Chapter 30 - Bab 30

Dua pasangan sejoli itu baru saja menginjakkan kedua kakinya di Bandara Internasional Adolfo Suarez, Madrid, setelah beberapa jam menempuh perjalanan udara.

Namun kini, belum sempat, bahkan menghirup udara segar musim panas di Madrid, kedua langkah kakinya sudah harus segera mengecek file-file yang menjerit untuk di baca di atas meja kerjanya.

Alex, melepas kaca mata yang sejak satu jam lalu bertengger pada hidung mancungnya dan mengedarkan seluruh sapuan matanya di ruang kerja barunya.

Nampak, istrinya, Aleta dengan serius mengetikkan jari lentiknya di atas laptop yang berada tepat di depannya.

Tersenyum, Alex memandang lekat wajah manis bak bidadari itu tanpa berkedip. Wajah yang selalu terlihat teduh meski lelah mendera. Memberikan nilai tersendiri bagi Alex. Bergumam syukur, itu yang dilakukan lelaki Canadian ini.

Berdiri dan mengancingkan jas mahalnya dan berlalu menghampiri istrinya. Mengusap pelan rambut cokelat halusnya dan mencium pelipisnya lama.

Kembali mengulum senyum yang di balas oleh gadisnya. "Ada apa?" tanya Aleta santai dan menatap laptopnya lagi.

Membuat Alex mendengus pelan. Mengacak rambut emasnya dan kembali menelisik wajah serius Aleta.

Istrinya ini selalu seperti itu jika sudah berkutat dengan urusan kantor. Inilah alasan kenapa Alex sedikit keberatan soal campur tangan Aleta di perusahaan. Namun keadaan justru memaksanya harus berkecimpung di dalamnya.

"Oke, kau mulai mengabaikanku sayang. Aku benci itu, sungguh." Sungut Alex yang masih di abaikan oleh Aleta.

Gadis berambut cokelat itu masih asik dengan beberapa email yang masuk ke dalam laptopnya. Email yang di kirim langsung oleh Ayah mertuanya.

Membacanya serius lalu mencetak lembar demi lembar.

Alex mendengus sekali lagi.

Mengangkat tubuh Aleta dan menempati kursi yang sejak tadi di dudukinya. Membuat Aleta berjengit kaget. Namun sedetik setelahnya, Alex mendudukkannya di atas pangkuannya.

"Aku benci saat kau mengabaikanku." Sekali lagi Alex mengulang perkataannya dan di tanggapi dengan tawa geli oleh Aleta.

"Oh lihatlah sayang. Daddymu bahkan mencemburui kertas-kertas itu." Tunjuknya pada tumpukan-tumpukan kertas di meja kerjanya.

Alex mengusap pelan pinggang ramping Aleta dan menenggelamkan wajah tampannya di dada sang istri.

Mengusap perlahan rambut emas itu, Aleta tahu, jika seperti ini sudah pasti Alex sedang ingin bermanja dan di perhatikan olehnya.

"Aku lelah Mom," cicit Alex yang terdengar lirih oleh pendengaran Aleta.

Tersenyum simpul, Aleta beralih mengusap punggung tegap Alex.

Beberapa kali hidung mancung Alex bergesekan dilekukan dadanya. Membuat bulu kuduknya meremang.

"Aku akan selesaikan file ini Alex. Kau harus membawanya. Beberapa dari file ini harus kau tanda tangani." Aleta merasakan beberapa kali anggukan Alex di dadanya.

Aleta baru menyadari jika di balik sikap dingin Alex dan tatapan tajamnya terselip sikap manja seperti ini.

Meski kini, tatapan tajam maupun sikap dinginnya tak lagi ditujukannya lagi, meski hanya padanya. Dan masih bersikap seperti itu pada orang lain.

Aleta tersenyum kecil dan masih tetap mengusap punggung tegap suaminya perlahan.

Menghantarkan kehangatan untuk Alex.

"Kau tahu, Maple?" ucap Alex sambil mengangkat kepalanya dan menatap Aleta dengan tatapan lembutnya. "Aku sangat mencintaimu, sungguh. Jadi jangan tinggalkan aku."

Aleta tersenyum. "Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu kecuali kau yang meminta."

"Aku juga tak akan meminta hal bodoh itu. Aku sangat menyesal mengingat dulu. Aku tak ingin kehilanganmu. Kau dan dia benar benar pemberian Tuhan yang sangat berharga untukku." Tangan kekarnya beralih sambil mengelus perut Alex yang sedikit berisi.

Aleta tersenyum dan mengalungkan kedua lengannya pada leher Alex. Jari lentiknya menyusuri tato sayap yang tepat berada dibelakang leher Alex. Menambah kesan kharisma juga pesona tinggi.

Pantas jika semua wanita menginginkan suaminya ini. Perlakuan manis dan tutur kata lembut. Meski dingin namun sisi hati terdalamnya sangat menyentuh.

"Aku ingin pulang, Alex." Berhanti Aleta yang merengek dengan suara manjanya.

Membuat Alex kembali tersenyum lantas menurunkan tubuh Aleta dan berjalan sembari menggandeng tangan istrinya erat.

***

Dentuman musik keras semakin membuat lautan manusia menggila. Bersentuhan, saling menggerayangi tanpa henti satu sama lain.

Gadis dengan wajah kusut dan amarah yang di pendamnya hanya duduk dan matanya nyalang menatap kosong kearah depan.

Menenggak vodka dari botol secara langsung, entah sudah yang keberapa, namun tak kunjung meredakan amarahnya.

Tangannya mencengkeram kuat botol, bisa saja akan melukai tangannya sendiri jika botol itu rapuh.

Rapuh seperti hatinya, saat ini.

Tertawa sinis, gadis itu membuang kesembarang arah botol vodkanya. Berjalan santai, dengan tubuh sempoyongan. Menabrak setiap manusia yang didepannya, meski umpatan dan cacian ditujukan olehnya.

Toh, siapa peduli.

"Perhatikan jalanmu, jalang!" seru sebuah suara yang langsung menghentikan langkahnya.

Menatap sinis. "Jalang? Tapi kau begitu menikmatiku dan mendesahkan namaku. Jadi apa masalah buatmu jika aku jalang, huh? Bajingan!" desisnya dengan mata nyalang ke depan.

Lelaki tinggi itu mencengkeram pundak gadis itu dengan erat, kelewat erat, karena gadis itu harus merintih menahan sakit.

"Kau memanggilku apa? Dasar jalang murahan! Kau pikir kau siapa, huh? Dengan mulut kotormu memanggilku bajingan. Kau akan mendapat apa yang kau ucapkan tadi."

Menyeret kasar lengan gadis itu dan memasuki mobil mewahnya lantas melajukan dengan kecepatan diatas normal.

***

Aku melihatnya. Aku jelas melihatnya.

Ini tidak mungkin. Katakan padaku ini hanya mimpi.

Aku pikir kita benar benar di tempat yang tak sama lagi. Tapi ternyata aku justru melihatnya di sini.

Bisa beri tahu aku apa arti dari rasa takut?

Atau mungkin sedikit pemahaman soal rasa takut kehilangan?

Itu yang aku rasakan saat ini.

Aku sudah memulai semuanya dari awal. Baru saja. Bahkan belum genap satu tahun.

Dan badai seakan akan ingin menerjang lagi. Bisa sadarkan aku jika aku tengah bermimpi.

Kini aku takut. Aku sangat takut. Aku takut kehilangan tempatku berteduh selama ini. Aku takut kehilangan hati yang sudah aku gantungi untuk hidupku. Untuk hatiku. Untuk hari-hariku. Aku sangat takut sekarang.

***

"Alex ... Kau kenapa?"

Sedari tadi, Aleta merasakan guncangan kecil yang berasal dari lelaki ini. Entah apa yang mengganggu pikirannya hingga selarut ini tak kunjung terlelap.

Jarum jam berputar dengan jarum pendeknya di angka sebelas mendekati tengah malam.

Sejak sore tadi wajahnya sangat tegang.

Jika hanya masalah pekerjaan, Aleta rasa tak akan sampai selarut ini membuatnya berpikir.

Juga raut wajahnya takkan sampai sekusut itu bukan.

Dan lagi pula, semua pekerjaan telah beres sejak beberapa jam yang lalu.

Aleta terduduk bersandar dan mengusap pelan rambut emasnya, halus.

Sampai beberapa menit barulah kedua bola matanya kembali tertutup. Dengkuran halus keluar dari celah bibir seksinya.

"Apa pekerjaan ini begitu membuatmu terbebani Alex. Hingga kau harus berpikir keras." Aleta berucap lembut sembari mengecup sudut bibirnya. Hanya sebentar. Hitungan detik dan kedua kakinya turun dari ranjang.

Menuju dapur mengambil air mineral.

Mengedarkan pandangan, matanya melihat ke arah keluar lewat celah salah satu gorden ruang tengah yang terbuka.

Gelap.

Itu yang Aleta lihat.

Mencekam.

Itu yang Aleta rasakan.

Sesak itu kembali datang. Aleta melihat masa lalu yang kini dirinya lihat lagi.

Seakan-akan Tuhan tak memberinya izin meski harus bahagia beberapa detik saja.

Berjalan pelan, Aleta menyandarkan badan di samping pintu balkon ruang tengah. Menerawang jauh ke atas. Bintang berkelipan. Angin musim panas di malam hari berhembus pelan. Menerbangkan anak rambut yang tak diikat rapi.

Memejamkan matanya, suara itu kembali terngiang di gendang telinganya.

"Dia milikku. Dan aku akan mengambil apa yang menjadi milikku. Jangan terlalu senang. Aku hanya meminjamkannya padamu. Jangan terlalu terkejut. Kau tahu, hati tak pernah berbohong."

Aleta membuka kembali kedua bola matanya.

Meski hanya bisikan kecil namun tajam. Sangat tajam. Melebihi apapun.

Air matanya kembali jatuh.

'Kapan terakhir kali aku menangis?' Memukul pelan dadanya agar sesak itu segera pergi. Nyatanya tidak. Sesak itu semakin terasa.

"Aku belajar percaya pada satu kenyataan tapi kenapa kenyataan itu justru menghempaskanku berkali-kali hingga ke jurang terdalam. Aku mencoba percaya namun selalu air garam kembali menyiram luka yang bahkan belum kering."

Air mata Aleta kembali luruh. Ia pikir selama ini semua telah usai. Namun justru semuanya baru saja akan di mulai.

Tidak adil. Sangat.

"Apa harus seperti ini mencintai Daddymu, hm? Katakan pada Mom, jalan mana yang harus Mom pilih," tanyaku lirih terpekik dengan mengelus perutnya pelan.

Aleta bahagia karena ada jiwa yang sedang tumbuh di sini. Setidaknya jiwa ini juga bisa memberinya kekuatan.

"Kau yang melepaskan atau aku yang memaksa?"

Ucapan itu kembali menelisik masuk ke dalam indra pendengarannya.