Chapter 21 - Bab 21

Aleta berjalan menuruni tangga dan berlalu masuk ke arah dapur. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Sejak bangun tadi, Aleta tak melihat keberadaan Alex di kamar ataupun di ruangan lain.

Entahlah. Hatinya belum siap bertemu Alex. Seakan-akan rasa sakit itu kembali menguar. Dan juga, Alex tak menjelaskan sama sekali perihal kejadian siang tadi. Meski Aleta tahu, Alex takkan mengetahui.

Seharusnya Aleta bertanya. Agar tak saling diam dan salah paham. Namun hatinya menolak. Hatinya belum siap menerima kenyataan jika pada akhirnya itu benar.

Akan semakin membuatnya hancur. Menjaga jarak dari Alex mungkin bisa memberinya ketenangan. Agar emosinya tak memuncak dan berakhir dengan pertengkaran. Aleta tak menyukai hal sekecil apapun itu jika sudah menyangkut paut dengan keributan.

Aleta merasakan sebuah tangan kekar memeluknya dari belakang. Menempatkan dagunya pada bahunya.

"Aku tidak tahu kenapa kau mendiamkanku sejak siang tadi," ujar Alex, "jika aku membuat kesalahan, kau bisa mengatakan padaku. Aku minta maaf jika membuatmu kecewa," sambungnya terdiam sejenak dan terdengar helaan napas Panjang. "Kau bahkan hanya meninggalkan kotak makan di meja kerjaku. Tapi kau tak menemuiku. Aku sangat khawatir padamu Sayang. Sungguh."

Aleta terdiam dan masih asik dengan olahan masakannya. Menghiraukan Alex dan berjalan menuju lemari pendingin setelah melepas pelukan suaminya.

Membuat Alex menatap nanar dengan pandangan sayu. Aleta tetap mengacuhkannya dan kembali memasukkan bahan-bahan masakan di atas penggorengan.

"Kita akan makan di luar. Aku ingin bertemu dengan temanku." Ungkap Alex. Membuat Aleta menghentikan aktivitasnya, menatap Alex tajam lantas berjalan keluar dari dapur menaiki tangga menuju kamarnya.

Alex hanya mengekor di belakangnya. Entah ada apa dengan istrinya itu. Sejak siang tadi begitu acuh padanya. Membuatnya bingung.

Aleta masuk ke ruang baju ganti dan keluar dengan beberapa pakaian untuk Alex. Memasangkan kemeja yang telah di pilihnya untuk di kenakan oleh Alex.

Alex diam dan menurut. Memperhatikan wajah cantik istrinya dengan seksama. Jari-jari lentiknya begitu lihai memasangkan satu per satu kancing kemeja yang begitu pas di tubuh atletisnya.

"Aku tidak tahu ada apa denganmu. Tapi kau mengacuhkanku sayang." Ungkap Alex perlahan membuka suara setelah sebelumnya hanya saling diam. "Aku tak suka keadaan ini. Jika aku mengecewakanmu, bisakah maafkan aku?" Alex menggenggam tangan Aleta erat.

Alex masih gigih untuk mencari tahu penyebab apa perubahan pada sikap istrinya itu.

Usai dengan pakaian Alex, Aleta beralih merapikan rambut emas Alex dengan sedikit sentuhan pomade untuk sekedar menatanya dengan rapi.

"Aku akan mengganti bajuku sebentar," jawab Aleta akhirnya tanpa menghiraukan pernyataan maaf atau pertanyaan Alex.

Semakin membuat Alex bertanya-tanya. Namun begitu, lelaki tampan yang menjadi pujaan kaum hawa itu hanya bisa diam lagi dan lagi. Menarik napas sedalam yang dia bisa lalu mengembuskannya lagi.

Mengelus wajahnya kasar, Alex menjatuhkan bokongnya di kepala ranjang sembari menunggu Aleta.

Pikirannya masih di penuhi dengan pertanyaan kenapa dan ada apa hingga istrinya itu begitu acuh padanya.

Bukankah tadi pagi masih biasa saja. Masih mempedulikan dirinya yang hendak pergi ke kantor. Lantas, sepulang dari 'perginya' yang entah kemana itu, perubahan mendadak terjadi pada istrinya.

Apa hormon wanita hamil bisa mengubahnya secepat ini. Bisa saja. Pikir Alex. Akan aku tanyakan pada Mom besok.

Kedua bola mata cokelat madunya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar luasnya dan melotot sempurna melihat tatkala apa yang Aleta kenakan.

Apa lagi sekarang? Batin Alex.

Istrinya itu tak seperti biasanya. Tak biasanya Aleta pergi dengan pakaian seseksi itu. Bahkan terang-terangan memakai dress hitam selutut tanpa lengan.

Dan apa itu?

Benarkah yang Alex lihat ini. Istrinya mengenakan lipstik semerah darah.

Meski menambah kesan anggun juga cantik pada wajahnya, yang bernotaben natural, meski tanpa riasan. Rasanya sangat aneh bagi Alex.

Alex berjalan mendekat ke arah meja rias dan menatap Aleta yang sedang merapikan rambut cokelatnya

Memperhatikan setiap gerakan anggun istrinya dan matanya kembali melotot ketika dress seksi itu memperlihatkan dua benda kenyal, favoritnya, yang hampir saja mencuat keluar.

Alex menelan ludah susah payah. Entahlah, hanya dengan melihat dua benda favoritnya itu gairahnya bisa memuncak seperti ini.

Hanya terhadap Aleta. Meski terkadang Alex melihat pemandangan seperti ini di luar sana, namun jika bersama Aleta, gairahnya benar-benar memuncak.

"Emm … Aleta," ucap Alex pada akhirnya. Setelah terdiam lama. "Dressmu. Kenapa memakai dress seperti ini," sambung Alex setelah mengambil jeda.

Takut-takut membuat Aleta marah atau tersinggung.

Aleta kembali menatap Alex tajam dan membalikkan badannya menghadap Alex.

Aleta menelisik wajah tampan suaminya dan tersenyum miring. "Apa aku tak boleh mempertontonkan lekuk tubuhku?"

Tepat mengenai ulu hati Alex. Ini pertama kalinya Aleta berbicara dengan nada tajam dan jangan lupakan soal senyum miringnya itu. Yang membuat Alex kembali terheran.

"Kau kenapa Sayang? Kenapa sikapmu seperti ini?" Alex menggenggam erat tangan Aleta. Seakan-akan tangan itu sangat rapuh jika tak di genggamnya dengan erat.

"Seharusnya, kau yang kenapa Alex? Kenapa bisa kau membuatku seperti ini!" jawaban Aleta semakin membuat Alex tak mengerti.

"Aku tak mengerti Aleta apa maksudmu. Sungguh."

"Tak mengerti atau hanya pura-pura tak mengerti Alex!" Aleta berjalan kesudut kamarnya dan mengambil tas mungilnya lantas bergegas keluar. "Aku menunggumu di bawah."

Alex masih berdiri mematung di sisi ranjang tidurnya. Memikirkan apa maksud ucapan Aleta.

Seingatnya Alex tak membuat masalah apa pun atau berkata kasar apa pun. Lantas, kenapa sikap Aleta begitu dingin juga acuh padanya.

Bahkan, siang tadi ketika tangannya terulur hendak mengelus pipinya, untuk membuatnya terlelap, seperti biasanya, langsung mendapat penolakan dengan tangkisan.

Dan juga, ketika Alex ingin memeluknya bergelung bersama di alam mimpi, meminta dirinya untuk menjauh.

Hatinya serasa di remas kawat berduri mendapati perlakuan acuh dari istrinya.

Meski tak acuh dalam artian yang sebenarnya. Istrinya itu masih memberikan perhatian lebih dan masih selalu mengurusi keperluannya.

Alex segera tersadar dari pikiran panjangnya dan berjalan keluar. Menuruni anak tangga satu per satu dan menghampiri Aleta yang duduk di sofa ruang tengah.

"Ayo." Tangan Alex terulur ingin menggenggam tangan Aleta. Namun lagi, penolakan secara langsung dari Aleta membuat Alex menatap kepergian istrinya dengan nanar.

Alex bergegas menyusul Aleta yang sudah duduk manis dan matanya nyalang menatap ke depan.

Dengan sabar, Alex meregup kedua bahu Aleta dan menatapnya intens.

"Katakan padaku Aleta. Katakan. Apa pun yang membuatmu seperti ini katakan padaku. Aku tak bisa jika harus mendapat perlakuan acuh darimu. Sungguh, ini sangat menyiksaku."

Aleta hanya terdiam, mengalihkan pandangan matanya. Tak sanggup melihat wajah penuh permohonan yang Alex berikan. Itu kelemahannya.

Namun, ketika ingin bersikap seperti biasa tanpa ada apa-apa yang terjadi, pikirannya melayang tertuju pada bekas noda di kemeja Alex juga soal parfum wanita lain yang melekat pada kemeja itu. Itu bukan parfum dirinya, bukan. Parfumnya tak semenyengat atau bahkan mengundang gairah lelaki lain.

"Aleta," lirih Alex setelah lama terdiam. "Kumohon." Kembali Alex memohon.

Aleta mengembuskan napas dan menatap bola mata Alex. "Ke mana kau semalam Alex?" Tatapan tajam itu masih tetap memandang lurus tepat di mata cokelat madu itu dengan intens tanpa berkedip sedikit pun.

Alex tertegun dengan pertanyaan Aleta. Namun, begitu Alex tetap berusaha untuk tenang. "Aku menemui teman-temanku sayang, di kelab," jawabnya jujur. Memang hal itu benar adanya bukan? Atau jangan-jangan ...

"Kau yakin itu saja?"

Akex kembali terdiam. Mengerutkan keningnya. Pasalnya, hatinya mulai bergemuruh mengingat tak hanya sekedar menemui teman-temannya saja. Namun juga teman baru yang Alex temukan. Haruskah ia mengatakannya pada Aleta ?

Alex menangkap arah pandang Aleta yang masih terkunci tepat di kedua bola matanya. Membuat Alex gugup. Membasahi bibir bawahnya, "Ya. Hanya itu Aleta."

Aleta tersenyum miring. Sekali lagi. Yang membuat Alex merinding dibuatnya

"Baiklah aku percaya padamu Alex."

Alex menyesal. Tak hanya menyakiti namun juga membohongi Aleta. Dan bagaimana jika Aleta tahu bahwa Alex bahkan memberikan pelukan pada wanita lain selain dirinya. Pelukan yang hanya milik Aleta namun di rasakan wanita lain. Wanita yang bahkan baru hari itu Alex temui. Wanita yang belum berselang dua puluh empat jam yang Aleta kenal namun begitu cepat akrab padanya. Bahkan terang-terangan memeluk wanita asing itu. Itu bukan dirinya. Bukankah dirinya tipikal lelaki yang tak mudah menerima kehadiran orang baru?

Alex menyesal. Sangat. Kenapa bahkan berkata jujur saja tak mampu. Lidahnya kelu.

***

Suasana di dalam mobil begitu hening. Tak ada yang saling berbicara dan hanya menikmati kediaman yang di ciptakan masing-masing.

Sesekali, Alex menoleh dan menatap wajah cantik istrinya, yang masih tetap datar, tanpa ekspresi. Namun, tangannya tak berhenti mengusap perutnya yang masih nampak datar itu.

Membuat Alex tersenyum dan terulur untuk mengusapnya.

Memegang tangan Aleta dan mengikuti gerakan halus istrinya itu. Meski Aleta sedikit kaget namun raut wajahnya kembali seperti semula.

"Kapan dia akan tumbuh. Aku sudah tak sabar ingin segera menggendongnya," tanya Alex masih dengan mengelus perut Aleta sedang satu tangannya memegang stir kemudi.

Aleta hanya diam. Tak menanggapi pertanyaan Alex. Hingga mobil berhenti tepat di sebuah restoran Aleta tak berniat untuk menjawab atau bersuara.

Baik Alex mau pun Aleta sama-sama keluar dari mobil dan berjalan beriringan memasuki restoran.

Lengan kekar Alex memeluk pinggang ramping Aleta dengan posesif. Memberi tanda bahwa gadis di sampingnya ini adalah miliknya. Hanya miliknya.

Beberapa tatapan kagum para lelaki yang berada di ruangan itu berhasil Alex tangkap. Bahkan decakan kagum meluncur begitu saja dan menusuk masuk ke dalam indra pendengaran Alex.

"Mereka menatapmu dengan lapar Sayang," bisik Alex tepat di telinga Aleta.

Aleta berhenti dan kembali tersenyum miring. "Apa aku memprotes ketika dada bidang ini di sandari wanita lain selainku Alex?" Tunjuk Aleta tepat di dada Alex.

Alex menegang di tempatnya. Bagaimana Aleta bisa tahu. Bahkan dirinya belum mengatakan apa pun.

"Terkejut, eh?" tanya Aleta sarkastik. "Sekarang tunjukkan di mana meja temanmu itu!" perintah Aleta menuntut. Wajahnya berubah dingin bersama tatapannya yang tajam.

Ini adalah pertama kalinya bagi Alex melihat Aleta bersikap seperti ini. Dan perasaan Alex tidak enak sama sekali.

Alex kembali menormalkan raut wajahnya dan berjalan, masih dengan memeluk pinggang Aleta.

Langkah kakinya terhenti di sudut ruangan yang berada di samping jendela.

Wanita yang duduk dengan anggun di kursi itu menoleh dan memberinya senyuman.

Hal ini membuat Aleta sedikit kaget. Pasalnya, Alex tak pernah mengajaknya bertemu dengan teman wanitanya. Selama dua bulan ini, Alex selalu menjaga perasaan Aleta. Dan tunggu, kedua bola mata Aleta membulat sempurna. Ingatannya kembali pada kejadian siang tadi. Tak salah lagi. Wanita itu yang berada di ruangan Alex siang tadi. Tertawa bersama Alex.

Entah kenapa dadanya seperti di timbun dengan beberapa berat berton-ton yang membuatnya sesak.

Dengan tenang Alex mengajaknya bertemu dengan wanita lain.

Tangan itu terulur menjabat tangan Aleta. Memberi senyum seramah mungkin, Aleta membalas jabatan tangan wanita itu dan duduk di samping Alex. Begitu pun lelaki itu.

"Kau benar-benar cantik Aleta. Bahkan lebih cantik dari yang Alex tuturkan. Pantas saja jika dia tak betah terlalu jauh darimu," ucap wanita itu yang di tanggapi senyuman oleh Aleta.

"Ini Helen, Sayang. Dia teman juga karyawan di kantorku." Alex mengenalkan wanita itu yang langsung mendapat tatapan tajam dari Aleta.

Membuat Alex bergidik ngeri sekali lagi dan hanya bisa melemparkan senyum.

***

Makan malam itu tak benar-benar makan malam untuk Aleta. Bahkan, suaminya terlihat lebih akrab dengan Helen, yang bernotaben teman sekaligus karyawannya di kantor.

Teman tak seperti itu bukan?

Dan haruskah hubungan atasan dan bawahan seakrab ini. Bahkan menghabiskan makan malam bersama.

Bolehkah Aleta curiga sekarang? Aleta sendiri begitu memahami, Alex bukan tipikal lelaki yang mudah menerima orang lain. Bahkan dengan orang terdekatnya, Alex begitu tertutup. Lalu ini?

Mengabaikan keberadaan Aleta, Alex benar-benar terkutuk. Seharusnya, jika ingin makan malam bersama karyawan istimewanya, tidak perlu membawa Aleta ke dalam perbincangan ini.

Tersenyum tipis, Aleta berjalan menuju toilet setelah berpamitan lebih dulu.

Bahkan Alex hanya menanggapinya dengan anggukan kecil. Membuat Aleta merasa tak di butuhkan.

Jika hanya untuk melihatnya tertawa dengan wanita lain tak seharusnya mengajakku. Batin Aleta sambil menatap wajahnya di depan cermin toilet.

Kau menyakitiku Alex. Sambungnya lagi.

Setetes cairan bening meluncur bebas. Ini sudah ke berapa kalinya menangis untuk hari ini. Entahlah.

Aku bahkan tak pernah membuatmu tertawa bahagia seperti itu Alex. Dan lalu, hanya dengan wanita itu kau begitu bahagia. Lagi dan lagi sisi hatinya meraung.

Apa aku tak ada artinya bagimu Alex.

Air mata kembali menetes dari kedua matanya. Menangis tertahan yang bahkan hanya dirinya yang tahu.

Kenapa mencintaimu begitu sesakit ini Alex.

Tangan Amora kembali meremas dress yang di kenakannya. Masih dengan tetap menangis dan bertanya-tanya tanpa ada jawaban pasti.

Aleta segera membasuh wajahnya dan berjalan keluar toilet. Kembali menghampiri meja di mana Alex dan wanita itu berada.

Bahkan kehadirannya tak mengusik sama sekali kebahagiaan yang terpancar dari wajah Alex.

"Kau kenapa sayang. Wajahmu pucat sekali. Apa kau lelah?" tanya Alex setelah lima menit dan baru menyadari jika Aleta sudah kembali. Sembari mengelus pipi Aleta pelan.

Aleta hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Menahan air mata yang sebentar lagi akan meluncur turun.

"Kita pulang, oke." Alex mengalihkan pandangan dan menggenggam tangan Aleta. "Kita akan kembali Helen. Terima kasih untuk makan malamnya." Pamit Alex dan segera berdiri memeluk pinggang ramping Aleta lalu berjalan keluar restoran menuju ke arah mobilnya yang terparkir.

Aleta melepaskan genggaman serta pelukan Alex secara kasar. Berjalan masuk ke dalam mobil dan duduk bersandar mengedarkan pandangan keluar jendela.

Alex hanya menghela napas kasar dan mulai menjalankan mobilnya. Berbaur dengan mobil yang lain memadati jalanan kota Atlanta meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Suasana di mobil tak jauh berbeda seperti saat akan menuju ke restoran. Sunyi. Hening. Dan saling diam.

Ekor mata Alex menangkap sosok di sebelahnya yang hanya terdiam mematung dengan pandangan kosong ke arah luar jendela.

Entah apa yang di lihatnya.

Sosok itu hanya diam. Namun, air mata meluncur keluar dengan bebas tanpa mau berhenti.

***

Aleta akan segera mengganti bajunya dan memakai piama tidurnya lalu berbaring. Badannya lelah karena menangis sejak siang tadi.

Sedang Alex sudah lebih dulu berbaring dan hanya memandang Aleta.

Bahkan kini Aleta tertidur dengan membelakangi dirinya tanpa mau memandang atau meminta pelukan hangat seperti biasanya.

Alex mengelus rambut cokelat istrinya pelan. Mengecup bahunya dan memeluknya erat.

"Good night Maple."