"Haruskah aku menjadi penari telanjang lebih dulu untuk bisa membuatmu tertawa lepas Alex?"
Kata-kata itu terngiang di rungu Alex. Menohok tepat di relung hatinya yang paling dalam.
Alex segera memeluk Aleta erat. Menyalurkan rasa hangat untuk memberinya ketenangan. Alex tahu, cepat atau lambat, guncangan dalam berunah tangga akan terjadi.
Terlebih dirinya yang tak jujur dan malah membohongi Aleta. Bukan seperti aslinya. Alex hanya sedang mencoba—mencari waktu yang tepat untuk bercerita.
Sekarang Alex benar-benar menyesal karena datang ke kelab sialan itu. Seandainya, jika dirinya tak pergi malam itu, hubungannya dengan Aleta akan baik-baik saja. Tapi apakah iya? Bukankah dalam setiap rumah tangga selalu terjadi prahara.
Dan seolah tersadar pada apa yang melintas di benaknya, Alex berkali-kali lipat menyesal. Janjinya sederhana; tidak akan menyakiti Aleta. Namun lidah yang bersilat mengalahkan fakta yang terjadi di mana dirinya dengan sengaja membuat Aleta sakit. Membuat istrinya berpikiran buruk bahkan … Alex ingin gila saja. Bertahan, memerlukan perjuangan.
"Tidak. Tidak Aleta. Kau tak perlu seperti itu. Apa pun yang kau lakukan, kau selalu membuatku bahagia. Sungguh." Jawab Alex masih dengan memeluk tubuh mungil Aleta. Menenggelamkan wajah sembab itu pada dada bidangnya.
"Kau pembohong! Lepaskan aku Alex. Aku tak sudi di sentuh oleh tangan kotormu! Aku tak sudi lagi bersandar pada dadamu yang menjadi bekas orang lain."
Alex semakin memeluknya erat. Meski tangannya berontak untuk melepas pelukan dan memukuli dada bidang Alex. Biarlah. Alex tahu, itu cara Aleta untuk menyalurkan rasa sakit dalam hatinya. Rasa sakit yang bahkan dirinya sendiri yang menciptakannya. Menorehkan luka lagi dan lagi.
"Lepas Alex!" seru Aleta yang tak Alex hiraukan.
Alex mengusap lembut punggungnya. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aleta.
"Kau pembohong Alex. Aku membencimu. Sangat. Aku melihatnya Alex. Kau sangat bahagia saat bersama wanita itu. Dari caramu memandangnya, aku tahu kau memberi perhatian lebih pada tatapan itu Alex. Dan juga, wanita itu memandangmu dengan tatapan berbeda pula. Kau bahkan mengabaikanku saat makan malam bersamanya kemarin malam. Kenapa Alex? Kenapa kau selalu membuatku hancur hanya dalam satu tindakan. Kumohon lepaskan aku Alex."
Alex menggeleng meski Aleta takkan melihatnya.
"Tidak. Tidak Aleta. Tidak akan lagi. Aku tak ingin kau pergi meski hanya selangkah, sungguh. Jangan tinggalkan aku lagi. Kumohon. Aku tak memiliki rasa apa pun terhadap Helen. Aku hanya mencintaimu. Dia hanya kuanggap teman," jawaban Alex tersirat frustasi. Ia putus asa pada apa dan bagaimana untuk meyakinkan Aleta. Seperti pepatah: gelas yang pecah takkan bisa rekat lagi.
"Kau egois Alex! Teman tak seperti itu." Aleta kekurangan teman semasa kuliah dulu. Tapi bukan berarti dirinya bodoh untuk tidak melihat pancaran penuh harap di mata Helen. Karena sangat mengetahui, Aleta termakan api cemburu. Menutup segala akses untuk melunakkan hatinya dengan sebuah penjelasan.
Alex tertegun mendengar ucapan Aleta. Kali ini terasa benar. Dan sangat benar sehingga Alex kelu untuk membenarkannya.
Dan entah sejak kapan pelukannya mengendur membuat Aleta dengan mudah melepasnya lantas meringkuk membelakangi Alex. Bahunya bergetar. Menandakan tangis sedang berlangsung.
Penyesalan Alex berkali lipat kali ini. Menyesal karena kembali menyakiti Aleta. Menyesal dengan janjinya yang semu. Menyesal kembali menjadi pengecut. Menyesal menyia-nyiakan Aleta yang dengan setia mendampingi dirinya bahkan setia menunggu dirinya agar bisa menerima kehadirannya.
Sosok yang selalu memberikan Alex perhatian dan kasih sayang. Bahkan Aleta rela mengerjakan sesuatu yang bersangkutan dengan Alex. Tak ada yang boleh mengerjakannya. Meski Alex tahu Aleta lelah.
Lalu apa yang Alex lakukan? Lagi—berkali-kali—Alex memberinya kesakitan yang tak berujung.
Dan meminta maaf lagi dan lagi. Dan—lagi—dengan tulus, Aleta memberikan maafnya meski siapa pun yang mendengar itu akan sangat bosan.
Namun tidak dengan Aleta. Dia begitu kuat. Hatinya begitu tulus. Dan Alex dengan sengaja memberikan luka yang kasat mata. Aleta berbeda dan Alex lupa rasa bersyukur untuk mempertahankan apa yang telah di raihnya. Alex lupa seolah dirinya Tuhan bisa membalikkan tangan untuk mendapatkan apa saja. Alex sebajingan itu untuk Aleta yang berhati malaikat.
Alex masih mencerna ucapan Aleta. Kembali terekam bahwa kata-kata itu begitu benar. Alex tak seharusnya seperti ini. Dan juga, Helen bawahannya dan dirinya atasannya. Alex terang-terangan mengijinkan Helen masuk ke dalam ruangannya padahal itu bukan gayanya. Ada apa dengan dirinya? Kenapa Alex seperti ini. Kenapa Alex membiarkan orang merasakan hangatnya dada ini. Kenapa?
Alex mendongakkan kepalanya. Menahan buliran yang akan terjatuh. Mendengar Aleta yang masih terisak pelan menyayat dadanya.
"Maafkan aku Aleta, sungguh. Aku tak memiliki perasaan apa pun padanya. Aku hanya mencintaimu dan akan selalu seperti itu." Alex kembali memeluknya. Namun dengan cepat Aleta melepasnya dan pergi melangkah ke arah keluar.
Alex memandangnya nanar.
Air mata itu jatuh, tanpa komando, dari sudut mata Alex.
Kenapa dirinya begitu bodoh. Kenapa dirinya selalu menciptakan luka untuk Aleta. Untuk hati yang begitu halus dan tulus.
Masih dengan menunggu. Hampir lima belas menit dan Aleta belum kembali lagi. Alex memutuskan untuk mencarinya meski ia tak tahu Aleta pergi ke mana.
Alex mengitari seluruh ruangan dan sudut-sudut dirumah ini. Namun tak ada. Tak ada sosok Aleta yang dirinya cari. Alex kembali melangkah naik dan langkahnya terhenti menangkap sebuah isakan yang di yakini milik Aleta. Mengurungkan niat, Alex membuka pintu kamar tamu dan mendapati Aleta yang meringkuk di atas ranjang dengan bahu bergetar.
Hati Alex kembali teriris. Sekarang lihatlah. Justru dirinya lah yang membuat air mata itu terjatuh. Menorehkan luka tepat di hatinya.
Alex mengusap pelan rambut cokelat Aleta. Tak ada gerakan apa pun atau penolakan seperti tadi.
Alex masih mengingat semua ucapan Aleta. Istrinya bahkan jijik dengan tangannya. Masihkah Alex pantas memegangnya setelah tangan ini tak bisa melindunginya. Air mata Alex kembali menetes.
"Aleta?" panggilnya pelan. Tak ada sahutan. Alex masih terus mengusap rambutnya pelan. Lalu bergegas naik ke atas ranjang dan memeluknya dari belakang.
Bahunya masih bergetar. Alex semakin erat menenggelamkan tubuh mungil Aleta pada dadanya. Seakan-akan keduanya akan menyatu melebur bersama.
"Maafkan aku. Sungguh. Kau boleh memukulku dengan apa pun tapi bicaralah. Aku tak bisa seperti ini," bisik Alex lirih.
Alex tahu Aleta mendengarnya. Dan lagi Alex mengingatnya; Aleta tak mau bersandar pada dada yang menjadi bekas orang lain. Itu terdengar kejam di ingatan Alex. Tapi menepisnya tidak semudah menghapus coretan di papan tulis.
'Tuhan hukum aku sekarang juga. Aku sudah melanggar janjiku sendiri. Aku menyakitinya lagi.' Hanya itu yang bisa Alex gumamkan dalam batin.
"Aku tak bisa jika kau harus pergi. Karena apa? Karena aku begitu mencintaimu sungguh. Aku tak bisa. Dan aku selalu menjadi pengecut di sini. Aku tak bisa jika kau pergi Amora." Alex menyambungnya lagi. Seakan tak pantang menyerah untuk meyakinkan. Namun hatinya juga ciut.
Alex masih terus memeluknya. Memberinya rasa nyaman hingga terdengar suara dengkuran halus. Alex mengecup pipinya pelan dan ikut memejamkan mata. Menghapus jejak air mata yang mulai mengering di sudut mata Aleta. Dan berharap ketika bangun nanti ini akan usai. Meski tak mungkin. Karena luka yang di torehkan terlalu dalam.
"I'm so sorry, Maple. Love you more and more. Like Jack and Rose," bisik Alex.
***
Alex mengerang dan mendapati Aleta yang tak ada di sisinya. Lagi. Seperti tadi pagi.
Hari sudah gelap dan waktu menunjukkan pukul tujuh malam.
Alex bergegas keluar dan mendapati Aleta yang sedang menghidangkan makan malam.
Wajahnya sedikit lebih segar dan wajah cantiknya selalu menghiasi walau tak terpoles bedak sedikit pun.
Alex sangat menyukai wajah polosnya. Juga sifat sederhana yang melekat pada dirinya. Aleta bahkan bukan gadis yang gemar berbelanja atau menghamburkan uang untuk hal-hal yang tak penting.
"Mandilah. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Akan aku siapkan bajumu dalam lima menit." Suruhnya begitu melihat Alex yang berdiri tepat di sampingnya.
Lihatlah. Sikapnya bahkan tak berubah sedikit pun meski Alex sudah menyakitinya. Masih tetap menyediakan keperluan dan apa-apa saja yang menjadi kebutuhan Alex.
Ini membuat Alex sangat merasakan sakit. Sangat.
Melihat kenyataan itu ribuan duri seperti meremas hatinya.
Alex menghiraukan perintahnya dan berjalan memeluk Aleta. Nampak dia menghentikan aktivitas menata hidangan di atas meja.
Beberapa pelayan yang melihat hal ini hanya berdecak kagum. Bagi mereka, yang sang majikannya lakukan ini sangatlah romantis. Alex tak peduli. Ini rumahnya. Ingin berlaku seperti apa pun bukan masalah.
"Maafkan aku," ucap Alex setelah beberapa detik merasakan harum tubuhnya.
"Kau sudah mengatakan ribuan kali jika kau terlupa Alex." Tajam. Jawabannya begitu tajam. Dengan sedikit kasar melepaskan pelukan Alex dan berjalan masuk ke arah dapur. Membawa minuman yang telah di buatnya.
Alex menghela napas lega. Dan berniat menaiki tangga sebelum akhirnya terhenti. "Helen akan datang berkunjung. Dia menelepon keponselmu tadi." Alex diam mematung di ujung anak tangga.
"Pantas Aleta menyiapkan masakan begitu banyak. Dan untuk apa Helen berkunjung." Alex hanya membatin dan tetap terdiam tanpa ada keinginan untuk merespon.
"Kau akan mandi atau hanya diam saja Alex?" Suara Aleta kembali menginterupsi. Alex segera berjalan menaiki tangga mengekor di belakang Aleta.
Kata-katanya masih tajam juga tatapannya sangat menusuk membuat tengkuk Alex merinding.
Cepat-cepat Alex masuk ke dalam kamar mandi dan melihat tubuh Aleta melesak masuk ke ruang ganti.
Meloloskan kaos yang Alex kenakan dan segera berjalan ke arah buth up dengan air hangat yang telah Aleta siapkan. Sedikit meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
Alex memejamkan kedua matanya. Menikmati aroma lavender dan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh.
Sepuluh menit berlalu dan Alex segera membilas badannya di bawah shower. Terasa air dingin yang menusuk masuk membuat tubuh kekarnya merasakan kesegaran.
Alex melilitkan handuk di area pinggang dan berjalan keluar. Mendapati Aleta yang sedang duduk di meja rias.
Bahkan dressnya sudah di ganti. Apa ini karena perlakuannya sehingga Aleta memakai dress seseksi dan sedikit ketat seperti ini?
Jika iya, itu artinya Alex sudah merubah sisi lain dari diri Aleta. Termasuk menorehkan luka di relung hatinya. Alex memang sebejat itu untuk Aleta.
Alex masih terdiam sampai tersadar saat Aleta mengenakan lipstik merahnya lagi seperti kemarin malam.
Itu memang terlihat cantik dan menambah kesan natural pada wajahnya yang memang cantik tanpa polesan. Rambut cokelatnya tergerai bebas.
Alex segera masuk ke dalam ruang ganti dan tak lama di susul Aleta yang dengan sigap memakaikan kemeja yang telah di siapkannya.
Alex perhatikan lebih saksama wajah cantik istrinya. Menangkup kedua pipinya, Alex melumat bibirnya. Hanya sepersekian detik. Tak ada balasan apa pun dari Aleta.
"Kau cantik. Sangat." Alex mengusap sudut bibirnya yang sedikit terkena liur akibat lumatan tadi."Kau selalu cantik dan memukau Aleta." Alex mengecup keningnya lama.
Mengusap punggungnya hampir membuat Alex merasakan gairah.
"Aku benar-benar akan mati jika tanpamu Aleta. Itu benar-benar nyata. Aku tak bisa jika tak ada kau meski hanya beberapa detik. Aku sudah menggantungkan hidupku padamu. Aku sudah terbiasa melakukan apa pun bersamamu. Hanya denganmu," kata Alex lirih sembari menatap kedua bola mata cokelat Aleta. "Aku tak bisa Aleta. Aku tak bisa meski berjauhan sebentar saja denganmu. Kau hal terindah yang aku miliki dari Tuhan. Dan ini. Ini benar-benar hadiah terindah yang membuatku tak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan." Alex mengusap perut Amora lalu berjongkok dan menciumnya. "Hai, little. Kau sedang apa? Mau membuat perjanjian dengan Daddy? Bisakah kau jangan menyakiti Momny dan Daddy akan menjaga Mommy dari sini. Bagaimana?" Alex kembali mencium perut dan kembali menatap Aleta.
"Jangan menangis, kumohon. Maaf, aku menyakitimu terus-menerus." Alex raih Aleta ke dalam dekapan. Terlihat, kedua bola mata cantik milik istrinya sudah berkaca-kaca. Membuat Alex kian teriris. Aleta menangis karenanya. Lelaki macam apa aku ini membiarkan gadisku tersakiti. Batinnya meringis.
Alex melepaskan pelukan dan merapikan riasan Aleta yang sedikit berantakan. Jejak air mata membasahi kedua pipinya.
"Ngomong-ngomong, kau sangat seksi memakai lipstik merah seperti itu sayang. Berkali-kali-kali lipat bertambah seksi." Alex memicingkan kedua matanya dan kembali mencuri cium dari sudut bibir Aleta.
"Aku suka melihatmu memerah Aleta," ucapnya sekali lagi dan mendapat cubitan di pinggang.
"Baiklah. Kau memaafkanku?" Alex melingkarkan tangan kekarnya di sekitar pinggang ramping Aleta.
Aleta mengangguk dan tersenyum tipis. "Aku akan turun sekarang."
"Kau melupakan sesuatu, Sayang," seru Alex sambil menahan lengan Aleta.
"Apa?" tanya Aleta polos dengan kening yang berkerut.
"Kau melupakan soal rambutku." Alex berjalan mendekat dan merengkuh kembali tubuh Aleta untuk ia rapatkan kembali.
"Kenapa kau suka sekali memelukku?" Aleta protes. Tidak tahukah Alex jika mereka seperti perangko.
"Aku merindukanmu Maple," jawaban Alex melenceng dari topik. Tapi akan Aleta coba menyukai apa-apa saja yang menjadi kesukaan suaminya. "Kau terlalu kejam untuk hari ini."
Aleta tersenyum menang. "Selesai," pekiknya girang. "Aku akan turun." Alex mengangguk dan melepasnya. Menghilang dari balik pintu dan pikiran Alex kembali berputar.
Entah kenapa perasaannya kembali gelisah.