Aleta berjalan menuruni tangga. Kembali memeriksa apa saja yang belum tersaji. Aleta juga meminta bantuan para pelayan ketika dirinya mengurus Alex.
Semuanya siap. Aleta tersenyum tipis. Tak lama, Aleta mendengar suara bel berbunyi. Aleta bergegas berjalan menuju pintu utama. Membuka pintu lebar dan melihat siapa yang datang.
Helen. Wanita itu datang. Mengenakan pakaian yang sangat minim. Apa pekerjaannya sebagai penari di kelab benar-benar seperti ini. Sehingga dia memakai pakaian yang bisa membuat gairah setiap lelaki memuncak.
Aleta tersenyum ramah padanya. Dan tunggu. Kenapa tatapannya tajam seperti itu. Kenapa tak ada senyuman ramah yang di berikannya seperti kemarin malam saat dirinya bersama Alex. Kenapa tatapannya seakan merendahkan juga mengintimidasi? Atau seperti inikah aslinya?
"Masuklah." Aleta membukakan pintu lebih lebar. Helen patuh dan hanya mengikuti. "Alex akan segera turun," sambung Aleta yang lagi-lagi hanya didiamkan begitu saja.
Aleta mengedikkan bahu dan berjalan masuk ke arah dapur. Aleta tahu Helen masih tetap mengikuti dan Aleta merasakan tatapan tajam setajam pisau itu masih mengarah tepat di punggungnya.
"Kau ingin minum?" tawar Aleta ramah. Dan hanya di balas dengan seringaian mengerikan di bibir Helen.
"Dia itu kenapa, sih?" Aleta membatin dan melanjutkan membuatkan secangkir kopi untuk Alex. Acuh menjadi pilihannya. Aleta malas menanyakan apa-apa saja. Baginya, helen tetaplah orang asing.
"Kau sangat cemburu ya melihatku bersama Alex? Ini belum seberapa."
Aleta menoleh. Menelisik masuk ke dalam bola mata hijau Helen. Matanya berbinar. Entah apa artinya. Namun sepertinya, wanita ini merencanakan sesuatu juga perkiraannya soal perasaan yang di milikinya untuk Alex memang benar adanya.
"Bukankah itu wajar?" Aleta tak menutupi perasaannya. Lawannya sudah melemparkan bom, pikir Aleta, hanya perlu mengikuti arusnya. Itu memang yang dirinya rasakan.
Helen tersenyum miring, membuang muka. "Mari kita bertanding. Siapa yang akan menaklukkan Alex?" Hei, dia lupa, ya? "Kau atau aku?"
"Apa ini. Kenapa dia begitu menginginkan Alex. Sedang dia tahu Alex milikku." Dewi batin Aleta menggema. Tangannya terus bergerak mengaduk minuman untuk Alex.
"Kenapa kau begitu menginginkan yang sudah menjadi milik orang lain Helen? Kau pasti salah minum siang ini atau terbentur sesuatu?" Aleta santai dalam membalas. Tata cara meletakan sendok yang telah digunakannya pun terlihat anggun. "Pernah mendengar kata: tidak baik mengambil milik orang lain? Tapi maaf, Alex milikku. Aku yang lebih dulu bersamanya. Aku yang memilikinya sebelum kau datang," jawab Aleta tegas.
Helen mengatupkan rahangnya. Dalam pendengarannya, omongan Aleta sangat tidak masuk akal. Kenapa harus dirinya yang di tekan tentang 'menyukai milik orang lain' sedang Aleta pelaku perebut di sini. "Kau yakin? Kau yakin dia mencintaimu?" Dan Helen seperti ular. Ia tidak kehabisan akal untuk membelit mangsanya.
Aleta menoleh. Keraguan melingkupi. Tapi sebisa mungkin dirinya kendalikan. "Kenapa aku tak yakin? Dia suamiku. Aku harus menanamkan kepercayaan penuh padanya."
Sedang Helen, wanita itu tampak menahan amarahnya.
"Wanita ini menginginkan apa yang menjadi milikku, suamiku. Ya Tuhan." Hati Aleta kembali resah. Bagaimana jika Alex tergoda olehnya. Bukankah Alex berada di satu kantor dengannya.
Dia bisa mendekati Alex kapan saja. Dan membuat Alex terjatuh kedalam pelukannya. Sedang dirinya tak ada di samping Alex.
Tapi, hei. Bukankah Aleta harus percaya pada Alex? Suaminya sendiri yang mengatakan sangat mencintai dirinya, kan? Aleta tak bermaksud sombong. Itu yang Alex katakan dan yang bisa dirinya lakukan hanyalah percaya. Memegang setiap ucapan suaminya dengan teguh dan terbuka satu sama lain. Itu kuncinya.
"Kau yakin, kau bisa mempertahankan Alex. Sedang caramu berpakaian seperti itu. Lihatlah seleramu. Benar-benar norak! Alex itu tampan. Dia butuh wanita yang sepadan untuk mendampinginya. Seperti aku." Tunjuknya terlalu percaya diri membuat tawa Aleta meluncur.
Aleta mendekat. "Kau harus mengenal Alex lebih dalam lagi," bisik Aleta, "Kau hanya mengenal luarnya tanpa mau mengenal sisi terdalamnya. Mau kukasih tahu satu rahasia? Ah, tapi rasanya tak perlu. Aku percaya pada Alex," sambung Aleta membuat Helen mendengkus kasar.
Aleta tahu, dirinya sudah membuat amarah Helen memuncak. Dan merasa bersalah bukan gayanya. Sedikit banyak Aleta bangga pada dirinya, cara menjawabnya dan segala yang sudah dirinya berikan untuk membungkam mulut Helen. Pikirnya, dirinya sedang mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Mempertahankan suami juga rumah tangganya yang sedikit mendapat guncangan. Oh bukan. Bukan sedikit. Namun kuat.
Aleta tahu wanita seperti apa yang sedang berdiri dihadapannya kini. Dia licik dan akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.
Mendadak Aleta mengingat soal Elora. Dia seperti Elora.
Kedua wanita ini sama. Elora bahkan menuduhnya tidur dengan lelaki lain. Padahal jelas Aleta tak melakukan hal serendah itu. Aleta bahkan tak pernah melihat atau pun bertemu lelaki yang berada di dalam foto bersamanya. Bukankah itu aneh.
Itulah cara Elora dulu membuatnya pergi tapi seolah-olah itu adalah salahku. Waktu itu Aleta sangat bodoh karena mengambil keputusan sepihak. Karena memang waktu itu Alex belum mencintainya. Meski terus memintanya dirinya untuk kembali.
Aleta tahu, Alex bukan ingin ikut larut dalam permainan Elora waktu itu. Namun lebih memilih bungkam untuk mencari bukti yang sebenarnya. Dan ya, semuanya terbukti. Alex tahu kebenarannya.
Bahkan hal rendah apa yang Elora lakukan akhirnya Alex tahu.
Lalu seperti ini. Pada akhirnya Aleta memiliki apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Dan sekarang, secara tiba-tiba ada yang kembali ingin mengambilnya dalam wujud lain. Aleta tak bisa lagi mengalah kali ini. Alex miliknya. Dan hanya miliknya.
Bolehkah Aleta egois?
Aleta hanya mempertahankan suaminya. Mempertahankan apa yang memang miliknya.
"Kita lihat saja nanti Ms. Aleta. Kau yang akan tetap bertahan, atau aku yang menggantikannya." Helen mengakuinya dengan sangat percaya diri.
"Kenapa kau begitu menginginkan Alex?" Aleta bertanya dengan nada yang cukup tinggi tapi tersirat tegas di dalamnya. "Kau cantik Helen. Aku yakin banyak lelaki yang menginginkanmu. Aku tahu kau memiliki sisi terhalus untuk di sentuh asal kau bisa mengenyampingkan ambisimu. Kau tahu, mencapai hal yang sangat kau inginkan bukan sesuatu yang mudah. Mungkin bagimu mencapainya sangat mudah. Namun, cobalah memahami arti kata memertahankan. Kau tahu, itu sangat tidak mudah." Aleta tak pandai dalam merangkai kata bijak. Ia hanya berusaha untuk membuatnya mengerti. Meski sangat tidak mungkin. Wanita ini sangat keras kepala.
"Aku jatuh cinta padanya saat bertemu di kelab malam itu. Sikapnya sangat manis. Sungguh. Bagaimana aku tak langsung jatuh cinta padanya. Sikapnya yang manis, juga pelukan yang hangat membuat jantungku berdebar seketika," jawabannya sangat mengenai sasaran. "Kau tak perlu memberiku ceramah karena kau tak tahu aku."
Aleta tersenyum manis. "Kau pasti salah paham. Tapi maaf, pelukan itu milikku." Aleta berlalu pergi meninggalkan Helen yang masih diam mematung di dapur.
***
Baik Aleta mau pun Helen sama sekali tak menyadari kehadiran Alex. Pertengahan anak tangga yang begitu dekat dengan dapur menyita atensinya. Langkah kakinya langsung berhenti mendadak.
Membuat hatinya semakin gusar. Kegelisahan hatinya terjawab sudah.
"Benar kata Aleta. Wanita itu memiliki rasa terhadapku. Dan apa tadi? Dia bahkan ingin bersaing dengan Aleta untuk mendapatkanku. Kurasa otaknya sudah tidak waras. Aku lelaki yang sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi Ayah. Aku tak akan mengulangi kesalahan kedua kalinya yang menyisakan sesal di relung hatiku lagi. Aku hanya mencintai Aleta dan selamanya akan seperti itu. Tak akan berubah. Dan, lalu dia ingin mengambil apa yang menjadi milik Aleta. Aku harus segera bertindak. Ini tak boleh terjadi. Aku tak ingin menyakiti Aleta lagi."
"Aku juga bahkan mendengar jawaban halus dari Aleta meski lawan bicaranya begitu mengancam. Kenapa Aleta tak membalasnya? Kenapa gadisku sangat menyukai kelembutan sedang orang lain selalu ingin berlaku kasar padanya. Kenapa malah dengan terbuka gadisku memberi nasihat yang jelas jelas tak akan di terima. Oh Tuhan. Aku baru mengetahui bahwa hatinya sangat lembut seperti malaikat. Hatinya begitu sangat lembut."
***
Aleta melihat Alex yang sudah duduk dengan memainkan ponselnya. Wajahnya memerah menahan sesuatu.
"Apa kau sakit? Wajahmu memerah seperti itu. Kau demam?" Aleta arahkan punggung tangannya di dahi Alex. Normal.
"Tidak sayang. Bisa ambilkan aku makan. Aku sangat lapar dan tak sabar memakan semua masakanmu." Aleta menuruti. Mengambilkan menu yang sudah tersaji ke atas piring Alex.
Ekor mata Aleta menangkap sosok Helen yang melayangkan tatapan tajam. Tak menghiraukan, Aleta terus melayani apa-apa saja yang di inginkan suaminya.
"Jadi, ada apa kau datang kemari Helen."
Entah pendengaran Aleta yang salah atau memang Alex terlalu lapar, nada suaranya sangat ketus ketika bertanya pada Helen. Membuat wanita bergaun terbuka ituterbengong dan menatap wajah Alex lekat.
Aleta mendengus membuat Alex menoleh dan tersenyum. "Duduklah. Ini enak sekali sayang," titahnya tanpa ingin di tolak. "Buka mulutmu." Begitu saja Alex suapkan makannya yang Aleta terima dengan senyuman.
"Ada beberapa berkas yang harus kau baca Alex," ucap Helen pada akhirnya.
Setelah lama terdiam dan melihat sikap Alex yang begitu manis pada Aleta. Bukan ingin memuji, namun itu yang aku rasakan.
"Kenapa kau yang membawanya. Aku punya sekretaris dan ada pamanku di sana. Harusnya salah satu dari mereka yang datang." Aketa6 benar-benar yakin jika telinganya masih berfungsi normal. Alex-nya menjawab dengan sangat ketus. "Letakkan di sana Helen. Kau bisa pulang jika sudah usai." Bahkan Alex tak mengajaknya atau mempersilahkannya untuk sekedar mencicipi makan malam bersama kami.
Tak hanya Aleta yang terhenyak. Ekspresi Helen jelas menegang di tempatnya. Itu yang Aleta lihat.
Lantas berdiri dan meletakan beberapa map di atas meja dan berlalu pergi tanpa berpamitan terlebih dulu.
"Sangat tidak sopan." Aleta mencibir yang langsung di tanggapi cubitan halus di pipiya. Pelakunya? Tentu Alex.
"Kata-katamu sayang. Jangan ucapkan kata-kata seperti itu lagi kecuali jika kau sedang bercinta denganku." Blush. Aleta memerah. Kenapa Alex suka sekali menggodanya?
"Alex. Kau!" Aleta berseru kesal dan langsung menghujaninya dengan cubitan di sekitar pinggangnya.
"Kau memerah sayang. Sangat manis."
Bukan berhenti, Alex justru menciumi pipi Aleta dengan gemas.
"Hentikan Alex!" seru Aleta kesal dan melipat kedua tangannya tepat di dada kenyalnya. Mencoba abai, Aleta bertanya, "kenapa kau mengusirnya?" Aleta penasaran jika boleh jujur.
"Aku ingin makan malam denganmu saja sayang. Bukankah dia hanya ingin memberikan map-map itu." Di majukannya dagunya menambah kesan seksi sambil terus mengunyah makanannya.
"Kenapa kau bertambah seksi saja jika sedang seperti itu," celetukan Aleta di balas dengan senyuman menggoda.
"Ah, kau merindukanku ternyata, hm?" jawaban Alex terlampau menyebalkan denganalis yang naik turun. "Aku juga sayang."
Aleta mencebikkan bibirnya dan kembali melayangkan cubitan di pinggang Alex.
"I love you for a thousand more," bisikan Alex menyunggingkan senyum di bibir Aleta. Genggaman tangannya semakin erat dan Aleta meyakini bahwa Alex tak akan melepaskannya.
"Kau harus makan dan minum susumu Aleta Kau tahu, aku punya sebuah perjanjian dengan dia. Jadi, kau tak boleh membantahnya."
Aleta kembali mendengus dan merebut sendok yang akan di masukkan ke dalam mulut Alex. Menyendok beberapa kali suap makanan di atas piring Alex dan segera meneguk susu hamilnya hingga tandas.