Chapter 35 - Bab 35

Aku masih mencoba membiasakan kedua bola mataku yang beradu langsung dengan sinar yang menyilaukan.

Entah di mana aku. Yang jelas, tempat ini begitu sunyi juga damai. Aku merasakan damai, seperti di surga.

Aku mengedarkan seluruh pandangan. Sepi. Sunyi. Dan putih. Tak ada siapapun di sini. Hanya aku.

Angin bereembus perlahan. Menerbangkan beberapa helai rambut cokelatku yang tergerai bebas.

Aku menghirup sedalam yang aku bisa.

Ringan. Aku merasakan ringan saat menghirup aroma angin yang berembus.

Rongga dadaku terasa ringan dan tak terhimpit. Pundakku juga terasa ringan tanpa beban.

Aku merentangkan kedua tanganku lebar. Seakan meminta pada hembusan angin untuk memeluk tubuhku.

"Pulanglah. Kumohon pulanglah."

Aku mendengar sebuah suara tak asing namun aku tak melihat seorang pun. Aku mulai mencari asal suara itu namun tak kunjung aku temui.

"Kau harus kembali. Kau berjanji padaku takkan pernah meninggalkanku. Maaf, aku tak becus menjagamu."

Lagi, suara itu lagi.

Suaranya begitu putus asa dan menyayat hati.

Siapa dia? Siapa yang tengah berbicara itu.

Suara siapa itu? Suara itu benar benar tak asing untukku, namun aku tak tahu.

Ya Tuhan.

Kenapa sejak tadi dia bergumam berkata 'pulang'. Siapa yang seharusnya pulang.

Aku semakin berjalan mengitari tempat ini. Begitu asing. Itu artinya ini pertama kalinya aku kesini bukan.

Namun dari balik sehelai kain putih yang menjuntai kebawah, aku melihat beberapa orang berkumpul. Mereka menangis. Entah apa yang mereka tangisi.

Dan dua wanita yang tengah tersenyum, seakan-akan baru memenangkan sebuah permainan.

Aku memperhatikan mereka satu per satu. Mencoba mengingat, namun nihil. Aku tak mengenali siapa mereka.

Kenapa suara lelaki tak asing itu terus menerus menggumam kata 'pulang' sedang aku tak paham apa maksud kata itu.

Bukankah ini nampak seperti sebuah rumah mewah?

Lihatlah, pemandangan di luar sana begitu indah. Pepohonan yang hijau, menyejukan di pagi hari. Danau buatan yang tak luas namun terkesan asri. Tempat ini jauh lebih dari kata indah. Dan aku damai berada di sini.

"Kumohon sayang pulanglah. Kau tahu, ketiga anakmu menunggu."

Bisikan itu lagi. Kali ini terdengar pilu. Teramat pilu. Dan anak? Ketiga anak.

Ya Tuhan, bisa jelaskan semua ini padaku?

***

Alex menyingkirkan tubuh wanita sialan itu yang sejak tadi duduk di atas pangkuannya.

Lelaki itu tahu, dan sangat tahu, jika wanita jalang itu sejak tadi mencoba menggodanya.

Bergegas berlari ke arah pintu keluar dengan menempelkan ponsel di sisi telinganya. Senyumnya terukir senyum syukur dan bahagia.

Namun detik selanjutnya, sebelum kedua kakinya benar-benar melangkah keluar dari ruangan mewahnya, badan tegap nan atletis itu kembali berputar.

Menatap tajam wanita yang kini tengah duduk tersungkur di lantai marmer mahal ruangannya.

"Urusan kita belum selesai! Kau akan mendapat hukuman karena telah lancang memainkan apa yang menjadi milik Aleta!" peringatnya tajam lantas kembali berjalan keluar.

"Itu milikku Alex! Kau juga milikku!" Wanita itu balas berucap membuat Alex menghentikan langkahnya. "Aku hanya meminjamkannya tapi aku akan mengambil kembali apa yang menjadi milikku," sambungnya sarkastik.

Alex memutar kembali tubuhnya dan berjalan mendekat, mencengkeram rahang wanita itu kuat. "Jangan sampai aku menemukan fakta bahwa kau di balik ini semua. Kau tahu akibatnya!" Di hempaskannya kasar wanita itu. "Itulah posisimu jika kau ingin tahu. Kotor dan menjijikan. Jika kau masih bertanya, apa bedanya kau dan Aleta, sangat jauh berbeda. Kau dan Aleta dua kepribadian yang sangat berbeda. Kau murahan dan rendahan. Tapi tidak dengan istriku." Alex melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda sembari membenarkan letak jas mahalnya.

Wanita itu terdiam mematung dan menatap punggung Alex nanar.

"Begitu berartikah jalang itu dari pada aku Alex?" Teriaknya lagi yang sayang tak di gubris sama sekali.

***

Alex berulang kali menghubungi kedua orang tua Aleta juga kedua orang tuanya.

Ya, telepon yang masuk dari anak buahnya memang membuahkan hasil. Mereka menemukan Aleta di salah satu bahu jalan menuju ke dalam hutan.

Mereka menyebutkan bahwa keadaannya jauh dari kata baik, ketika Alex bertanya.

Bahkan Alex tak bisa membayangkan meski hanya sedetik. Tidak. Terlalu berat untuknya.

Mengusap wajahnya kasar dan kembali terfokus pada jalanan yang mulai lengang.

Jantungnya berdetak dua kali lebih kencang begitu menampakkan bangunan rumah sakit tempat anak buahnya menyebutkan tadi.

Memarkirkan mobil mewahnya sembarang tempat, Alex segera berlari masuk.

Menembus keramaian dan bahkan menabrak beberapa orang yang berlalu lalang.

***

"Kau begitu menyedihkan. Sangat!"

Mendengar suara tawa yang mengejek, membuat wanita yang sejak tadi tersungkur di lantai mendongakkan kepalanya. Melihat tatapan sinis dari wanita yang berdiri di depannya, angkuh.

"Kau mengejarnya dan bahkan membunuh istrinya, tapi pada kenyataan kau bahkan di buang begitu saja. Itu artinya kau sama saja seperti sampah. Apa aku benar?" tanyanya dengan santai.

Kedua kaki jenjangnya berjalan melewati wanita itu dan menghempaskan bokongnya di kursi yang seharusnya tak di dudukinya. Melihat kuku cantiknya yang di cat dengan rapi. Tatapannya begitu merendahkan.

"Siapa kau?" Wanita itu mulai bertanya setelah menormalkan keadaan dan bangun dari duduknya. Berdiri tepat di depan wanita angkuh itu dengan melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Kau tak perlu tahu siapa aku. Tapi aku tahu siapa kau. Kau wanita keji yang mengorbankan apapun untuk ambisimu. Tapi terima kasih, kau membantuku menyingkirkan jalang sialan itu." Suaranya begitu lembut namun tersirat dendam yang mendalam. "Kita sama-sama mencintai lelaki yang sama. Ck, dunia ini begitu sempit," sambungnya penuh ejekan.

"Maaf?" jawab wanita itu santai. "Aku mencintai Alex terlebih dulu. Dan siapa kau. Kau tak seharusnya duduk di kursi itu. Kau sama jalangnya dengan Aleta!" Menarik rambut merah itu kasar dan menyeretnya menjauh dari kursi tersebut.

Wanita itu menggeram marah di perlakukan bahkan di samakan jalang seperti Aleta. Tangannya mencengkeram kuat wanita itu dan mencoba melepaskan diri. Meski sangat kesusahan namun cengkeraman pada rambutnya berhasil terlepas.

"Kita sama-sama jalang jika kau terus saja melakukan itu padaku. Apa bedanya kau dan aku, huh! Kita sama sama mencintai lelaki yang beristri." Tukasnya dengan suara meninggi.

"Tidak denganku. Aku memiliki tempat tersendiri di hati Alex jika kau belum tahu." Kakinya duduk bersilang dengan angkuh di kursi kebesaran Alex dan tersenyum miring. "Aku menghilang karena untuk kembali. Dan, ya disinilah aku. Aku kembali. Kembali mengambil apa yang memang milikku." Jelasnya santai dan matanya menerawang jauh. "Kau? Siapa kau? Siapa kau yang berani datang ingin bertarung denganku. Kau bahkan telah melihat aku membunuh Aleta, dengan kejam tentunya. Lantas, apa kau tak takut mati ditanganku?" tanyanya sarkastik sambil menelengkan kepalanya ke arah kanan menatap wanita berambut merah itu.

Cukup menarik, batinnya.

"Ngomong-ngomong, kau nampak seperti penari telanjang. Apa aku benar?" sambungnya sekali lagi, masih dengan senyum yang meremehkan. "Ck,  bagaimana bisa selera Alex begitu rendahan. Apa Aleta tak mengurusnya dengan baik selama ini." Mendecak kesal dan membenarkan dandanan bajunya yang sedikit berantakan.

Mengembuskan napas perlahan, wanita berambut merah itu menatap tajam ke asal arah. "Aku memang penari telanjang. Dan tebakanmu itu tepat sekali. Ah, kau pasti melihat dari bentuk tubuhku bukan?" Bibirnya terlipat kedalam membentuk sebuah senyuman misterius, "Semua lelaki bahkan bertekuk lutut ingin di puaskan olehku." Tawanya ringan sambil mendongak mempertontonkan leher jenjangnya yang menambah kesan seksi. "Dan seharusnya, aku memuaskan Alex malam ini karena istrinya, yang telah kau bunuh, tak bisa lagi melayaninya. Namun baiklah, sepertinya bermain main denganmu bisa membuat otot-ototku yang menegang kembali rileks." Kedua kakinya berjalan menuju sofa, menyandarkan punggung seksinya dengan santai.

"Aku sungguh tidak tahu jika Alex pernah mencintai wanita sepertimu. Oh, tapi maaf. Kau sungguh kasar. Kau juga licik dan bermain kotor." Tukasnya lagi sembari menaikkan kedua kakinya diatas meja. "Kau sungguh keterlaluan karena menghabisi Aleta hanya untuk kembali dengan Alex. Ah, sayangku itu sungguh manis. Hm, aku selalu membayangkan wajahnya yang semakin tampan ketika ereksi. Oh, aku sungguh akan cepat basah melihat kejantanan yang sangat memuaskan ..."

"Diamlah jalang!" ucapan wanita berambut merah itu terpotong. Menampilkan seringai misterius. "Kau tak pantas membayangkan apapun tentang Alex. Berani kau berkata seperti itu di depanku yang notabennya ..."

"Istrinya?" Tukasnya cepat. "Oh, sayang sekali karena suamimu justru menikah dengan wanita pilihan orang tuanya." Seringai licik kembali ditunjukkannya. "Aku benar bukan?" Jari lentiknya menunjuk dirinya sendiri memastikan bahwa ucapannya benar. "Kau harusnya sadar. Bangunlah dari mimpimu. Tapi, baiklah. Mari kita lihat siapa yang akan memenangkan pertarungan ini diantara kita. Kau atau aku. Atau malah ..."

Keduanya menoleh secara bersamaan karena pintu mahoni cokelat yang dibuka secara paksa. Menampilkan sosok lelaki tampan yang sangat mirip dengan Alex bersama seorang wanita cantik dan bocah lelaki kecil di gendongan lelaki itu.

Kedua bola mata pasangan itu membulat sempurna mendapati siapa yang terduduk di kursi CEO. Kursi yang hanya di tempati oleh keponakannya selama ini. Namun kini berganti dengan seorang wanita yang sangat di benci oleh keluarganya.

Tersenyum pias, wanita itu membenarkan kembali letak baju ketat yang di kenakannya.

"Bisa kau bawa Arthur keluar sayang. Berikan pada Danny dan suruh mengantarnya ke rumah Alex." Perintah lelaki itu dengan tegas.

Istrinya sangat tahu, dan paham, dari nada suaranya yang, walaupun terdengar halus di telinganya, namun tersirat amarah yang coba ditahannya.

"Baiklah. Aku akan kembali sebentar lagi." Wanita cantik itu mengusap pelan pundak suaminya. Cara klasik untuk menenangkan namun takkan berhasil.

Usai kepergian wanita, yang berstatus istrinya, beserta anaknya, lelaki itu masih terdiam. Kedua bola matanya menatap tajam bergantian kedua wanita dihadapannya.

"Kau mirip dengan Alex, paman," ucap wanita itu dengan suara mengejek. "Sama-sama dingin dan mempunyai tatapan tajam," sambungnya santai.

Diam. Semuanya diam. Hanya deru napas yang terdengar.

"Apa masalahmu hingga kau kembali lagi, Elle?" Jason bertanya tanpa basa-basi. Emosinya akan meledak dalam beberapa menit kedepan.

"Dalam satu hari ini, hanya kau yang memanggilku dengan nama?" Decaknya kagum.

"Apa aku harus memanggilmu jalang? Yang bercinta dengan semua lelaki. Bahkan sahabat kekasihnya sendiri. Cih, menjijikkan!" Cibirnya, "Dan kau?" Jason menunjuk tempat Helen berada. "Bagaimana bisa kau sampai di sini. Oh, aku sudah membaca surat pengunduran dirimu. Jadi ini yang kau lakukan?" tanyanya sekali lagi pada wanita berambut merah itu. "Aku pikir kau gadis baik-baik. Kau sungguh tak tahu berterima kasih. Kalian berdua jalang sialan!" Kali ini emosi Jason sungguh tak dapat di tahannya lagi. Kedua tangan kekarnya menggebrak meja kaca hingga hancur berkeping-keping. "Kenapa kalian tak ada yang mati saja, huh? Aku muak melihat kalian berdua hidup! Apa yang sedang kalian rencanakan pada keluargaku, huh?!" Suaranya menggelegar membuat siapapun takut mendengarnya.

"Oh, ayolah paman. Aku hanya ..."

"Jangan panggil aku paman, jalang! Keluargaku tak pernah menerimamu sekali pun kau wanita baik-baik! Kau jalang, dan selamanya tetap jalang." Tunjuk Jason tepat di depan wajah wanita itu.

"Aku hanya ingin mengambil apa yang menjadi milikku, Jason!" jawabnya lugas.

"Katakan padaku, dimana milikmu? Jika kau menjawab 'Alex milikku' kau benar-benar mencari mati, Elle!"