yang masuk ke dalam salah satu daftar pesannya.
Keningnya berkerut melihat apa yang ada di dalam isi pesan tersebut. Ini tak salah. Ini jelas nama kontak pamannya sendiri yang mengirim pesan padanya. Namun, kenapa isi pesannya seperti ini.
Alex memutar otaknya keras. Berpikir sampai rasanya denyutan di kepalanya. Kedua bola matanya memerah menatap apa yang di terimanya.
Tidak mungkin. Ini pasti salah. Ini pasti hanya akal-akalan pamannya.
Alex melempar ponsel pintarnya sembarang arah dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjangnya.
Mencoba menenangkan gemuruh hatinya. Mengembuskan napas berkali-kali.
***
Alex berdiri di sisi kolam renang mansionnya sejak setengah jam yang lalu. Merasakan hembusan dingin angin musim gugur.
Ekor matanya menangkap sosok gadis yang sangat di kenalnya. Mencoba mengabaikan, Alex masih larut dalam pikirannya sendiri dan mencerna semua isi pesan tersebut.
Tak hanya satu foto. Namun lima. Ya, lima foto dalam satu ruangan dan waktu yang sama.
Kembali, sudut matanya menangkap pergerakan gadis itu dan mulai menahannya.
Alex memeluknya erat. "Biarkan seperti ini tolong," ucapnya lirih.
Flashback off.
Alex tersenyum pias. "Aku minta maaf soal itu Jason," ucap Xander setelah lama bertarung dengan pikirannya sendiri.
Jason hanya mengangguk. "Jaga dia. Hanya itu yang harus kau lakukan. Kau tahu, aku senang melihatmu berubah sejak bersama Aleta. Setidaknya Male sangat tepat mencarikan istri untukmu." Jason berucap sedikit memberi nada mengejek pada Alex. "Oh aku melupakan sesuatu. Kenapa kau harus pindah. Apa Aleta tahu?"
"Aku harus menjauhkan masalah dari hidup Aleta. Kau tahu Helen? Dia bahkan ingin bersaing dengan Aleta. Bukan tak mungkin dia akan menyakiti Aleta. Aku hanya ingin Aleta dan calon anak kami baik-baik saja. Aleta tidak tahu. Setidaknya dalam beberapa hari ini kami akan pindah."
Jason mengangguk mengerti dan kembali menekuri file yang baru saja Alex beri tanda tangan.
Belum lama, decitan pintu terbuka membuat dua lelaki tampan itu mendongakkan kepala melihat siapa yang masuk.
Kaki-kaki kecil telanjang dengan suara cadelnya membuat kedua lelaki itu tersenyum.
"Daddy." Panggil Arthur dengan suara yang menggemaskan membuat Jason memutar kedua bola matanya.
"What boy?" Jason menghampiri Arthur dan mencubit pipi tembamnya.
"Aku ingin pipis," jawabnya polos sambil menunjukkan gigi-giginya yang baru tumbuh.
"Oh baiklah. Kau bahkan harus pipis dengan Daddy. Tanpa mau dengan Mommy."
Nampak bocah kecil itu hanya terkikik melihat Daddynya yang menggerutu pelan. Di kalungkannya tangan mungilnya di sekitar leher Jason dan mencium pipinya.
Melambaikan tangan kecilnya pada Alex sambil bergumam kecil. Alex balas mengangkat tangan kekarnya dan melakukan hal yang sama seperti Arthur.
Alex hanya tersenyum kecil. Di benaknya berpikir, kapan anaknya akan terlahir. Rasanya sudah tak sabar menggendong buah hatinya itu.
Kembali Alex memfokuskan pikirannya pada file-file yang dibacanya.
Namun selang beberapa menit pintu kembali terbuka dan sosok Aleta berdiri dengan wajah memerah menahan tangis.
Alex mengerutkan kening dan ingin bangkit dari duduknya. Namun Aleta sudah lebih dulu berjalan menghampirinya dan duduk di atas pangkuannya. Menyembunyikan wajahnya di ceruk lehernya.
"Ada apa sayang. Kenapa kau menangis, hm? Kau bahkan belum mandi," tanya Alex lembut sembari mengusap punggung mulus Aleta pelan. Hormon kehamilan Aleta berubah dengan begitu cepat. Sedetik merajuk dan sedetik lagi membaik.
Menghantarkan rasa hangat dan tenang secara bersamaan.
"Kau meninggalkanku Alex. Kau bilang takkan lama. Tapi ini hampir satu jam." Alex tersenyum dan mencium puncak kepala Aleta. "Aku ingin mandi bersamamu Alex."
Oh Tuhan, hampir saja jantung Alex akan merosot ke bawah mendengar penuturan Aleta.
Istrinya ini benar-benar menguji gairahnya sekarang.
"Baiklah sayang. Aku akan mandi bersamamu sekarang. Lima menit lagi, oke. Hanya satu berkas ini." Alex kembali mencium pelipis Aleta dan hanya di jawab anggukan oleh Aleta.
Satu tangan Alex masih mengusap pelan punggung halus Aleta.
Dua benda kenyal favoritnya bergesekan dengan dada bidangnya setiap kali Aleta bergerak. Membuat Alex mati-matian menahan gairahnya.
"Kau kenapa sayang?" tanya Alex karena melihat Aleta yang tak nyaman.
"Kepalaku sakit Alex. Perutku kembali mual." Keluh Aleta dengan suara manjanya.
Ya Tuhan istrinya ini sangat manja sekarang. Sangat.
"Kita akan ke dokter selepas mandi nanti. Kau bahkan belum makan dan meminum susumu. Bayi kita sama keras kepalanya denganmu sayang." Ungkap Alex jujur dan menangkup kedua pipi Aleta lantas mencium sudut bibirnya.
Aleta terkikik mendengar gerutuan Alex dan kembali memeluknya.
"Kau tahu Alex. Tempat teramanku di dunia ini hanya ada di dalam dekapanmu. Aku tak takut pada dunia asal kau selalu mendekapku. Aku juga tak akan lelah pada beban pada pundakku yang berton ton karena kau, Alex. Terima kasih. I love you, King," ucap Aleta membuat dada Alex menghangat.
"Kita sebuah rahasia, Aleta. Tak akan ada dunia yang tahu tentang kita atau memisahkan kita. Kita tak akan berubah sampai kapanpun Aleta. Kita akan bersama sama. Terima kasih sudah menerimaku. Aku lebih mencintaimu, Aleta. Like Jack love Rose." Alex mengecup kening Amora lama dan dalam.
Meresapi setiap untaian kata untuk Aleta yang berasal dari dasar hatinya.