Chapter 27 - Bab 27

Alex tidak tahu apa yang telah Aleta lakukan padanya. Apa pun itu. Apapun yang telah di lakukannya padanya, meski hal konyol sekali pun, justru semakin membuatnya gila.

Bukan gila karena tak mampu memenuhinya mau pun melakukan apa yang di inginkannya.

Namun gila di sini adalah Alex semakin mencintainya. Sungguh.

Alex sungguh semakin mencintainya. Sangat.

Ah, kata apalagi yang pantas dirinya ungkapkan untuk perasaannya saat ini.

Semua hal yang dilakukannya benar-benar membuatnya tergila-gila.

Entah apa yang dilakukannya, tapi malam ini sungguh, Alex tak bisa melupakannya begitu saja. Bisa ia anggap ini sejarah jika dirinya masih duduk di bangku High School atau bangku kuliah.

Aleta benar-benar membuatnya tak hanya gila tapi juga menggantungkan hidupnya hanya padanya. Hanya padanya.

Ah, gadisnya ini benar-benar nakal sekarang. Alex sendiri mati-matian menahan gairah untuk tak menyentuhnya tapi lihatlah. Sikapnya sungguh membuatnya kepayang.

Dengan gerakan santai dia duduk di atas perutnya, bahkan belum ada lima menit Alex memejamkan mata, dan membuat bulatan-bulatan kecil di sekitar dada bidangnya. Hal yang menjadi kelemahan Alex selama ini jika Aleta menyentuhnya.

Alex tidak tahu. Ini memang di sengaja atau memang berniat ingin menggoda.

"Alex?" Panggilnya lirih masih dengan terus menyusuri dada bidang suaminya dengan jari-jari lentiknya.

Oh Tuhan hentikan ini sekarang juga.

"Hm." Alex berdehem dan memandang lekat wajah istrinya. Terlihat diam dan mengembuskan napasnya perlahan. Memberi jeda untuk menyampaikan apa yang ingin di sampaikan.

"Aku rindu Mom," ucapnya setelah terdiam beberapa detik.

Alex menaikkan satu alisnya ke atas dan mengusap pelan pinggang rampingnya.

Tersenyum. Alex bahkan baru menyadari jika Aleta mengenakan baju tidur tipisnya dan oh astaga. Dua benda kenyal favoritnya kini nampak ingin mencuat keluar. Ya Tuhan, Alex sungguh membutuhkannya malam ini. Dengan terang-terangan Aleta menggodanya.

Tunggu. Apa Aleta juga menginginkannya?

"Kau ingin pulang?" Suara Alex terdengar parau. Mati-matian dirinya menahan gairah yang memuncak.

Bolehkah Alex mengatakan, jika ia membutuhkan pelepasan malam ini juga?

Alex melihat Aleta hanya mengangguk dan berangsur merebahkan kepalanya di dada bidangnya. Alex jadi berambigu, anggukan Aleta untuk pulang menemuinya momnya atau setuju jika Alex membutuhkan pelepasan.

Jangan lupakan soal dua benda favoritnya itu. Sekarang benar-benar menempel pada dada telanjangnya yang bidang.

Alex semakin tak bisa menahannya.

Tangannya tergerak mengusap punggungnya dan mencium puncak kepalanya.

"Kau sibuk sekali ya di kantor. Atau aku pulang sendiri saja." Alex melotot sempurna mendengar penuturan terakhirnya serta merta menghentikan usapan yang Alex lakukan. Lantas membaliknya membuat Aleta berada tepat di bawahnya.

Alex menguncinya dengan kedua tangan kekarnya di sisi badannya.

"Tidak. Kita akan pulang bersama. Besok siang. Aku tak ingin membiarkanmu pergi sendiri." Usai berucap, Aleta mencium bibirnya. Bibir yang menjadi candu baginya selama ini. Rasa manis yang membuatnya tak ingin berhenti menciumnya.

Aleta membalas ciumannya.

Alex tersenyum di sela ciumannya karena balasan Aleta.

Bisa Alex artikan jika Aleta juga menginginkan hal itu sekarang.

"Selalu seperti itu," serunya kesal setelah melepas ciuman Alex.

Alex memberinya cengiran menunjukkan gigi-gigi rapinya.

Menangkup kedua pipinya, Alex kembali mencium sudut bibirnya sebentar. Hanya beberapa detik. "Aku akan dibunuh Male jika membiarkanmu jauh dariku satu langkah saja sayang. Kau tahu, dia sangat menyayangimu. Lebih menyayangimu dari pada aku putranya."

Aleta terkikik geli. "Aku menangkap sesuatu yang terasa seperti ungkapan cemburu, sepertinya."

"Aku memang cemburu sayang," jawab Alex jujur. "Ngomong-ngomong, kenapa kau menggodaku, hm? Kau tahu, pakaianmu sayang," tunjuk Alex dengan memajukan dagunya dan sambil menyipitkan kedua bola matanya. Tangannya bergegas meremas kedua benda kenyal itu dari luar gaun tidur tipisnya. Ya Tuhan,."Braless, eh?"

Aleta memerah. Menahan malu juga desahan.

Lihatlah semburat merah itu. Semakin membuat Alex ingin menerjangnya sekarang juga.

Alex masih terus meremasnya perlahan. Sambil terus menatap kedua bola mata cokelat bening milik Aleta.

Tak ada penolakan. Alex segera menarik tali gaun tidurnya dan melahap kedua benda kenyal itu bergantian.

Terdengar desisan tertahan Aleta yang semakin membuatnya bergairah.

***

Alex menarik selimut setelah kegiatan panas yang dirinya dan Aleta lakukan. Menutup tubuh polos kami dan memeluk Aleta dari belakang, erat.

Mengusap keringat yang berada di sekitar dahinya serta menciumnya. Terlihat, Aleta mulai menutup kedua bola matanya.

"Kau hebat malam ini. Love You Maple," bisik Alex dan ikut terlelap disampingnya.

Malam ini benar-benar indah. Dan Aleta yang memulai semuanya. Kenapa gadisnya sedikit nakal sekarang. Aleta bahkan begitu berani menggodanya. Alex tersenyum. Benar-benar tersenyum bahagia.

Belum sempat kedua bola matanya terpejam sempurna, benda pipih yang berada di atas nakas membuatnya mau tak mau harus membuka mata. Melihat jam yang berada di atas dinding.

Jarum pendek menunjuk tepat di angka dua belas, tengah malam. Dan siapa yang berani mengganggu istirahatnya selarut ini.

Alex meraihnya dengan perlahan tak ingin membangunkan Aleta. Sudah pasti dia sangat kelelahan setelah kegiatan tadi.

Tanpa melihat Id Called-nya, Alex segera menempelkan di telinga kirinya.

"Semuanya sudah siap. Sesuai yang kau minta. Hunian ini masih sama berada di pedesaan. Tak ada aktivitas apa pun di dalamnya. Kau ingin menambahkan sesuatu?"

Alex mengenali suara ini. Salah satu anak buahnya.

"Akan aku kabari nanti. Terima kasih."

Alex kembali meletakkan ponsel canggihnya dan menatap Amora sambil tersenyum.

Wajahnya seperti bayi jika sedang terlelap. Kembali melayangkan cium, Alex segera memeluknya erat dan memejamkan kedua bola matanya kembali.

***

"Aku tak peduli jika kau masih ingin gigih lagi dalam mendapatkan lelaki itu. Kau memang rendahan jika aku boleh berkata. Kau sudah dibuang dan ingin dipungutnya kembali. Tak akan kujamin," ucap seorang gadis dengan mengibaskan tangannya, "Dia begitu mencintai istrinya kau tahu. Akui saja kekalahanmu itu."

Gadis itu hanya terdiam. Masih dengan gelas berisi Coctail di genggaman tangan kanannya. Tangannya terkepal sempurna menahan amarah karena apa yang dimilikinya begitu saja membuangnya. Dengan susah payah dia meraihnya. Tak hanya satu hal yang dia korbankan, namun semuanya. Dan hasilnya justru berakhir mengenaskan seperti ini.

"Aku tak peduli. Aku punya banyak cara untuk menghancurkan apapun itu demi semua keinginanku. Bahkan membunuh sekalipun. Aku tak peduli." Tatapan matanya nyalang penuh dendam dan rasa benci.

"Di dunia ini, tak semuanya bisa kau miliki. Kau harus bisa merelakan. Kau juga harus bisa melepaskan. Kau yang memulai lalu kenapa kau begitu tak terima ketika semuanya hancur. Bukankah itu salahmu sendiri. Jika kau bisa mengenyampingkan egomu, dia akan tetap bersamamu bukan. Masa lalumu tak bisa selamanya kau simpan. Dan dendammu akan membuatmu terbunuh secara perlahan." Tak ada yang salah dengan ucapan gadis berambut merah kecokelatan ini bukan. Dia hanya sedang berusaha memberi sebuah nasehat yang sayangnya tak akan diterima sama sekali.

"Aku tetap tak peduli. Sungguh. Sekalipun kau berkata sampai mulutmu berbusa. Aku ingin dia. Meski harus menyingkirkan istrinya itu. Cih, istrinya itu tak begitu menarik dari pada aku. Aku jauh lebih cantik darinya bukan. Aku seksi dan lihatlah. Para lelaki di sana bahkan sudah meneteskan air liurnya," jawabnya dengan sarkastik.

"Itu adalah sebuah nilai dimana kau dan istrinya berbeda. Sangat berbeda. Kau dan istrinya itu tak bisa disamakan. Dia wanita baik baik dan kau, oh lihatlah. Meski kau dan istrinya sama sama memiliki pendidikan tinggi. Oh, ralat. Lebih tinggi darimu. Tapi yang menjadikan lelaki itu menjatuhkan pilihan hatinya bukan masalah cantik atau seksi. Tapi hatinya. Dan hatinya jatuh pada istrinya itu." Mengembuskan napas perlahan, gadis itu segera turun dari kursi bar. "Pikirkan baik-baik. Jangan sampai kau menyesal nantinya." Menepuk pundaknya santai dan berlalu pergi. Membiarkan gadis itu yang notabennya adalah temannya itu untuk berpikir.

Gadis itu hanya tersenyum kecut. Kembali meneguk minumannya hingga tandas. Kedua bola matanya masih menampakkan amarah dengan dendam yang semakin menggerogoti sisi hatinya.

"Kau pikir, kau akan lepas dariku? Tidak Jalang! Kau akan mati di tanganku sebentar lagi. Aku bersumpah untuk itu."

***

Alex terpaksa membuka kedua bola matanya karena guncangan pelan yang dirinya rasakan di dalam dekapannya.

Menyetarakan dengan sinar gradiasi keemasan yang menerobos masuk ke dalam kamar lewat celah gorden. Alex mengerutkan kening karena Aleta terlihat sangat tidak nyaman.

Mencoba bangun dan duduk, Alex menempelkan punggung tangannya pada lekukan leher jenjangnya juga dahinya.

Badannya sedikit menghangat.

"Kau sakit sayang?" tanya Alex sedikit serak karena belum sepenuhnya tersadar.

Masih dengan memejamkan kedua bola matanya. Kepalanya bergerak tak nyaman. Entah apa yang di lihatnya di dalam tidurnya sekarang.

Alex segera memakai kaos serta boxer yang bercecer di lantai dan keluar kamar.

Mengambil air dalam baskom dan meminta pelayan membuatkan bubur serta sup hangat untuk Aleta.

"Apa Aleta sakit Alex?" tanya kepala pelayan dengan sedikit nada khawatir.

Alex hanya berdehem pelan dan membawa baskom keatas. "Antarkan ke kamarku nanti."

Apa karena kegiatan semalam bisa membuat Aleta demam. Alex menyesal sekarang jika memang iya. Alex harusnya lebih lama lagi untuk menahannya.

Alex memeras handuk kecil dan menempelkannya pada kening Aleta. Lantas tangannya terulur mengambil ponsel dan menekan beberapa digit nomor.

Menempelkannya pada telinga kirinya yang kujepit dengan bahu sedang tangannya kembali sibuk mengompres Aleta.

"Jas … Sarah?"

Alex memotong ucapannya sendiri sebelum sempat terselesaikan.

"Ada apa Alex? Jason sedang mandi bersama Arthur."

Alex mengangguk paham meski Sarah tak akan melihatnya.

"Tidak apa. Bisa sampaikan pada Jason jika rapat aku serahkan padanya. Aleta sakit. Aku tak bisa meninggalkannya."

Alex bisa meyakini dalam hitungan ketiga Sarah akan meledak. Terkadang dirinya terheran dengan sikap Sarah yang sangat over terhadap Aleta.

"Kau apakan Aleta, hm?" Alex sudah bilang bukan. "Akan aku sampaikan pada Jason. Satu jam lagi aku akan sampai di rumahmu bersama Arthur."

Tamat sudah riwayatnya. Sudah pasti Alex akan mendapat ceramah panjang pagi ini.

Alex meletakan kembali ponsel dan bergegas memakaikan piama tidur untuk Aleta.

Ya Tuhan. Alex sangat menyukai dua benda kenyal ini. Jika boleh jujur, benda itu sekarang lebih terisi. Alex mengecupnya sebentar.

"Masuk." Alex sedikit berteriak tatkala mendengar suara pintu di ketuk. Nampak dua pelayan masuk dan menaruh makanan yang dirinya minta.

Mereka bergegas keluar dan kembali menutup pintu.

Alex mengusap pelan pipi Aleta. "Bangunlah sayang," bisiknya di depan wajah Aleta dan menciumi sudut wajahnya dengan gemas.

Terlihat Aleta mengerang pelan namun tak berniat membuka kedua bola matanya.

Alex tak berhenti menciumi wajahnya hingga mau tak mau Aleta membuka kedua bola matanya.

Nampak kedua bola mata itu sayu. Alex semakin tak tega melihatnya sakit. Lebih baik dirinya yang sakit.

Tersenyum tipis. Alex suka melihatnya tersenyum.

"Apa aku merepotkanmu Alex?" tanyanya dengan suara parau. "Maaf." Bibirnya mengerucut membuat Alex sangat ingin melahapnya.

"Hei, kenapa meminta maaf. Aku suka melakukan ini untukmu sayang." Alex tetap mengelus pipinya menyalurkan ketenangan untuknya. "Kau harus makan sekarang."

Alex mendapat penolakan tanpa suara. "Mulutku sangat pahit. Aku tak mau."

"Oh ayolah sayang. Sarah akan mengamuk padaku nanti. Sungguh." Alex memasang wajah tertunduk.

Aleta masih diam tak menjawab apa pun. Alex mencuri lewat sudut matanya. Dan entah ini benar atau tidak, Alex menangkap kedua bola matanya berkaca-kaca.

Ya Tuhan. Hormon kehamilannya naik turun sekarang.

Alex merengkuhnya dalam dekapan.

"Maafkan aku sayang. Baiklah, aku tak memaksa. Kau ingin makan apa, hm. Katakan padaku," tanya Alex sehalus mungkin. Alex tak bisa melihatnya menangis. Sungguh. Itu termasuk salah satu kelemahannya.

Aleta hanya menggeleng. Itu yang Alex rasakan.

"Kau tak ingat? Aku akan kalah bertanding jika kau tak mau makan. Atau dia akan mengamuk juga padaku jika kau tak makan sayang. Oh ayolah sayang." Alex terus merayu.

Aleta masih tetap menggeleng.

Alex mengembuskan napas pelan. Mengusap punggungnya pelan.

Hingga suara melengking menyusup masuk ke dalam indra pendengarannya. Alex meyakini itu milik Sarah. Siapa lagi yang bertamu tak memakai aturan. Dasar wanita, umpat Alex.

Aleta bergegas melepas pelukannya dan berlari menuruni ranjang. Alex melotot melihat hal itu. Ya Tuhan, kenapa kehamilannya begitu cepat merubah moodnya.

"Oh Astaga Aleta. Kau! Kau tak seharusnya berlari," teriak Alex keras.

"Aku merindukan Arthur, Alex," jawabnya santai sambil menggendong dan menciumi Arthur.

Bocah kecil itu hanya cekikikan. Merasa geli dan senang bersamaan.

"Sarah jauh lebih mengerikan dari Aleta jika kau ingin tahu Alex. Bahkan, dia tak mau berdekatan denganku di awal kehamilan. Menginjak tiga bulan aku bahkan harus merasakan tidur sendiri lantaran di tuduh berselingkuh. Ck." Decak Jason dengan menunjukkan wajah prihatinnya.

Alex hanya merasa iba dan menepuk pundak Jason pelan. "Aku tak menyangka wanita hamil bisa sebegitu mengerikan Jason."

"Aku mendengarnya Tuan Muda." Sinis Sarah dengan tatapan tajamnya. Membuat Alex dan Jason bergegas berlalu.

"Aku akan keruang kerja bersama Jason sebentar, oke." Alex mengecup puncak kepala Aketa dan segera keluar setelah mendapat tanggapan dengan anggukan.

Menggemaskan sekali, sungguh.