"Kau bisa membantuku Mom. Ini demi Aleta dan juga anakku. Aku hanya ingin istri dan calon anakku aman. Aku tahu, cepat atau lambat akan ada masalah yang datang. Mom, setidaknya sampai aku bisa menyelesaikan semuanya."
Alex menggembuskan napasnya setelah menceritakan semua masalah pada Ibunya.
Kali ini, ia membutuhkan Ibunya untuk keputusan yang akan di ambilnya.
Keputusan yang memang harus diambilnya. Tak untuk satu atau dua hari. Namun untuk berlangsungnya rumah tangganya bersama Aleta. Bahkan untuk calon buah hatinya. Bukti dari cintanya bersama Aleta.
Entah kenapa sejak mendengar penuturan Helen malam itu hatinya berubah gelisah. Pikirannya selalu was-was. Ia bahkan memberi surat pengunduran diri untuk Aleta secara paksa di kampusnya. Dan menjadikan Aleta asistennya di kantor.
Awalnya Aleta menolak habis-habisan rencana gila Alex. Bahkan harus berdiam diri tak menyapa atau menghiraukan Alex sama sekali. Namun dengan gigih Alex menjelaskan secara perlahan alasan apa yang masuk akal dan di terima Aleta.
Dan ya, Aleta mau menerima rencana itu. Alex tak sepenuhnya berbohong bukan. Tak mungkin ia mengatakan apa yang sebenarnya di dengarnya atau akan membuat Aleta semakin ketakutan nantinya. Ia memang ingin menjaga Aleta beserta buah hatinya yang sudah memasuki usia delapan minggu.
Bukan Alex namanya jika tak mencari kehebohan. Bahkan ketika Aleta hanya merasa pusing atau mual lantas langsung membawanya ke rumah sakit.
Meski Aleta sudah menjelaskan bahwa hal itu biasa terjadi, namun Alex tetap Alex. Lelaki tampan dengan kekeras kepalaannya yang super.
Sedikit berlebihan memang. Bahkan Jason begitu keheranan dengan sikap Alex yang berubah drastis 360 derajat seperti sekarang ini.
Walaupun begitu, beberapa orang yang melihat hal itu malah kagum dengan sikap Alex yang mencintai Aleta. Dengan caranya sendiri.
"Akan aku coba usahakan nanti. Kau tahu, Alex? Kau dan Daddymu sama-sama keras kepala. Dan aku harus ekstra keras untuk membuatnya mau menerima semua ucapanku. Lalu bagaimana dengan Aleta sekarang. Ingat, aku tak ingin hal buruk terjadi pada cucu juga menantuku. Aku sudah sangat menunggu hal ini, kau tahu itu."
Suara di seberang benda pipih itu menyeret Alex pada kenyataan dan berdehem pelan sebagai jawaban.
Pikirannya jauh melayang. Mengingat semua ucapan yang di dengarnya beberapa hari yang lalu.
Alex hanya mencoba membantu dan kenapa malah ingin menghancurkan rumah tangganya. Bahkan terang-terangan berkata kasar pada istrinya.
Cukup hanya dirinya yang pernah berlaku kasar karena sebuah ucapan yang benar adanya namun tak Alex percayai. Lalu meninggalkan sesal hingga kini.
Ya, Alex masih sangat mengingat tangannya yang dengan sadar menampar pipi mulus Aleta kala itu.
Meski sudah berlalu, rasa sesal itu masih menohok hingga kini diulu hatinya.
"Aleta baik dan semuanya baik Mom. Hanya saja, aku sangat khawatir dengan rasa mual yang kadang datang secara tiba-tiba."
Ya, pernah satu waktu, dini hari, Aleta terbangun dari tidurnya dan berlari ke dalam kamar mandi. Memuntahkan cairan bening namun kentara menyiksa. Alex hanya bisa memberi usapan hangat untuk menenangkannya.
Meski selalu berhasil, namun melihat lingkaran hitam pada kedua bola matanya sungguh membuat Alex sangat khawatir setengah mati.
Pasti sangat menyita waktu istirahat Aleta, kan?
Kini, memang waktu yang di milikinya ia curahkan semua untuk Aleta. Untuk memperhatikan hal-hal kecil yang ingin di laluinya bersama Aleta.
Seperti saat ini, melihat Aleta yang terlelap di dekapannya. Mengusap punggungnya dengan tangan yang bebas sedang yang satunya masih fokus dengan menelepon Ibunya.
"Itu hal yang biasa. Tak apa. Jangan lupakan soal vitamin dan jangan buat dia stres atau terlalu lelah. Kau harus mengurangi jadwal kerjamu di kantor. Luangkan waktu untuknya. Kau akan sangat menyesal jika melewati masa kehamilannya. Kau tahu, wanita hamil sangat suka diperhatikan. Apa ada perubahan pada dirinya."
Alex tersenyum kecil meski Ibunya takkan melihatnya.
"Aku dan Aleta baru saja kembali dari kantor Mom. Dia terlihat manja akhir-akhir ini. Melebihi Jazzy dan Jaxon."
Alex mengingat kejadian dua hari yang lalu. Aleta bahkan ingin menangis hanya karena Alex membawa tas kantornya sendiri.
Sangat lucu.
Pada akhirnya Alex mengalah dan menuruti semua keinginan Aleta. Mulai dari membawakan bekal untuk makan siangnya dan apapun yang selalu menyangkut tentang dirinya.
"Apa hormon kehamilan memang seperti itu Mom?" tanya Alex lagi setelah lama mendengarkan nasihat Ibunya, "Baiklah. Aku akan lebih berhati-hati Mom."
Alex mengakhiri perbincangan dengan Ibunya lantas mendekap Aleta lebih erat dan mencium puncak kepalanya.
Waktu baru menunjukkan pukul tiga sore. Aleta baru tertidur selama satu jam dan tak ada pergerakan kecil apa pun. Kenapa sangat tenang sekali meski sedang terlelap. Batin Alex tersenyum kecil.
Alex memejamkan kedua bola matanya. Memeluk tubuh Aleta erat.
***
"Kau tahu, hal apa yang sangat aku benci? Aku benci selalu menjadi yang kedua. Aku benci selalu kalah dalam setiap pertarungan. Aku benci selalu mengalah dan mengalah. Dan aku benci melihat apa yang aku suka dimiliki orang lain. Aku, seperti hidup untuk selalu mengalah. Hanya dilahirkan untuk tujuan mengalah. Menjijikkan. Aku tak diakui keluargaku hanya karena aku tak becus dalam bekerja. Aku dibenci Ibuku sendiri hanya karena aku tak seperti adikku. Aku dibenci Ayahku hanya karena terlalu bebas. Bukankah itu hal yang wajar. Aku melampiaskan semuanya pada hal negatif karena aku tak mendapat apa yang seharusnya aku dapat. Aku sangat membenci hidupku. Dan sekarang, lagi lagi aku harus hidup dengan menjual diriku hanya untuk membiayai hidupku sendiri juga sepupuku. Hanya dia yang mau menerimaku. Aku bersyukur karena masih ada yang menganggapku seperti manusia. Masih nampak seperti dibutuhkan. Aku hanya ingin membalas budi. Itu saja. Lalu sekarang, kembali. Haruskah aku mengalah. Aku mencintai seorang lelaki yang begitu tampan. Namun sayang sekali karena sudah menikah. Aku tidak tahu, namun aku ingin mendapatkannya. Aku sangat menginginkan lelaki itu sungguh. Semakin dia menjauh, semakin ingin aku mendekat. Namun sisi hatiku masih menolaknya. Entahlah. Kali ini hatiku berbicara. Meski pikiranku masih terus memaksa untuk mengambilnya. Tapi aku tak bisa. Aku kenapa malah tak tega menyakiti istrinya itu. Dia cantik. Sangat cantik. Melebihi apapun. Lembut dan ramah. Tidak seperti aku yang benar benar Jalang. Aku seorang Jalang dan mengharapkan lelaki itu untuk menjadi milikku. Bagus sekali. Harusnya aku sadar. Dia menolongku dan memberiku pekerjaan yang sangat layak. Tapi entahlah. Aku sangat ingin lelaki itu. Sangat."
***
Alex merasakan pergerakan kecil pada tubuhnya. Rasanya baru sebentar matanya terlelap. Membuka matanya, yang pertama dirinya tangkap adalah sosok Aleta yang tersenyum dengan manis. Kian membuat kedua tangannya mengeratkan dekapan.
"Aku ingin makan lasagna Alex. Tapi ..." ucapannya berhenti. Alex masih menunggu. "Kau yang harus memasaknya." Kedua bola mata Aleta berbinar usai berucap seperti itu.
Alex menangkup kedua pipinya dan mencuri cium dari sudut bibirnya.
"Baiklah. Anything for you, love."
Terlihat senyumnya kembali merekah membuat Alex semakin gemas padanya. Sikapnya semakin manja setelah menginjak kehamilan kedua bulan ini.
Terkadang hal-hal konyol selalu dilakukannya atau meminta sesuatu yang aneh.
Pernah suatu malam Aleta meminta di buatkan sandwich. Lalu setelahnya harus dirinya yang memakannya. Ya Tuhan. Alex gemas di buatnya.
Atau hanya karena dirinya memakai parfum dengan wangi yang lain Aleta akan otomatis menjauhi dirinya sepanjang hari. Itu sangat menyiksa jika Alex boleh jujur.
Alex bergegas bangun dan memakai kaosnya. "Kau mandilah. Akan aku siapkan."
Namun belum sempat tubuhnya beranjak untuk bangun, lengan Aleta sudah lebih dulu memeluk lehernya dengan wajah sendu.
Alex menatapnya dan tersenyum. "Aku ikut," ucapnya manja. Alex menjamin, sebentar lagi buliran bening yang menggenang di pelupuk matanya akan segera terjatuh jika dirinya menggelengkan kepala sebagai penolakan.
Oh Astaga. Gadis-nya begitu manis sekarang.
Alex segera mendudukkannya di pangkuan dan mengusap pipinya pelan. "Baiklah." Oh lihatlah senyum itu. Aleta bahkan langsung tersenyum dan memeluk erat lehernya sambil menyembunyikan wajah merahnya.
"Kau sungguh manis Aleta. Kau tahu, kau selalu bisa mengacaukan semua pikiranku," bisik Alex dan kembali menjatuhkan ciuman di pelipis kanannya. "Apa yang kau lakukan padaku sampai aku gila karenamu sayang." Aleta hanya terkikik dan bahunya bergetar. Meggesekkan beberapa kali wajahnya pada lehernya.
Oh, jangan sekarang.
Alex segera berdiri, kembali, dan menggendongnya keluar kamar menuju dapur.
Beberapa pelayan yang melihat hal itu sedikit khawatir. Entahlah. Alex dan Aleta tak menganggapnya sebagai pelayan di rumah ini. Namun lebih seperti keluarga. Mereka begitu baik dan tulus.
"Apa yang terjadi pada Aleta, Alex?" Ya, itu kepala pelayan di rumahnya. Alex sengaja menyuruhnya memanggil dirinya dan Aleta dengan nama, tanpa embel-embel Tuan atau Nona. Itu sangat kolot jika di dengar.
"Dia hanya lelah. Tak apa. Aku ingin membuat lasagna. Kalian tak perlu membantu menyiapkan," tegas Alex yang langsung di pahami oleh mereka terbukti dengan jawaban mengangguk.
Alex mendudukkan Aleta dikursi bar yang ada di dapur dan bergegas membuka lemari pendingin.
"Kau mau jeruk atau apel?" tawaran Alex di angguki oleh Aleta dengan semangat.
"Keduanya bagaimana?" jawaban yang sangat menggemaskan.
"Akan aku kupaskan untukmu." Alex mencium ujung hidungnya yang langsung di sahutinya dengan kekehan.
Alex segera mengupas jeruk dan apel lantas, menaruhnya di atas piring dan menyuapkan satu per satu pada Aleta.
"Apa little membuatmu kesusahan sayang." Alex mengelus perut Aleta yang sudah terlihat berisi.
"Tidak. Tapi dia suka jika kau mengelusnya. Aku tak mual lagi."
Alex semakin terus mengelus perutnya dan melayangkan ciuman di perut Aleta. "Kau memang jagoan Daddy. Terima kasih tidak membuat Mom kesakitan."
Alex bergegas membuat lasagna seperti permintaan Aleta dan sesekali melayangkan pandang padanya yang nampak masih asik dengan beberapa potong jeruk di piringnya.
Sepertinya fase mengidam sudah mulai menghampiri. Terbukti akhir-akhir ini Aleta begitu suka meminta makanan aneh yang berujung tak di makannya atau malah Alex yang harus menghabiskannya Alex merasa tak masalah, selama Aleta senang apa pun akan dirinya lakukan.
Lasagna buatan Alex usai dan menaruhnya di piring. Mengajak Aleta untuk makan di meja makan.
"Makan Alex!"
Alex melotot sempurna. Lagi? Dirinya sudah menuangkannya di atas piring untuk Aleta dan justru aku yang harus memakannya.
Dengan perlahan, Alex mengelus punggung tangannya. "Kau juga harus makan sayang." Gelengan tolakan langsung di layangkan Aleta.
"Sedikit saja." Alex masih berusaha. Namun lagi, gelengan bahkan Aleta membekap mulutnya sendiri.
Alex mengembuskan napas perlahan dan tersenyum. Segera melahapnya.
Lihatlah sekali lagi, Amora begitu bahagia setelah sukses membuat dirinya harus menyerah.
"Ah sayang, kau suka sekali membuat Daddy kenyang akhir-akhir ini."
***
"Aku tidak peduli! Bagaimana pun caranya semua harus terjangkau CCTV. Aku tak suka dibantah Tom! Lakukan semuanya dengan bersih. Aku akan segera mengurus kepindahanku. Dan pastikan semua terkendali."
Meletakkan benda canggih dengan kasar, lelaki tampan itu menutup wajahnya dengan gusar.
Perasaannya semakin menggila beberapa hari ini. Sikap berlebihannya membuat sebagian orang menggelengkan kepala meski gemas dengan tingkahnya.
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku. Oke aku marah sekarang," ucap seorang gadis yang berdiri di sampingnya entah sejak kapan.
Berharap tak mendengar semua percakapannya tadi atau akan merusak moodnya.
"Aku tak menyembunyikan apapun darimu sayang. Sungguh." Tangannya mencoba meraih pinggang gadisnya.
Gadis itu hanya terdiam.
"Oh ayolah Sayang." Rayunya lagi.
"Aku marah padamu. Tidak sebelum kau bercerita." Menjulurkan lidah, gadis itu berjalan keluar menuju kursinya.