Badannya kembali di seret dengan cengkeraman kuat di rambutnya. Membuatnya harus menahan rasa sakit, lagi.
Di bawa masuk kedalam ruang gelap serta bau tajam yang tak bisa di jabarkan.
"Aku sudah memperingatkanmu. Namun kau dengan enteng mengabaikanku. Jadi hanya dengan cara ini yang bisa aku lakukan agar kau segera pergi dari dunia ini. Oh, apa kabar yang di dalam perut itu." Kaki jenjangnya dengan keras menendang perut gadis itu hingga sebuah bunyi terdengar. "Harusnya spermanya itu yang tertanam di rahimku. Bukan rahim wanita jalang sepertimu."
Gadis bermata cokelat terang itu hanya memegangi perutnya kuat-kuat. Air matanya sudah lebih dulu mengalir dengan menggigit bibir bawahnya kuat, sehingga meninggalkan bekas kemerahan. Menahan sakit juga tangis.
"Kumohon bertahanlah sayang. Jangan tinggalkan Mommy," ucapan yang hanya dirinya dan janin dalam perutnya yang mendengarnya.
"Aku sudah sangat lama menunggu ini jika kau ingin bertanya. Aku benci karena kau merampas apa yang aku inginkan! Jadi, untuk apa aku membiarkanmu hidup saat aku memiliki kesempatan untuk mengakhiri nyawamu. Dan lagi, suami sialanmu itu, yang sayangnya sangat aku cintai tak akan pernah datang menjemputmu. Atau lebih tepatnya menjemput mayatmu!"
***
Lagi, lelaki bermata tajam itu kembali mengamuk dengan suara lantang pada beberapa anak buahnya.
Anak buah yang menurutnya tak becus mencari jejak di mana istrinya di culik.
Jangan abaikan soal beberapa peluru yang lagi dan lagi menancap. Pikirannya sudah sangat kacau hingga emosi yang lebih mendominasinya.
Hingga larut malam bahkan tak ada seorangpun dari anak buahnya yang memberi kabar di mana letak istrinya.
Ponselnya kembali bergetar. Namun kini bukan dari orang terdekat atau salah satu anak buahnya.
Jarinya menggeser lock screen dan menempelkan benda canggih tersebut di telinganya.
Suasana di seberang sunyi, namun jelas indra pendengarannya menangkap sebuah helaan napas panjang.
Lelaki itu hanya diam. Tak ada niat untuk menyahuti atau menyapa terlebih dahulu.
Hingga suara asing membuatnya mengerutkan keningnya lama. Otaknya berpikir keras mencoba mengingat suara siapa yang sedang berbicara. Namun nihil. Lelaki tampan itu tak mengenalnya.
"Aku harap kau baik. Meski sekarang kau tengah mengamuk habis-habisan." Tuturnya dengan nada yang sangat santai. "Kau tahu, istrimu tengah tertidur meski aku telah lebih dulu menyiksanya. Juga anak kalian."
"Jangan kau sentuh istri juga anakku jalang! Jika kau masih ingin melihat dunia. Siapa kau? Kau begitu bernyali menyentuh keluargaku."
Terdengar tawa ringan yang semakin membuat lelaki itu mengatupkan rahangnya kuat-kuat.
"Aku jelas sangat berani karena aku tahu kau. Aku tahu dan aku sangat menyukai kelemahanmu itu. Kau sungguh sangat manis ketika sedang marah terlebih soal gadis jalang yang sangat kau cintai itu."
"Tutup mulut sialanmu, bitch! Jangan panggil istriku dengan kata-kata yang seharusnya tersemat padamu. Jika kau berani, sekali saja kau berani menyentuh Aleta dan anakku, aku bersumpah takkan pernah memberi ampun padamu."
"Aku menunggu itu, Sayang."
***
Gadis cantik itu mengerjapkan kedua bola matanya berkali-kali. Entah sudah berapa lama dia tertidur, oh ralat, namun pingsan. Suasana masih sama. Gelap dan sepi. Juga bau anyir kembali menusuk indra penciumannya.
Bercak air mata yang mengering menggenang di kedua pipi tirusnya. Sudut bibirnya berdarah dan darah mengering disekitar pelipisnya semakin menambah kesan kacau wajah cantiknya.
Wajah yang selalu di sentuh lembut oleh tangan suaminya kini berhias dengan wajah kusut penuh luka.
Kembali air matanya bergulir. Menyebut nama suami terkasihnya tanpa henti. Perutnya terasa sangat sakit karena tendangan kasar beberapa jam lalu.
"Alex, maafkan aku." Ungkapnya lirih dengan terus menangis. Tangannya beralih mengelus perut yang kini nampak berisi. "Kau harus kuat. Kau harus bertahan bersama Mom," lanjutnya lagi dengan suara lirih.
Kepalanya mendongak begitu mendengar suara lubang kunci yang berbunyi dan menampakkan sosok asing baginya.
Tidak. Sebenarnya tidak begitu asing. Suara itu. Suara sosok itu pernah didengarnya. Namun, entahlah. Pikirannya belum sepenuhnya tersadar karena manahan rasa sakit yang menjalar. Ya, sakit diperutnya kian menjadi akibat tendangan kaki sosok itu.
Berjalan dengan angkuh dan berdiri didepan gadis itu dengan menatapnya tajam.
"Kau sudah bangun. Masih memiliki nyali, eh?" tanyanya sarkastik.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya?"
Sosok itu tertawa pelan dan kembali mencengkeram rambut cokelat sebahu gadis itu. "Yang kuinginkan?" Tunjuknya pada dirinya sendiri. "Mudah saja. Berikan suamimu itu dan kau akan aman. Aman bersama janin di perutmu. Pergi sejauh yang kau bisa dan jangan kembali lagi." Menghempaskan kepalanya kuat hingga menyentuh lantai dingin yang sejak tadi di tidurinya.
Kedua bola matanya balas menatap tajam. "Tidak! Dia milikku."
Sosok itu kembali mendekat dan mencengkeram rambut gadis cantik itu dengan kuat. "Katakan sekali lagi, jalang! Maka kau akan benar-benar mati malam ini. Kau yang merebutnya dariku. Kau yang mengambilnya dariku. Apa kau tahu bagaimana rasanya dicampakkan? Ah, kau belum pernah merasakannya bukan. Sekarang aku akan membuatmu merasakan bagaimana sakitnya di campakkan."
"Alex tak akan mengampunimu. Aku bersumpah."
"Teruslah bermimpi Aleta. Sampai kau akan mati membusuk di sini. Kau tak akan pernah bertemu dengan suami-mu itu. Karena aku yang akan menemuinya."
***
Gadis dengan paras cantik itu berjalan memasuki kawasan apartemen mewahnya yang selama beberapa tahun ini di tinggalinya.
Sesekali tersenyum manis dan menyahuti sapaan ramah dari beberapa orang yang berpapasan dengannya.
Tak banyak orang tahu bagaimana asli dari gadis ini. Bagi sebagian orang, dia adalah gadis cantik sempurna dengan tubuh seksi dan kaki jenjang yang semakin mewakili kata sempurna.
Apa pun akan dilakukannya untuk mencapai semua keinginan juga obsesi pada satu orang. Ya, hanya satu orang yang mengubah semua kehidupannya.
Senyumnya tak pernah luntur.
"Sebentar lagi." Batinnya dan kembali mengembangkan senyumnya. Senyum yang selama ini tak pernah terlihat.
Pikirannya kembali melayang pada kenangan beberapa tahun lalu yang menghiasi hari harinya.
"Itu juga akan sebentar lagi di dapatkannya." Batinnya lagi dengan senyum yang semakin mengembang.
Badannya terbaring sempurna diranjang mewahnya. "Sekarang apalagi. Aku harus segera bertemu dengannya. Aku sangat merindukannya. Besok aku akan kekantornya."
***
Alex tak bisa meski terus memaksa. Alex terlalu menggantungkan hidupnya pada Aleta. Bahkan hanya untuk sekedar memejamkan kedua bola matanya sejenak saja ia tak bisa. Tidak.
Yang Alex takutkan benar-benar terjadi. Yang Alex lihat di mimpinya menjadi kenyataan.
Aleta pergi meski bukan keinginannya. Tapi siapa pun itu tak akan segan bagi Alex memberinya kematian secara langsung.
Alex tak bisa. Bahkan jika ada orang lain yang ingin menggantikan Aleta, tak bisa. Tidak.
Ini tak adil. Sangat. Tuhan lagi-lagi mengambil apa yang di milikinya padahal baru saja sebuah awal Alex mulai. Lupakan soal bayi itu jika ternyata itu membuat Aleta terancam. Bukan bermaksud kejam. Siapa pun akan memilih satu di antara dua pilihan. Dan Alex, sekali pun takdir menjatuhkan anaknya yang tinggal, berbentuk replica Aleta sekali pun, itu takkan bisa merubah apa pun.
Siapa dia? Siapa wanita yang telah menculik Aleta. Dia bahkan menyakiti calon anaknya.
Alex mengepalkan kedua tangannya, berpikir. Otaknya berpikir keras siapa dalang di balik ini semua.
Bahkan Daddy telah menyewa mata-mata kepercayaannya untuk menyelidiki ini. Dan hasilnya nihil. Wanita itu sangat cerdik. Tak ada jejak. Hanya rekaman CCTV yang sayang tak membantu sama sekali.
Seakan-akan semua ini telah di susun dengan rapi. Di rencanakan dengan matang.
Otak Alex tak mau berpikir lebih keras lagi dan malah membuat denyutan sakit di kepalanya kian menjadi-jadi.
"Sialan!" Alex mengumpat entah yang keberapa kali.
Deru mobil membuatnya berdiri dan melongok keluar lewat sisi jendela kamar. Beberapa orang keluar dengan tergesa.
Ya, Alex meminta kedua orang tua Aleta, yang sedang berada di Madrid karena urusan bisnis untuk datang kemari.
Alex segera melangkah keluar dan menemui mereka di ruang keluarga.
"Alex?" Panggil wanita paruh baya yang mirip dengan Aleta. Alex segera berhambur ke pelukannya dan menumpahkan semuanya di dekapannya.
"Tak apa. Dia pasti kuat. Kau tahu dia, bukan. Ini ujian untuk kalian." Suara itu begitu tenang melantun sedang kedua bola matanya memancarkan kekhawatiran. Sama halnya dengan Alex.
"Maaf. Aku gagal. Tak seharusnya aku membiarkan Aleta pergi sendiri. Walaupun ada sopir yang menemaninya. Harusnya aku tetap berada di sampingnya. Ini tak akan terjadi. Maaf." Alex berujar pelan.
Alex menyesal karena membiarkan Aleta pergi sendiri. Menyesal karena tak becus menjaga istri dan calon anaknya.
"Tidak. Ini bukan soal gagal atau bukannya. Ini soal ujian kuatnya cinta kalian."
"Tak apa Alex. Aku sudah memerintahkan anak buahku untuk mencarinya. Informasiku memberi tahu bahwa Aleta masih berada di Madrid. Orantuamu akan kemari."
Alex menatap lekat wajah Ayah mertuanya yang tak jauh terpaut dari umur Jeremy. Tersenyum tipis dan beralih memeluknya.
"Terima kasih Dad. Setidaknya kau sudah sangat membantuku."