Aleta side
Aku tidak tahu ini sudah pagi atau belum. Bahkan aku tak bisa melihat sinar matahari, setidaknya sedikit saja, masuk kedalam celah ruangan gelap ini. Aku harus keluar dari sini. Tapi bagaimana. Aku tak tahu jalan mana yang harus aku ambil. Dan lagi, kenyataan bahwa tempat ini begitu gelap membuatku bertambah kesulitan mencari celah atau setidaknya jendela untuk melompat keluar.
Berdiri, aku mencoba berdiri meski nyeri di area sekitar perutku sangat menyiksaku. Tidak. Jangan, kumohon jangan biarkan calon bayiku pergi. Dia alasan satu satunya aku bertahan sekarang. Tidak.
Aku melangkah meski harus tertatih. Kedua bola mataku mulai berpendar menuju ujung ruangan dimana pintu keluar berada. Menempelkan telingaku dan kosong. Indra pendengaranku menangkap suasana kosong dan sunyi. Itu artinya, sosok wanita yang semalam menyiksaku tak berada disini.
Aku segera menjauh dari belakang pintu dan mencoba mencari jendela, lagi.
Beberapa menit berlalu dan hasilnya nihil. Bukankah sebuah hal mustahil sebuah rumah tanpa jendela. Pasti ada. Aku hanya belum mencarinya dengan teliti.
Kembali, tanganku menggapai apapun agar aku bisa berjalan karena suasana sangat gelap.
Dan, tak lama aku merasakan tanganku menyentuh sebuah kursi. Aku menaiki kursi itu dan mendapati celah. Meski kecil, namun kini aku tahu jika diluar waktu sudah terang. Terlihat dari lubang kecil itu. Aku mengintip dari lubang itu dan mendapati beberapa pepohonan.
Seperti di hutan.
Menyingkirkan tumpukan barang dan aku mendapati kain hitam yang menjuntai kebawah. Menyibaknya perlahan dan senyumku mengembang.
Aku mulai membuka jendela ini meski sedikit sulit karena sudah mulai berkarat.
Namun, belum sempat aku menyelesaikan membuka jendela ini rambutku kembali ditarik kebelakang dan membuatku terpelanting kebelakang.
"Mencoba kabur, eh?" Suara itu kembali menginterupsiku dengan nada tinggi.
Aku hanya memegangi kepalaku yang kembali terasa berdenyut.
"Kau memang sialan Aleta. Kau harus mati sekarang juga!" Aku kembali merasakan perutku diinjak dengan sangat kuat membuatku harus menjerit kesakitan. "Memohonlah ampun padaku Aleta. Kau akan aku lepaskan. Lepaskan juga Alex sekarang juga, sialan!"
Tidak. Aku tak akan memohon. Aku tak boleh memohon. Tidak.
Ya Tuhan, bayiku.
Kini tak hanya sakit di area perutku. Namun juga beberapa sayatan mengenai wajahku juga tanganku. Ya, aku melihatnya meski kondisi gelap. Aku melihat dengan jelas perlakuan kejam wanita ini. Aku tidak tahu bagaimana bisa obsesi ingin memiliki seseorang yang bahkan sudah bukan miliknya.
"Menyerahlah Aleta. Aku sungguh sangat membencimu. Sangat. Kau benar benar harus mati agar aku bisa bersama Alex."
Aku hanya diam dan mengerang kesakitan. Sungguh Tuhan, ini sangat sakit. Lindungi bayiku.
Sayatan itu kembali aku rasakan dipergelangan kakiku. Aku hanya bisa mengerang kesakitan dengan air mata terus mengalir.
Lagi dan lagi. Wanita ini kembali menyiksaku. Rasanya seluruh badanku mati rasa karena sakit ini.
Hingga aku merasakan kedua bola mataku mulai memberat. Entah aku tertidur atau aku sudah mati. Tapi rasanya ini benar benar sakit.
"Matilah jalang! Sebelum kau mau menyerah dan melepaskan Alex untukku, aku akan terus membuatmu kesakitan. Tanpa rasa ampun."
Aku mendengar kalimat itu. Tidak. Aku tak boleh menyerah. Tapi sakit ini mengharuskanku. Dan juga, perutku. Rasanya perutku benar benar sakit. Apa aku kehilangan bayiku?
***
"Alex."
Aku terbangun dan berteriak karena mendapat guyuran air di sekujur tubuhku. Perih. Ini sangat perih menusuk masuk kedalam pori pori kulitku yang terkena sayatan.
Garam. Ini air garam. Aku tahu ini air garam. Aku menjilatnya yang juga mengenai wajahku. Rasa asin bercampur dengan rasa darah.
"Jangan panggil namanya di depanku jalang! Kau tak pantas memanggil nama calon suamiku." Aku mencoba menahan perih ini dengan menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Bahkan bibirku kembali berdarah karena aku menggigitnya begitu kuat. Dan juga, kenapa kali ini suaranya berbeda. Kenapa suara ini begitu tak asing untukku. "Terkejut, eh?"
Aku membulatkan kedua bola mataku. Aku benar benar terkejut. "Kau?!" Kini aku menatap sama tajamnya.
"Simpan tatapan tajam itu, Aleta. Kau tahu, semua ini belum seberapa jika kau ingin tahu. Kau takkan pernah keluar dari sini hidup hidup. Dengan calon bayimu atau dengan nyawamu sendiri. Alex lebih bahagia jika tanpa kau. Semestinya aku." Tangannya menunjuk pada dirinya sendiri dengan begitu sombong.
Aku tertawa sinis. "Kau boleh mengambilnya." Aku mencoba air mata yang akan turun dari kedua bola mataku. "Setelah kau membunuhku," lanjutku yang di sambut dengan tawa keras bahagianya.
****
Alexandre side
Aku menatap bingkai foto cantik di meja kerjaku. Hanya menatapnya. Biarkan seperti ini karena aku begitu merindukan istriku.
Pagi ini aku bahkan harus mandi dengan air yang tak di siapkan olehnya. Memilih setelah kemeja ke kantor sendiri, dan tanpa, di pakaikan atau di rapikan oleh jemari lentiknya. Aku bahkan harus rela makan yang bukan masakan dari tangannya.
Aku, sudah sangat menggantungkan hidupku padanya. Sangat. Aku sudah terjatuh paling dalam pada hatinya. Dan aku tak bisa meski hanya satu menit, tidak tidak, bahkan aku tak bisa satu detik saja tanpanya. Aku tak bisa. Tidak.
Kedua bola mataku kembali memanas. Aku tak terima dan takkan pernah bisa menerima ini. Siapa pun orangnya, dia harus mati di tanganku. Harus.
Orang-orangku sudah menyebar ke penjuru Madrid dan ya, beberapa dari mereka bahkan harus menyisir bagian hutan dan dermaga.
Setidaknya, jika di seluruh kota tak menemukan tanda-tanda, paling tidak dihutan atau didermaga bisa ada kemungkinan Aleta di sekap.
Otakku masih terus berputar mencari spekulasi siapa yang melakukan penculikan ini. Bukankah selama ini Aleta tak memiliki musuh. Dan kenapa kejadian ini begitu rapi. Kenapa bertepatan dengan aku dan Aleta yang baru saja menapaki Madrid. Dan kenapa, tunggu.
Kedua alisku bertaut. Aku berpikir lagi. Bertepatan dengan aku dan Aleta yang baru saja sampai di Madrid? Ini kebetulan atau memang sudah di rencanakan. Dan itu artinya ada yang memantau kami selama ini. Penculik ini bahkan tahu jika Amora akan keluar sendiri tanpaku. Apakah ini ada hubungannya dengan dia?
Bukankah aku telah melihatnya. Meski dia tak melihatku dan Amora sewaktu di pusat perbelanjaan.
Apakah ini ulahnya?
Ini hanya bagian dari pemikiranku. Karena aku tahu seperti apa dia.
Dan bukankah memang aku sudah membunuh orangku yang waktu itu membantunya.
Ya, pengkhianat itu memang hanya membantu. Tapi, apakah sampai seperti ini. Seperti pada fakta bahwa dia menculik Amora.
Tidak! Tidak! Aku mencoba menepis pikiran gila ini. Namun sungguh justru pikiran ini sekarang dominan dalam otakku.
Jika benar dia, lalu apa hubungannya dengan Amora. Bukankah ...
"Maaf Tuan, ada yang ingin bertemu dengan Tuan." Lantunan suara itu menyeretku kembali kedalam dunia nyata.
Sejak kapan dia masuk dan lancang sekali dia tanpa mengetuk pintu.
"Aku tak ingin bertemu siapa pun. Dan Maddi, gunakan sopan santunmu. Aku tak suka kau masuk tanpa mengetuk pintuku."
"Aku sudah mengetuknya Tuan. Hanya saja Tuan tak bergeming. Sedang wanita itu mulai memaksa."
Aku kembali mengerutkan keningku. Siapa wanita yang memaksa ingin bertemu denganku. Apa itu penting?
"Suruh dia pergi. Jangan biarkan siapapun bertemu denganku!"
Perintahku tegas dan membuat Maddi angkat kaki seketika.
Kembali merenung, ponsel diatas meja kerjaku berbunyi. Aku segera meraih dan menempelkan pada telingaku.
"Jika bukan soal Aleta tak perlu meneleponku," semburku langsung.
"Ini justru soal Nyonya Aleta, Tuan."
****
"Bangunlah jalang!" Tendangan keras tepat mengenai perut gadis yang tengah terkapar diatas lantai dengan luka sayatan disekujur tubuhnya. "Kau tak harus tidur jika kau ingin mati secepatnya. Aku akan mengantarmu lebih cepat," ucapnya lagi sambil menyeret keluar tubuh mungil gadis itu kasar. Mencengkeram kuat rambutnya dan kembali menyeretnya.
Tak ada perlawanan, hanya suara rintihan tertahan yang terdengar. Kedua tangannya terus memegangi perutnya yang teramat sakit.
"Aku tak pernah menyakiti orang lain atau bahkan berlaku kasar pada orang lain. Tapi, kenapa aku di perlakukan begitu buruk. Hanya karena seorang Alexander Watson. Hanya karena aku mencintai Alex dan hidupku berakhir seperti ini. Bolehkah aku menyesal sekarang? Jika ya, aku menyesal menerima perjodohan itu. Aku sangat menyesal menyerahkan hatiku. Aku menyesal mencintainya. Karena ini justru mengancam bayiku. Mengancam calon anakku. Dan lagi, wanita ini begitu teramat ingin membunuh calon anakku." Ungkap gadis itu, Aleta, dalam hati.
"Aku sudah sangat lama ingin menyingkirkanmu Aleta. Teramat sangat lama sehingga aku harus menyusun semuanya dengan rapi. Oh, simpan tatapan tajam menjijikkan itu Jalang. Kau akan mati sebentar lagi. Bersama dengan anakmu. Aku takkan bodoh membiarkanmu hidup dengan selamat. Aku sudah sangat menunggu waktu ini. Setelah membereskanmu aku akan menemui Alex."
"Kau ... Kau takkan bisa lagi menyentuh hatinya meski kau membunuhku. Kau tahu Alex seperti apa. Kau akan mati di tangannya tak lama lagi. Kau terlalu pintar hingga kau tak berpikir kenapa kau tiba-tiba datang. Yang aku tahu, Alex ..."
"Tutup mulutmu jalang. Aku tak butuh omong kosong dari bibir sialanmu. Tak bisakah kau berbagi kebahagiaan denganku?"
"Tidak. Karena dia milikku. Dan selamanya akan tetap milikku."
"Dan aku akan menjadikannya milikku. Kau tahu ini, kau mau merasakan ini?"
"Aku tak takut. Kau boleh membunuhku karena aku tahu setelah ini kau juga akan mati di tangan Alex. Jadi kita akan sama sama. Lakukan saja. Lakukan sesukamu Nyonya Aleta."
"Baiklah. Kau meminta ini. Ini akan membuatmu benar-benar tersiksa."
Bahkan kini, wajah cantik Aleta sudah tak segar seperti biasanya. Wajah putih mulusnya penuh dengan sayatan dan luka gores. Wajah yang selalu menjadi tempat ternyaman ketika suami tercintanya menatap dengan sayang. Dengan kedua bola mata cokelat madu teduhnya. Mata yang sangat tajam namun juga favorit Aleta, sejak pertama mereka bertemu. Aleta terus memegangi perutnya. Tangan dan kakinya tak jauh berbeda. Jangan lupakan soal perutnya yang terasa nyeri semakin menjadi.
Wanita gila itu kembali menyayatkan beberapa luka pada wajah Aleta juga sekitar leher jenjangnya.
Menahannya. Aleta hanya bisa menahannya. Kedua bola matanya terpejam sempurna, menggigit bibir bawahnya kuat kuat, hingga kembali darah keluar akibat gigitan yang teramat kuat.
Pisau tajam itu kini bahkan menancap kuat pada kedua lengan serta kedua kaki jenjangnya.
"Aarrrrrrggggggghhhh Alex."
Teriak Aleta kencang. Namun teriakan Aleta segera terhenti karena wanita gila itu menendang mulut juga perut Aleta, lagi dan lagi.
"Sudah aku peringatkan jangan sebut namanya jalang! Kau membuatku muak. Sangat."
Kembali menyeret tubuh Aleta, dengan mencengkeram rambutnya, meletakkan tubuh Aleta di tepian jalan.
Pada akhirnya pertahanan Aleta runtuh. Memilih memejamkan kedua bola matanya. Berkunang kunang seakan seseorang mencoba menggapai kedua tangannya dan meraihnya. Sosok itu tersenyum tipis. Menyalurkan senyum yang Aleta uraikan sebelum akhirnya benar benar terpejam.
"Takkan ada kebahagiaan yang sesungguhnya. Sekuat apapun Alex mencoba menyembunyikan dirinya dari dunia. Akan tetap selalu seperti ini. Setelah ini tak akan ada rasa sakit. Yang ada hanya senyum mengembang bersama buah hatinya." Batin Amora dan masih tetap tersenyum.
"Aku sudah puas dengan dendamku. Kau melawanku dan tak mau berbagi denganku." Ucapnya lirih dan menyempatkan menginjak kembali kaki Aleta dan melayangkan tendangan keras di perut Aleta, sekali lagi, lantas berlalu pergi dan memasuki mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Bibirnya terus menyunggingkan senyum yang tak pernah sirna.
"Aku datang Alex. Aku datang." Lolosnya dengan suara pelan.
***
"Aku terlalu lama membuatmu menunggu sayang. Aku harusnya lebih jauh membuat sebuah rahasia untuk kita. Untuk masa depan kita. Kau tahu, aku baru saja memulai semuanya. Aku seharusnya berada di sampingmu bahkan ketika kau sedang kesakitan. Maaf."