Aleta berjalan memasuki sebuah restoran dan memesan beberapa makanan kesukaan Alex.
Ya, tekadnya sudah bulat. Ia akan bertanya pada Alex soal lipstik juga parfum yang menempel pada kemejanya. Hal yang membuatnya harus mengabaikan Alex. Menjawab pertanyaan Alex dengan ketus. Dan bahkan bersikap kasar terhadap suaminya sendiri.
Jika di pikir-pikir lagi, dirinya seperti remaja yang sedang cemburu memergoki pasangannya berkencan dengan gadis lain—tapi itu memang benar, kan? Bukankah wajar seorang istri mencemburui suaminya. Singkatnya, Aleta pernah kehilangan. Pernah tidak diinginkan. Jadi bukan hal aneh ketika dirinya merasa di miliki dan hanya ingin menjaga.
Namun di sini, berbeda cerita. Meski sedikit. Bukankah Alex suaminya? Yang seutuhnya hanya miliknya. Bukankah Alex sendiri yang mengatakan, bahwa apa yang telah menjadi miliknya tak boleh di sentuh atau bahkan di miliki oleh orang lain. Ini poin pentingnya.
Sangat wajar ketika Aleta merasa cemburu karena pelukan hangat yang hanya miliknya di sandari gadis lain. Dan lagi, bukankah hanya parfumnya saja yang boleh menempel pada kemeja dan juga baju-baju milik Alex?
Cinta … bisa sangat serumit ini dan segila ini untuk sang pemilik.
Aleta tersenyum sendiri mengingat hal konyol itu. Sedikit salah paham sangat membuatnya tersinggung. Dan bahkan harus mengabaikan Alex.
Pelayan yang membawa pesanan Aleta segera berjalan dan menghampirinya. Memberi senyum dan bergegas keluar dari restoran.
Aleta memilih berjalan kaki karena kantor Alex hanya beberapa blok saja dari restoran cepat saji ini.
Dengan pakaian santai yang Aleta kenakan, jaket yang sedikit kebesaran di tubuh mungilnya dan celana hitam ketatnya semakin menampakkan kaki jenjangnya menambah kesan seksi.
Tak sampai sepuluh menit, kaki Aleta sudah memasuki gedung pencakar langit yang mewah. Kaki jenjangnya segera memasuki lift dan menuju keruangan Alex dilantai 21.
Memberikan senyum ramahnya, Aleta segera masuk ke ruangan berdinding kaca itu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Aleta bahkan mengabaikan salam hangat dari sekretaris Alex dan hanya memberikan senyum tipisnya.
Nampak Alex sedang duduk di sofa ruangannya dengan santai dan …
Aleta menghentikan langkahnya.
Lagi-lagi kenyataan itu menghantamnya.
Aleta pikir, Alex akan mengkhawatirkan keadaannya karena pergi sejak pagi. Bahkan tak meninggalkan pesan apapun.
Namun yang Aleta lihat berbanding terbalik 180 derajat dari keinginannya.
Bahkan, suaminya itu sedang tertawa bahagia serta menikmati makan siangnya dengan santai.
Bahkan makan siang itu bukan buatan tangan darinya atau pun makanan yang di pesankan olehnya.
Kembali, cairan bening dari sudut matanya mendesak ingin keluar.
Aleta berbalik dan membuang makanan yang akan di berikan oleh Alex ke dalam tempat sampah tak jauh dari meja kerja Alex.
Membuka pintu dan membantingnya keras membuat beberapa karyawan yang melihat hal itu berjengit kaget.
Bahkan membuat dua orang yang berada di dalam ruangan itu menolehkan kepala mereka. Membuat mereka sama-sama melotot.
Aleta segera berjalan dengan langkah lebarnya lantas memasuki lift. Menuju lobby lantai terbawah di gedung perkantoran ini.
Tangannya segera menyetop taxi dan bergegas masuk. Menyebutkan alamat dan menumpahkan air matanya. Menangis tertahan sambil meremas kaos di depan dadanya yang di kenakannya.
Hatinya sakit menyaksikan kejadian yang beberapa menit lalu di saksikannya secara langsung.
Alex tak mencarinya. Tak juga kunjung mengejarnya. Tak mengkhawatirkan keadaannya. Begitukah cinta?
Aleta memukul pelan dadanya. Meredakan sedikit rasa sakit di dalam sana. Yang terasa di timbun berton-ton beban.
Air matanya masih terus jatuh dan tak mau berhenti meski sudah Aleta usap berkali-kali dengan kasar.
Kenyataan lain yang datang adalah karena Alex benar-benar tak mengejarnya. Sepertinya Alex begitu menyukai wanita itu. Wanita yang benar-benar membuatnya tertawa dengan lepas.
Wanita yang semalam bertemu dengannya dan sekaligus karyawan di kantor Alex.
Bolehkah Aleta mengabaikan Alex? Apa itu salah?
Aleta bergegas turun setelah sebelumnya supir memberi tahu bahwa tujuannya telah sampai. Memberi beberapa lembar dolar, Aleta masuk ke dalam rumah dan naik menuju ke lantai dua. Masuk dan meringkuk di ranjang.
Pikirannya kembali melayang. Mengingat semua ucapan-ucapan manis Alex yang sayangnya di percayainya begitu saja.
Lalu, setelah Alex membuatnya terjatuh ke dalam pesonanya dengan begitu mudahnya menghempaskannya kembali. Ke dalam jurang yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.
Aleta menangis. Menangis tertahan. Dan tak ada Alex meski untuk sekedar menenangkannya.
Bahkan dalam kondisi seperti ini pikirannya masih menginginkan Alex.
"Kau bilang kau akan mati jika tanpaku Alex! Kau bilang kau mencintaiku dan tak ingin melepasku sampai kapan pun. Kau bilang kau hanya inginkan aku tanpa peduli wanita lain yang bahkan akan mengejarmu. Dan sekarang?! Kau bahkan menjatuhkanku lagi ke dalam lubang yang sama," racau Aleta lirih.
Samar-samar indra pendengarannya menangkap suara deru mobil yang berhenti.
Aleta meyakini itu mobil Alex. Dengan gerakan santai, Aleta menutup badannya dengan selimut sebatas dada dan segera membersihkan air matanya.
Decitan pintu masih dapat Aleta dengar. Karena matanya hanya terpejam namun telinganya tidak.
Usapan lembut menyentuh permukaan pipinya yang halus seperti sutra.
Hembusan napas menerpa wajah cantiknya. Dan benda lembab yang mendarat tepat di keningnya lama.
"Aku mengkhawatirkanmu. Kau pergi dari pagi. Aku mencarimu di kampus karena aku pikir kau mengajar. Namun tidak. Kau bahkan mematikan ponselmu. Aku sangat khawatir padamu. Sungguh," ucap bariton seksi yang terdengar berat itu.
Tangannya masih mengusap pelan pipi Aleta. "Aku tahu kau datang ke kantor. Membawakan makanan kesukaanku. Terima kasih. Terima kasih selalu memberiku perhatian. Mempedulikanku. Bisakah jangan abaikan aku Aleta?" Suara seksi itu terdengar parau karena menahan tangis.
Alex beranjak dari tepi tempat tidur dan berjalan masuk ke dalam ruang ganti. Melepas kemeja juga celana panjangnya. Menyisakan celana boxernya.
Sejak pagi pikirannya sama sekali tidak fokus pada pekerjaan dan hanya memikirkan Aleta. Setelah mencari istrinya itu tak ada di kampusnya, Alex segera menuju kekantornya.
Bukan bermaksud mengabaikan Aleta. Hanya saja, rapat pagi tadi wajib untuk kehadiran dirinya karena akan menandatangani surat kontrak kerja sama. Yang artinya tak bisa di wakilkan meski kepada Jason sekalipun.
Alex memandang wajah tenang Aleta yang sudah terlelap. Di kecupnya lama kening istrinya itu dan berbaring bersama di samping Aleta. Memeluknya erat dan menenggelamkan wajah tampannya di sela-sela rambut Aleta.
"Aku minta maaf. Tak seharusnya aku memakan makanan dari orang lain. Aku tahu itu menyinggung perasaanmu. Tapi kau hanya salah paham Sayang. Aku tak menyentuh makanan apa pun yang Helen berikan. Tidak! Karena aku tahu itu akan menyinggung perasaanmu. Aku lebih memilih menunggumu dan meyakini bahwa kau akan datang membawakan makanan untukku," bisik Alex yang masih di dengar Aleta. "Lalu kenapa kau membuangnya. Jangan hukum aku seperti ini Aleta. Kau boleh marah padaku. Kau berhak meluapkan semua kesakitanmu tapi jangan hukum aku seperti ini. Jangan abaikan aku, kumohon."
Aleta mendengarnya meski Alex tak menyadari hal itu. Perlahan, cairan bening itu turun lagi. Aleta menggigit kuat-kuat bibir bawahnya untuk menahan isakannnya. Dan merasakan usapan hangat di perutnya.
Selalu seperti itu yang Alex lakukan.
***
"Kenapa kau selalu bisa membuatku menyerah Alex? Menyerah agar tetap kembali padamu meski kau sudah menjatuhkanku." Aleta membatin setelah mendengar semua penuturan Alex.
Perlahan, Aleta membalikkan badannya dan menghadap menatap ke arah kedua bola mata Alex. Melihat Alex tersenyum dan mengulurkan tangannya mengusap rambut cokelat Aleta.
Aleta masih diam tak bergeming. Menatap wajah tampan suaminya yang sendu. Nampak sisa air mata yang sudah mengering.
"Bisa kau jelaskan siapa yang memelukmu? Dan lipstik siapa yang berada dikemejamu?" pertanyaan yang sudah Aleta tahan lolos. Suaranya parau tapi sebisa mungkin ia paksa untuk tegas. Rasanya … entahlah, jika mengingat hal itu air matanya berlomba untuk keluar. Atau efek kehamilan memang sedahsyat ini?
Aleta melihat Alex mengembuskan napas dalam dan menangkup kedua pipi Aleta. "Aku minta maaf," jawab Alex sembari membasahi bibirnya. "Aku tahu ini bukan diriku. Aku tahu karena aku tak mudah menerima orang baru. Tapi malam itu aku melihat Helen menangis dan entah mengapa hatiku tergerak untuk memeluknya. Dan soal lipstik, mungkin itu milik Helen. Maaf. Aku tahu, aku egois. Aku selalu memintamu untuk tak membagi atau memperlihatkan apa yang menjadi milikku kepada orang lain. Namun aku membagi apa yang menjadi milikmu kepada wanita lain. Bahkan orang yang baru aku temui. Aku minta maaf Aleta."
Aleta mendengarkan penjelasan Alex dan kenyataan pahit menghantam dasar hatinya lagi.
Aleta pikir saran Sarah mengandung hal yang benar. Sehingga Aleta memutuskan mengenyampingkan ego dan meminta penjelasan pada Alex. Tapi memang kejujuran selalu menyakitkan. Meski itu jauh lebih baik kenyataan pahit yang semakin meremas hati Aleta.
Ini salah. Bahkan Alex yang mempersilahkan dada bidang itu di sandari wanita lain selain Aleta.
"Kau menyakitiku Alex!" balas Aleta lirih dengan air mata yang terus terjatuh.
"Aku minta maaf. Sungguh. Aku membiarkan orang lain merasakan apa yang menjadi milikmu." Alex terus mengelus pipi Aleta menyalurkan rasa aman di sana.
Sentuhan ini justru membuat Aleta semakin sakit.
Bolehkah Aleta menangis sekarang? Aleta pasti berlebihan karena hormon hamilnya. Sial!
Ini seperti mimpi tapi sayangnya ini benar-benar terjadi.
"Aku memberikan kartu namaku dan memberikan pekerjaan untuknya di kantor. Aku juga sempat mengantarnya pulang dan melihat kondisi keluarganya. Dia terpaksa menjadi penari telanjang di kelab malam untuk membiayai sepupunya yang sakit kanker. Dan kemarin dia datang lalu berbincang sebentar denganku," lanjut Alex yang Aleta tanggapi dengan senyuman kecut.
"Mengobrol dan tertawa bersama, eh? Bukankah begitu Alex?" Aleta menjawab dengan sarkastik.
Di lihatnya Alex membulatkan matanya sempurna dan menggeleng pelan. "Kau salah paham Sayang."
"Katakan padaku di mana letak salah pahamnya Alex?! Kau bahkan tak pernah tertawa seperti itu saat bersamaku. Oh atau saat dulu mengenalku pertama kali. Kau tak terbuka seperti itu." Aleta menaikkan nada bicarannya satu oktaf. Air matanya kembali menetes mendapati kenyataan bahwa suaminya lebih nyaman bersama wanita lain. "Haruskah aku menjadi penari telanjang lebih dulu untuk bisa membuatmu tertawa lepas Alex?"