Aleta memasukkan beberapa baju kotor ke dalam ranjang lantas membawanya keluar dari kamar untuk ia cuci.
Hari ini sengaja Aleta mengambil cuti untuk pergi ke dokter kandungan. Itu rutinitas bulanan yang wajib dirinya lakukan setidaknya dua minggu sekali. Sebenarnya satu bulan sekali tak masalah, tapi Alex meminta janji temu dua minggu sekali.
Meski Aleta bahagia melihat sikapnya yang begitu over kesan berlebihan akan tetap dirinya sematkan untuk Alex. Semenjak kejadian dua bulan lalu dan sekarang dirinya tengah mengandung, bahkan Alex rela lebih banyak di rumah ketimbang sibuk dengan urusan kantor.
Aleta mulai memasukkan satu per satu baju ke dalam mesin cuci. Beberapa pelayan sudah menawarkan bantuan dan menyuruhnya agar kembali beristirahat. Tapi Aleta sangat bebal. Ia ltelah terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Selama itu membuatnya nyaman dan tidak membahayakan dirinya.
Sejujurnya Aleta tahu, para pelayan sangat takut dengan amukan Alex jika membiarkan dirinya mengerjakan pekerjaan seperti ini. Padahal ini murni keinginannya juga rutin dirinya lakukan sebelum hamil.
Alex amat berlebihan. Dan Aleta tetap melakukan apa yang harus dirinya lakukan. Menyiapkan sarapan dan makan malam. Sesekali Aleta membawakan makan siang untuk Alex dan pergi ke kantornya. Seperti hari ini. Aleta akan membawakan makan siang Alex kekantornya lalu bergegas ke dokter kandungan.
Lama berkutat dengan pikirannya sendiri, hingga Aleta menyadari ada sesuatu yang matanya tangkap.
Mata cokelat terangnya membulat sempurna. Melihat apa yang dirinya dapati. Noda di kemeja yang sangat Aleta kenali. Kemeja yang Alex kenakan semalam. Aleta ingat, karena dirinya yang selalu memilihkan baju apa saja yang akan Alex kenakan. Entah hanya untuk keluar atau bersantai di rumah. Atau bahkan untuk pergi ke kantor. Aleta selalu menyediakan semua keperluannya.
Mendadak bayangan lalu berkelebat. Ulu hatinya tertohok sempurna. Tak salah lagi. Perasaan Aleta tak salah. Ini yang dirinya rasakan semalam sampai kedua matanya tak bisa terlelap dan memilih menunggu Alex pulang.
Aleta tak percaya ini. Noda ini tercetak jelas tepat berada di dada bidangnya. Itu artinya, semalam ada wanita lain yang memeluk Alex. Berarti parfum yang semalam Aleta hirup ketika dirinya memeluk Alex nyata adanya.
Warna lipstik ini bukan milik Aleta. Ia selalu mengenakan lipstik dengan warna natural atau paling tidak yang setara dengan warna bibirnya. Dan ini jelas bukan miliknya.
Aleta tak percaya ini. Jadi ini alasan Alex pulang larut dan membuatnya menunggu.
Lalu apa artinya perhatiannya selama ini jika dia masih mencari kesenangan dari wanita lain.
Air mata Aleta luruh begitu saja tanpa di komando. Kedua kakinya terdiam tak dapat bergerak. Aleta memukul pelan dadanya agar sesak yang ia rasakan berkurang. Namun nyatanya malah semakin sesak.
Aleta terduduk sambil menenggelamkan kepala pada kedua lututnya.
Beberapa pelayan berjalan mendekat dan mencoba menenangkannya. Aleta tetap menangis tanpa menghiraukan mereka. Bahkan, Trisya, kepala pelayan di rumah sempat ingin menghubungi Alex.
"Jangan hubungi Alex, Trisya." Cegahnya cepat. Trisya diam dan mengangguk. "Tinggalkan aku. Biarkan aku sendiri. Lanjutkan pekerjaan kalian." Para pelayan kembali berjalan dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda sesuai dengan perintah Aleta.
Aleta masih terduduk sampai lima menit berlalu. Masih dengan memandang ke arah kemeja milik Alex. Ia tak mempercayai ini. Pukul tubuhnya jika ini hanya mimpi. Agar Aleta segera terbangun. Namun ini nyata. Bukan mimpi. Ini benar-benar nyata.
Aleta tersenyum miris. Sekali lagi dirinya di hempaskan. Sekali lagi dirinya di jatuhkan bahkan sangat dalam. Aleta pikir, ucapan cintanya selama dua bulan ini benar adanya. Aleta pikir semua yang dia lakukan karena memang benar mencintainya. Aleta pikir selama ini, Alex benar-benar miliknya. Yang bahkan orang lain tak boleh memiliki apa yang menjadi miliknya.
Namun pelukan hangat yang menjadi miliknya harus di rasai orang lain juga. Apakah itu adil?
Kedua bola mata Aleta kembali memanas. Sambil masih terus meremas kaos yang dirinya kenakan. Menyalurkan rasa sakit agar sedikit berkurang.
Aleta kembali berdiri setelah merasa lebih tenang. Mengusap perut datarnya, Aleta tersenyum. Setidaknya nyawa yang sedang berkembang dalam perutnya akan menguatkannya.
"Kau tak perlu khawatir sayang. Mommy akan selalu bersamamu. Cepatlah besar," ucapnya lirih dan berjalan menapaki anak tangga menuju kamarnya.
Aleta bergegas mengganti baju santainya dengan dress selutut. Sesekali matanya melirik jam di atas nakas. Pukul sebelas siang. Sebentar lagi waktu makan siang. Aleta sudah menyiapkan makanan untuk makan siang Alex. Setelah itu akan ke dokter kandungan.
Usai dengan dress dan merapikan riasan di wajahnya, Aleta berjalan keluar kamar dan membawa kotak makan yang sudah dirinya siapkan dari tadi.
***
Aleta berjalan masuk dan memasuki lift menuju lantai 21. Lantai di mana ruangan Alex berada. Nampak di sampingnya berdiri beberapa karyawan Alex dan memberi senyum ramah pada Aleta.
Aleta balas tersenyum seramah yang dirinya bisa. Meski merasa canggung jika harus datang ke kantor Alex. Entah apa alasannya, yang pasti beberapa pandangan mata yang menatapnya membuat Aleta sedikit bergidik ngeri.
Beberapa pandangan iri selalu Aleta dapatkan. Sempat Aleta dengar, bahwa ia sangat beruntung memiliki suami seperti Alex. Tak hanya kaya, namun juga tampan dan mapan. Membuat mereka selalu mengelu-elukan namanya.
Sebenarnya Alex ingin menjemput hanya saja Aleta memaksa untuk menemuinya di kantor. Dan ya, dengan sedikit rayuan, Aleta tahu Alex akan luluh. Meski harus dengan syarat membuatkan makan siang untuknya. Aleta tak keberatan. Toh itu sudah menjadi tugas juga kewajiban Aleta.
Dentingan lift membuat Aleta tersadar dan kembali pada kenyataan. Menyadari jika lift sudah berada dilantai 21, Aleta segera berjalan ke luar.
Menghampiri meja sekretaris Alex, yang terletak tepat di depan ruang Alex.
"Apa Alex ada, Kay?" Aleta bertanya langsung pada gadis berambut merah kecokelatan itu.
"Tuan Alex ada diruangannya, tapi ..."
"Terima kasih." Aleta memotong ucapan Kay dan langsung masuk membuka pintu kaca itu tanpa mengetuknya terlebih dulu.
Hal pertama yang Aleta dengar adalah suara tawa seorang lelaki juga wanita. Suara lelaki itu sangat tidak asing untuk indra pendengarannya. Namun suara tawa wanita itu. Aleta baru pertama kali ini mendengarnya.
Aleta mengedarkan pandangannya. Di ujung ruang yang bersekat dengan ruang kerja Alex. Duduk berdekatan di sofa dan terlihat akrab.
Aleta tak pernah melihat Alex seakrab ini pada orang. Wanita itu bukan klien atau rekan bisnisnya. Aleta tahu, karena jika klien, Alex akan membawanya ke ruang rapat. Bukan malah ruang kerjanya.
Dada Aleta bergemuruh. Melihat orang lain menikmati senyum dan tawa lepas milik Alex.
Bahkan dulu, Alex tak seperti itu padanya. Tak seakrab itu padanya. Kedua bola mata Aleta memanas. Aleta meletakkan kotak makan yang sudah ia siapkan dan berjalan keluar. Membanting pintu keras. Membuat Kay berjengit kaget.
***
Aleta kembali pulang setelah usai pergi ke dokter kandungan sendiri dan mengabaikan semua panggilan masuk dari Alex. Aleta tak peduli.
Hatinya masih terasa sakit mendapati fakta bahwa Alex bersama wanita lain semalam lalu hari ini dia tertawa lepas dengan wanita yang Aleta sendiri tak tahu siapa. Begitu akrab dan dekat. Bahkan kehadiran dirinya di ruangannya tak di hiraukan sama sekali.
Kembali, bola mata Aleta memanas. Aleta kembali menangis. Lagi. Entah sudah ke berapa kalinya ia menangis untuk hari ini.
Aleta merasakan lelah. Kakinya pegal. Dan keinginan untuk segera menghempaskan tubuhnya di atas ranjang semakin mengitari otaknya.
"Kau dari mana Aleta? Kenapa teleponku tak kau angkat?" Sebuah suara yang sangat Aleta kenal terdengar.
"Keluar!" Aleta mengusir Alex tanpa peduli letak sopan santun. Kedua bola matanya menatap penuh benci. Ia malas bertatap muka dengan Alex apa pun alasannya.
"Kau tadi datang ke kantor?" Namun Alex keras kepala dan memilih berjalan di belakang Aleta yang menaiki tangga. Aleta tak menjawab dan mempercepat langkahnya. Cepat-cepat mengganti dressnya dan merebahkan diri di Kasur. Berharap Alex akan pergi atau berhenti.
"Aku tidur."
Alex menyingkir, terdiam mematung begitu melihat tubuh Aleta yang tertutupi selimut.
"Apa kau sakit?" Alex masih berusaha. Di dudukkannya tubuhnya tepat di samping Aleta dan memijat pelan kaki istrinya. "Bagaimana dengan janji temunya?"
"Aku membatalkannya," jawaban Aleta terlampau ketus. Membuat Alex bertanya-tanya: apa yang salah dari dirinya?
Aleta membuka matanya sedikit. Melihat kebingungan di wajah Alex yang nampak santai seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Aleta menjerit—dalam hati. Kenapa? Kenapa dengan mudahnya Alex mengusik jiwanya, membuat dirinya masuk kedalam pesonanya lalu menghempaskannya jauh lebih dalam lagi.
"Baiklah. Aku akan pergi mandi."
Aleta menangkis tangannya yang hendak mengelus pipinya. Ia tahu kebiasaan itu, hal yang sering Alex lakukan agar dirinya segera terlelap.
Namun alih-alih merasa senang, Aleta justru sangat jijik. Jijik dengan sentuhan Alex juga muak dengan semua ucapannya.