Chapter 31 - Bab 31

"Selidiki semuanya aku bilang. Jangan membantahku! Kalian begitu bodoh hanya menyelidiki hal sepele tapi kalah dalam bertindak. Aku tak mau tahu, apapun caranya selidiki semuanya sebelum peluruku bersarang di kepala kalian!"

Melempar ponsel pintarnya dan menatap tajam ke arah depan. Kedua bola matanya menggelap menandakan amarahnya memuncak. Rahangnya terkatup rapat.

"Jadi kau yang selama ini membantunya? Cih, kau benar benar penghianat!" cercanya pelan namun jelas membuat siapa pun yang mendengar itu akan ketakutan. "Kau mengantarkan nyawa lebih cepat padaku!"

"Sudah aku peringatkan! Aku tak segan-segan membunuh siapa pun yang mengkhianatiku."

Orang itu hanya diam dan tak bersuara sama sekali. Tenaganya habis terkuras untuk melawan pertarungan beberapa jam yang lalu.

"Dia begitu terobsesi padamu. Sangat." Bahkan walau dengan tenaga yang tak bersisa lagi, mulut sialannya masih mampu berbicara. Membuat lelaki didepannya semakin bergejolak emosi.

Tangan kekarnya menarik pelatuk dan tiga peluru bersarang pada tubuhnya. Bahkan sebelum orang itu memberi penjelasan lebih lanjut.

"Bersihkan mayatnya. Jangan sampai terlihat oleh siapa pun."

Kakinya berjalan menaiki undakan tangga dan keluar. Wajahnya memendam amarah dengan mata yang masih menggelap sempurna.

***

Alex terbangun tanpa seseorang yang berada di sampingnya. Menggeliat, sudut matanya menatap arah jam yang berada diatas nakas.

Setengah tujuh pagi dan Aleta sudah tak ada di atas ranjang.

"Aleta." Alex berteriak.

Tak ada sahutan apa pun. Kamar mandi juga sepi tak ada suara gemericik air.

Dengan malas Alex terbangun dan berjalan keluar kamar.

"Aleta," teriaknya sekali lagi lebih keras.

Hanya ada beberapa pelayan yang sedang membersihkan beberapa sudut rumah.

"Di dapur daddy."

Alex segera berlari ke arah dapur dan melihatnya yang tengah asik menyiapkan beberapa masakan.

"Kau selalu seperti itu. Terbangun dan berteriak." Alex tersenyum sembari memeluknya dari belakang mendapat sungutan kesal darinya.

"Aku takut kau pergi." Alex ciumi leher jenjangnya. "Aku sangat takut ketika terbangun dan kau tak disampingku. Aku takut kau pergi meninggalkanku."

Alex berkata jujur. Dirinya sangat ketakutan jika Aleta pergi. Tidak. Jangan lagi.

Kedua bola mata Alex mendadak panas.

"Aku tidak pergi Alex. Kau masih sangat nyenyak dan lagi, semalam kau tidur hampir tengah malam. Aku tak ingin membangunkanmu agar aku bisa memasak lebih dulu."

"Aku hanya takut sayang."

Alex semakin erat memeluknya. Meletakkan dagunya di bahu telanjangnya.

"Kau sakit Alex. Badanmu terasa hangat."

Alex mengangguk pelan dan kembali memejamkan kedua bola matanya.

"Kau akan istirahat jika begitu. Tak ada kantor dan file lainnya. Aku akan merawatmu, oke." Ini yang Alex suka. Setiap hal kecil dan dirinya selalu merasa di perhatikan.

"Yes mommy."

Melepas pelukannya, Alex masuk kembali ke arah kamar di lantai dua. Membaringkan badannya dan menerawang ke atas langit-langit kamar.

"Sesuatu yang manis. Dengan perhatian kecil yang orang lain tak bisa melihatnya. Hanya aku yang tahu, aku yang merasakan. Namun sekarang ..."

Alex menoleh begitu mendengar pintu berderit. Nampak Aleta membawa beberapa makanan di atas nampan. Alex tersenyum tipis.

"Tidak. Aku tak boleh kehilangan Aleta lagi. Aku akan mencari cara agar semuanya kembali normal. Aku akan tetap membuat sebuah rahasia yang orang lain bahkan tak melihatnya. Tak ada yang boleh menyentuh Aleta meski hanya seujung kuku."

"Kau melamun?" Tangan halus Aleta menyusuri setiap jengkal wajah prianya. Memberi rasa hangat dan tangan ini yang selalu Alex butuhkan. "Apa yang kau pikirkan. Kau tahu, wajahmu terlihat cemas sejak kemarin. Sejak kita kembali dari pusat perbelanjaan."

Seulas senyum Alex rekahkan. Menarik badan mungil Aleta lalu masuk ke dalam dekapannya.

"Kepalaku sedikit sakit sayang. Maaf jika aku membuatmu kerepotan." Alex berbohong. Mengungkapkan apa yang sedang menaungi pikirannya jelas membutuhkan waktu yang tepat.

"Aku membuatkan sup untukmu. Kau harus makan."

"Baiklah mommy. Aku menyerah sekarang." Alex mencium pipi Aleta kilat. "Aku semalam bermimpi buruk Aleta. Aku takut sekali kau meninggalkanku." Mungkin hanya sebuah mimpi. Mimpi buruk yang tiba-tiba datang seolah nyata.

"Kau terlalu khawatir Alex. Bukankah aku masih di sini? Buka mulutmu." Alex menerima suapan dari Aleta. Masakannya selalu lezat.

Alex terdiam mendengar ucapan Aleta yang sangat tenang. Tapi sungguh, naungan mimpi mengerikan itu belum sepenuhnya musnah. Terkadang, mimpi pun memberi tanda pada si empu. Terlepas menjadi nyata atau pun tidak, Alex patut waspada. Yang harus dirinya lindungi bukan satu nyawa melainkan dua. Salah langkah akan menghancurkan segalanya.

Suara getaran membuat kepala Alex menoleh. Meraih ponsel canggih yang justru sangat mengganggu.

"Hm," sahut Alex tanpa melihat siapa yang menelepon. Masih dengan menatap lekat wajah Aleta yang seakan tak suka mendengar tanggapan suaminya.

"Bereskan! Kau bahkan sudah tahu apa tugasmu!" Alex menjawab dengan nada dingin membuat Aleta mengerutkan keningnya mendengar ucapan Alex yang sangat kasar.

"Kau mengganggu waktuku bersama istriku jika kau ingin tahu. Jadi, kau harus selesaikan perintahku dalam waktu dua jam atau kau yang kena masalah denganku."

Alex meletakkan kembali ponsel sialan itu dan menerima suapan dari Aleta, lagi.

"Aku takut mendengar suaramu yang kasar Alex. Juga ..." Alex mengerutkan kening tatkala ucapan istrinya terhenti. "Bayinya tak akan suka jika Daddynya seperti itu."

Alex tersenyum sekali lagi dan berangsur mendekat. Menangkup kedua pipi Aleta, jarinya terulur mengusap lipatan kening dan memijatnya pelan. "Sorry, Maple."

Mengecup sudut bibirnya sekilas, Alex berkata, "Aku tak akan mengulangnya lagi. Maafkan Daddy Sayang." Alex membungkukkan badannya dan mencium perut Aleta lama.

"Itu geli!" Alex merasakan Aleta terkikik dengan perutnya yang bergetar. Tindakan Alex kian menjadi dengan menenggelamkan wajah tampannya di perut istrinya yang berisi. "Aku akan ke dokter. Tak apa bukan jika kau kutinggal sebentar?"

Kening Alex mengerut. Perlahan mengangkat kepalanya dan menatapnya lekat. Binaran lembut mata cokelatnya yang sangat teduh, seakan Alex sangat takut jika tak bisa menatap bola mata itu. Bibir tipis merah muda yang menjadi candunya selama ini. Alex mengulum senyum. "Dengan sopir. Tak ada bantahan. Bagaimana?"

Aleta dengusan kasar namun tetap mengangguk patuh. Ya, Aleta memang selalu menuruti kemauannya. Apa pun itu sekali pun dia tak suka.

"Baiklah, Daddy. Aku tak akan menang jika melawanmu." Bibirnya mencebik kesal membuat Alex segera melumatnya perlahan. "Kau tak boleh kemana-mana, oke."

***

Sudah sejak setengah jam yang lalu Aleta pergi.

Perasaan Alex mendadak sangat gelisah. Entah ada apa dan apa yang akan terjadi.

Juga, orang suruhannya tak kunjung memberinya kabar.

Bahkan Aleta meninggalkan ponselnya semakin membuatnya gelisah.

Alex terus berjalan mondar mandir sejak tadi di ruang tamu. Pandangan matanya terus tertuju pada pintu mahoni cokelat tak lepas sedetik pun. Berharap Aleta segera masuk dan menghambur ke dalam pelukannya.

"Ya Tuhan, kenapa perasaanku mendadak seperti ini. Kenapa rasa ini kembali datang."

***

"Semuanya baik. Kau lihat ini." Tunjuk seorang dokter lelaki muda dengan mata hijau cerahnya. "Aku belum bisa memastikan. Tapi bisa aku yakini kau dan Alex akan sangat senang mendengar hal ini. Kuharap, bulan depan Alex akan mendampingimu dan akan aku tunjukkan ini padanya."

Aleta tersenyum dan kedua bola matanya masih terus berpendar memperhatikan apa yang ada di monitor tersebut.

"Ya Tuhan." Pekiknya bahagia sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.

Dokter muda itu ikut tertawa geli melihat ekspresi wajah cantiknya. "Aku sudah mengatakan bukan. Ini beberapa vitamin yang harus kau minum. Kau harus rajin berolahraga Aleta. Itu akan lebih mempermudah persalinanmu nanti."

Setelah memberikan beberapa vitamin juga saran secara gamblang, Aleta bergegas keluar dan melangkahkan kakinya menuju basemant yang berada di rumah sakit tersebut.

Menghampiri sopir suaminya, yang sejak tadi telah menunggu.

Namun belum sampai di tempat tujuan, lengannya di cengkeram kuat dan rambut sebahunya di tarik ke belakang.

Membuatnya merintih kesakitan. Langkahnya di seret hingga tubuhnya merasakan sebuah benturan kuat di punggungnya.

Gelap.

Itu yang di lihatnya ketika kedua bola matanya menelisik ke dalam sekitar ruang mobil.

Ini jelas bukan mobil suaminya. Dan juga tak mungkin suaminya memerintahkan sopir untuk berlaku kasar padanya.

Jari lentiknya mengusap kepalanya yang terasa berdenyut dan darah segar mengalir pelan di pelipisnya.

"Oh Tuhan dimana aku," bisiknya pelan dan tak lama merasakan mobil yang di tumpanginya berjalan.

Mencoba melihat kondisi sekitar namun sayang karena semua tertutup dengan tinta warna hitam. Bahkan kaca jendelanya sudah berubah warna.

Gadis cantik itu hanya duduk dan memeluk lututnya.

"Alex. Tolong aku," ucapnya sangat lirih hampir seperti bisikan. Air matanya terjatuh mengalir di kedua pipi tirusnya.

"Aku tak seharusnya pergi sendiri dan memilih menunggu Alex sehat." Ungkapnya lagi.

***

Entah ini sudah keberapa kalinya lelaki tampan dengan tatapan setajam pisau itu mengamuk.

Membentak semua seisi rumah yang menanyainya.

Di depannya sudah berdiri seorang lelaki botak yang sangat ketakutan melihat majikannya mengamuk seperti ini. Alex bak banteng yang siap bertarung.

"Kau sangat bodoh. Menjaga istriku saja kau sungguh tak becus. Kenapa kau begitu bodoh membiarkan Aleta masuk sendiri dan bisa-bisanya kau malah tidur. Kau bahkan dengan lancang menjawab tidak tahu saat aku bertanya di mana Aleta. Kau benar-benar menghantarkan nyawamu padaku, Pedros!" Suaranya begitu lantang membuat siapa pun yang mendengarnya akan ketakutan. Ralat, sangat takut.

"Maafkan aku Tuan Alex."

"Maafmu tak akan membuat Aleta kembali bodoh!" Tangannya terulur masuk ke dalam jas mahalnya mengeluarkan pistol dan menarik pelatuk. Besi panas itu kini bahkan telah masuk menancap tepat di dada Pedros.

Matanya menggelap sempurna karena amarah yang memuncak.

Sisi lain dari dirinya kembali terkuak.

Kembali, tangannya merogoh benda pipih yang berada di saku celananya. Menempelkan pada telinga kirinya dengan kedua bola mata yang masih menggelap.

"Nyonya Aleta di culik, Tuan. Itu yang aku dapat lihat dari CCTV basemant rumah sakit tempat Nyonya Aleta berkunjung pagi tadi."

Rahangnya mengatup keras. Tangannya terkepal menahan emosi yang kini telah sampai di ubun-ubun.

"Selidiki secepatnya. Bunuh siapa pun yang menculik Aleta. Aku ingin malam ini segera."