Chapter 19 - Bab 19

Hubungan Aleta dan Alex semakin membaik. Terlebih setelah dua bulan meninggalkan Hat Yai dan kembali ke Atlanta. Kota di mana Alex menghabiskan masa kecilnya.

Alex mengurus kembali beberapa cabang baru di Atlanta dan Aleta memilih mengajar di salah satu Universitas. Alex tak melarangnya. Itu cita-cita juga karena Aleta nyaman menjalani semuanya.

Alex tak hentinya mengucap syukur pada Tuhan. Terlebih setelah Alex mengetahui Aleta sedang mengandung buah cinta mereka. Walau masih berumur empat minggu. Hal ini membuat Malle tak henti mengomel pada Alex untuk selalu menjaga Aleta. Menuruti semua keinginan pada masa fase mengidam yang bisa saja membuat suami menggila.

Rasanya kebahagiaan tak henti-hentinya menghampiri Alex. Alex mulai membatasi diri mengurus pekerjaan kantor dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Aleta di rumah.

Alex bahkan menyerahkan sebagian pekerjaan kantor pada Jason dan asistennya. Ah ya, ngomong-ngomong soal Jason. Pamannya itu memilih pindah ke Atlanta setelah bisnis perusahaan milik Jeremy, ayah xander juga kakak Jason berkembang pesat. Bersama istrinya, Sarah dan putranya Arthur. Memang, sebagian aset juga saham RG ada hak untuk Jason juga putranya yang baru berumur satu tahun itu. Baik Alex maupun Jason sama-sama tak mempermasalahkan itu. Bukankah perusahaan itu atas nama juga jerih payah Jeremy. Alex dan Jason hanya mencoba mengembangkannya dengan baik saja.

Sekarang, Jeremy hanya duduk di balik layar dan menikmati semua kerja kerasnya selama bertahun tahun. Beberapa kantor cabang yang ada di negara bagian di handle oleh orang-orang kepercayaan Jeremy juga sepupu lainnya.

Namun begitu, Jeremy selalu menegaskan pada Alex bahwa perusahaan RG tetaplah milik Alex seutuhnya. Akan tetap jatuh pada Alex bahkan nanti pada anak-anaknya.

Rasanya Alex tak bisa berlama-lama jauh dari Aleta. Alex juga memberi tahu Aleta untuk mengurangi jam mengajarnya. Alex tak ingin membuatnya terlalu lelah.

Sifat keras kepalanya untuk selalu mengurus segala keperluan Alex sendiri membuat Alex harus ekstra sabar dalam menghadapi masa pada tahap awal kehamilannya ini.

Bahkan, entahlah kenapa, setiap melihat Aleta hanya mengenakan baju tidur tipisnya membuat Alex tak bisa menahan gairah. Terkadang hanya dengan gerakan halus atau sentuhan jari lentiknya pada dada bidangnya mampu membuat gairah Alex memuncak. Entah Aleta menyadari hal ini atau tidak, atau memang sengaja menggodanya, sungguh hal ini menyiksa Alex.

Dan juga, jangan lupakan soal dua benda kenyal yang menjadi favorit Alex kini. Nampak terlihat sedikit berisi. Membuat Alex tak bisa menahan untuk memegangnya.

Alex kembali memfokuskan pikirannya pada jalannya rapat ini. Dirinya merindukan Aleta. Ini bahkan masih pukul dua siang. Dan Alex sudah sangat ingin kembali ke rumah.

Ah sungguh, Alex tak bisa menahan sekarang. Alex ingin segera pulang. Berdeham pelan pada Alex, asistennya, Alex menghentikan aktivitas memimpin acara ini. Yang sedang menyampaikan beberapa presentasi.

Alex mendekat, Alex membisikkan sesuatu tepat ditelinganya. "Kau bisa melanjutkan ini sendiri? Sepertinya aku harus kembali. Aleta membutuhkanku," ucapnya beralasan dan ditanggapi dengan anggukan dari Alex.

"Baiklah Tuan. Aku akan berkunjung petang nanti membawa beberapa dokumen."

Alex bergegas keluar dari ruang rapat dan langsung berlari menuju basemen di mana mobilnya berada.

***

Alex berjalan masuk dan segera berlari menuju ke lantai dua. Di mana kamarnya dan Aleta berada.

Terengah, Alex melihat gadis cantik itu terlelap di atas ranjang. Alex tersenyum dan berjalan mendekat. Mengelus pipi putihnya juga mengecup dahinya singkat.

Alex melepas kemeja yang di kenakannya dan berbaring di samping Aleta. Memeluknya dan menyatu bersamanya di alam mimpi.

Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aleta dan menghirup aroma dalam-dalam wangi rambutnya.

***

Aleta merasakan pergerakan halus dari seseorang dalam dekapannya.

"Alex?" panggil sebuah suara yang menyusup ke dalam gendang telinganya. Alex hanya tersenyum. "Kapan kau kembali?" sambungnya lagi yang terdengar parau khas bangun tidur.

"Beberapa jam yang lalu Sayang. Aku merindukanmu. Sangat" jawab Alex. Alex memang merindukan Aleta. Mendengar jawaban Alex kedua pipi Aleta panas mendadak. Membuat Alex gemas sendiri dengan respon Aleta.

"Kau tak ingin mandi?" tanyanya menawarkan. Alex mengangguk. "Akan aku siapkan air hangat untukmu." Aleta turun dan masuk ke kamar mandi.

Melihat Aleta berjalan, membuat Alex kembali merasakan gairah. Ada yang ingin dirinya lakukan dan pelepasan yang sangat dirinya butuhkan.

Alex segera menyusulnya. Memeluknya dari belakang dan memberikan kecupan-kecupan di sisi leher jenjangnya.

"Aku menginginkanmu Aleta. Bolehkah?"

Aleta diam, tapi alex5 tahu jika aketa5 tak bisa menolaknya. "Alex?" Alex mengabaikan seruannya dan langsung melumat bibir Aleta rakus. Memperdalam ciuman yang menuntun dan penuh gairah ini.

Tangan Alex menyusup masuk ke dalam tshirt yang dikenakan Aleta. Mengusap punggung mulusnya dan melepas pengait branya.

Erangan tertahan lolos dari celah bibir Aleta disela-sela ciuman panas keduanya. Alex tersenyum dan semakin melumat habis bibir mungil Aleta.

Alex menurunkan ciumannya ke area leher jenjangnya dan sedikit meremas dua benda kenyal kesukaannya secara bergantian.

Desahan Aleta semakin membuat Alex bernapsu untuk memperdalam permainan ini.

Dan layaknya jack pot, Alex mendapatkan Aleta lagi malam ini.

***

Acara mandi sore itu berakhir dengan keringat yang bercucuran dari tubuh Alex mau pun Aleta. Alex menyeka keringat yang turun membasahi pelipis Aleta dan mengecupnya lama.

"Apa aku menyakitimu Sayang?" tanyanya masih dengan napas yang terengah-engah.

"Tidak." Alex mendengar jawaban lirih juga pelukan yang hangat menjalar pada seluruh bagian tubuh Alex.

"Kita mandi, oke." Ajak Alex dan langsung menyalakan shower setelah sebelumnya berendam.

Alex menggosok bagian punggung Aleta perlahan. Menuangkan sabun dengan aroma jeruk juga lily yang menjadi kesukaan Aleta. Hal itu juga dilakukan Aleta pada Alex.

***

"Ah ya Sayang. Aku hampir lupa. Aku akan menemui teman-temanku nanti. Kau ingin ikut?" tanya Alex sambil masih memfokuskan pandangannya tepat di wajah cantik Aleta. Jari lentiknya dengan terampil mengancingkan kancing pada kemeja abu-abu Alex.

Alex tersenyum—merasa sangat suka cara Aleta memperhatikan dirinya meski dengan cara sederhana ini.

"Tidak. Aku lelah." Alex mengerutkan dahinya. Suara Aleta sedikit serak.

"Kau sakit?" Alex bertanya sembari menangkupkan kedua tangannya di pipi Aleta lalu melumatnya pelan.

"Tidak Alex. Sungguh. Kau ingin makan apa. Akan aku siapkan."

"Spagetti saja."

Aleta berjalan keluar dan menuju ke dapur. Alex hanya mengekor di belakangnya. Beberapa pelayan membantu Aleta di dapur. Alex hanya duduk di meja makan dan memainkan ponselnya.

"Kau terlalu sering meninggalkan kantor. Apa tak masalah?" Alex mengangkat wajahnya dan menatap Aleta lalu tersenyum.

"Tidak masalah Sayang. Jason menghandlenya dengan baik. Dia paling bisa diandalkan untuk saat ini. Jeremy akan mengomel jika aku terlalu sering di kantor," jawabnya sambil mulai menyendok spagetti yang dibuatkan Aleta. "Kau tak makan sayang?" Alex tak melihat apa pun di depan mejanya—selain miliknya dan potongan buah juga orange juice.

Alex melihat Aleta menggeleng. "Aku mual jika makan yang lain," ucapnya seraya mengambil beberapa potongan buah di atas piring.

Alex mengangguk. "Jangan lupa minum susumu. Aku akan pergi sekarang. Jangan tidur terlalu larut." Alex mengecup kening Aleta lantas pergi melangkah keluar. Menjalankan mobilnya dan menyusuri jalanan komplek mewah yang mulai sepi.

Melirik jam dipergelangan tangan kirinya pukul delapan malam. Wajar, jika orang-orang lebih suka berada di dalam rumah.

***

Bau alkohol menyeruak masuk menyusup indra penciuman Alex. Bergegas masuk, Alex menghampiri beberapa teman semasa sekolahnya dulu di sudut ruangan yang ada di kelab.

Terhitung sudah lama sejak menikah dan ini untuk pertama kalinya Alex kembali menapakkan kakinya ke dalam kelab lagi.

Memberi tos juga pelukan singkat kebeberapa teman-temannya, Alex melihat pada hobi mereka yang tidak pernah berubah. Sama gilanya dengan masa sekolah dulu.

Mabuk dan bermain dengan wanita di dalam kelab ini. Alex mengedarkan pandanagn dan melihat Samuel yang sudah mabuk bersama wanita yang duduk di atas pangkuannya. Alex tersenyum miring melihat tingkahnya. Umurnya tak jauh berbeda dengan dirinya bahkan istrinya sudah melahirkan dua anak untuknya namun kebiasaan buruknya tak pernah berubah.

Alex mengakui, dirinya bukan lelaki suci yang tak menyukai seks bebas. Ia hanya lebih menghindarinya. Sesama sekolah dulu terbilang hanya beberapa kali dirinya melakukan seks, itu juga hanya dengan kekasihnya. Amerika bersama seksnya sangatlah bebas dan luas.

Namun begitu, Alex sangat bersyukur, karena Aleta bukan seperti kebanyakan wanita yang dirinya temui. Mudah dirayu atau hanya diberi janji. Justru Aleta sangat tekun akan ibadah. Dan hasilnya, Alex sangat bersyukur soal mendapatkan dan mencintai Aleta.

Alex mengulas senyum bahagia.

Kembali kedua matanya mengedar keseluruh isi kelab. Lautan manusia sudah menggila di bawah sana. Beberapa pasangan muda saling bersentuhan juga menggerayangi satu sama lain. Terlebih, ketika DJ mulai memutar musik dengan keras. Mereka semakin menggila.

"Kau tak ingin bergabung?" Alex menoleh tatkala mendengar sebuah suara juga tepukan pelan pada pundaknya.

"Tidak," jawabnya santai dan tersenyum. Alex tak berminat melakukan apa-apa.

Dan entah sejak kapan, rasa bersalah mulai menggelitiki sisi hati terdalamnya. Alex semakin merasa bersalah pada Aleta. Harusnya Xander tak perlu datang ke tempat ini. Bukankah bertemu lain waktu dengan tempat yang lebih nyaman bisa dirinya lakukan kapan saja. Toh, Alex sudah menetap di Atlanta. Lantas, kenapa otaknya dengan sadarnya malah menyetujui pertemuan sialan ini.

Alex menyesal sekarang. Ia tak berpikir panjang dulu. Aleta sendiri di rumah dengan kondisi hamil dan dirinya malah duduk santai menikmati pemandangan ini. Pemandangan yang kapan saja bisa membuat gairahnya memuncak.

Alex lelaki dewasa yang normal.

Mata Alex menangkap sosok penari telanjang yang sedang meliukkan badannya. Membuatnya menelan ludah. Tak di pungkiri jika Alex menikmati tubuh seksinya. Meski ia tahu, tubuh itu terlalu sering dijamah para lelaki. Tapi tetap saja membuat gairahnya sedikit memuncak.

Alex tahu, meski sebagian orang menganggap bahwa tarian itu sangat panas, justru pandangan mata Alex menangkap sirat kesedihan dan rasa terpaksa melakukan tarian itu.

Ini terdengar sedikit aneh. Alex tak biasanya peduli pada orang atau kondisi sekitar. Namun kali ini, sisi hatinya tersentuh hanya dengan sirat kesedihan yang terpancar pada wanita yang Alex sendiri tak ketahui siapa namanya.

Alex mengalihkan pandangan dan berjalan ke arah toilet. Menerobos keramaian.

***

"Ini bayaran untukmu malam ini Helen. Kerjamu bagus. Kuharap kau semakin liar dalam menari."

Indra pendengaran Alex menangkap sebuah suara yang berada di luar toilet. Ia bergegas berjalan keluar. Dapat dirinya lihat pria paruh baya yang memberikan amplop pada wanita bernama helen itu telah pergi. Yang terlihat kini hanya wanita yang hanya duduk sendiri disisi ujung toilet. Alex meliriknya sekilas dan berlalu pergi.

Namun, belum lama kakinya melangkah, suara isakan membuatnya terhenti. Alex membalikkan badan dan melihat wanita itu memeluk lututnya. Mencoba meredam isakan tangisnya agar tak semakin terdengar.

Dengan santai, Alex kembali berjalan menghampiri wanita itu dan berdiri tepat di depannya. Dia belum sadar akan kehadiran Alex karena wajahnya tenggelam diantara lututnya.

Tangan Alex terulur untuk mengusap bahu telanjangnya. Membuatnya mendongakkan wajah kusutnya yang basah karena air mata. Bahkan make up yang dikenakannya sudah sangat berantakan.

Wanita itu menatap Alex lama. Alex tersenyum. "Kau nampak tak baik," kata Alex pelan. Masih dengan mengusap bahu telanjangnya menyalurkan rasa tenang untuknya. "Aku Alex. Jika kau butuh pekerjaan kau bisa datang ke kantorku. Ini kartu namaku." Alex mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya dan memberikan pada wanita itu.

Lama bergeming, tangannya mulai terulur menerima kartu nama yang Alex berikan. Dengan senyuman yang sedikit kaku. Mencoba mencairkan suasana, Alex duduk tepat di sampingnya membuat jarak keduanya tiada bertepis.

"Terima kasih Mr ..."

"Panggil aku Alex," selanya cepat. "Dan kau. Siapa namamu?" Alex sebenarnya sudah tahu karena tidak sengaja mendengarnya tadi.

"Helen. Aku Helen. Terima kasih untuk kartu namanya."

"Aku bisa memberimu pekerjaan yang lebih layak untukmu. Aku tahu, kau tak nyaman dengan pekerjaan ini."

"Terima kasih."

Alex terdiam. Wanita itu juga terdiam. Tak ada yang ingin memulai meski untuk sepatah dua patah kata.

Lima menit berlalu, Alex menolehkan kepalanya tatkala mendengar suara isakan tepat disebelahnya—lagi.

Entah apa yang membuatnya menangis lagi. Alex memiringkan badannya dan membawanya masuk ke dalam dekapannya. Dapat Alex rasakan tubuh Helen yang sedikit menegang karena perlakuannya.

"Tenanglah. Semua masalahmu pasti akan teratasi." Alex mengusap punggungnya yang terbuka.

Alex tidak tahu pasti kenapa melakukan ini. Hanya saja, bentuk refleks yang bisa Alex lakukan saja. Sejujurnya, perasaan bersalah terus menaungi. Rasa-rasanya, ia tipikal pria egois dan posesif yang benci ketika miliknya di sentuh orang lain. Tapi dengan sikapnya mala mini, Alex sangat tahu sedalam apa kebrengsekan dirinya sendiri.

Dalam keadaan sadar Alex memberikan pelukan pada wanita lain. Dengan sengaja Alex menorehkan luka tak kasat mata pada Aleta, lagi.

Ibaratkan seperti ini, istrinya menunggu di rumah dan dirinya malah bersenang-senang dengan wanita lain.

***

Alex berjalan masuk dengan santai setelah mengantar Helen pulang ke rumahnya. Ah bukan, tapi lebih tepatnya rumah sepupunya. Wanita itu sudah menceritakan padanya, alasan mengapa menerima pekerjaan ini. Wanita itu butuh uang juga biaya besar untuk pengobatan sepupunya yang mengidap sakit kanker.

Beberapa lampu sudah dimatikan. Hanya lampu-lampu kecil yang menyala. Alex berjalan menuju ke arah tangga. Namun samar-samar Alex kembali menoleh dan mendapati suara televisi menyala dengan kondisi pencahayaan minim. Alex kembali melangkah menuju ruang tengah sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Setengah dua belas malam. Ini hampir tengah malam dan entah siapa yang masih melihat acara televisi selarut ini. Para pelayan tidak mungkin menonton di sini karena fasilitas untuk mereka sudah tersedia secara khusus di ruangan yang berbeda. Kecuali …

Alex menggantungkan kalimat terakhirnya. Hatinya mencelos melihat siapa yang tengah duduk dengan tenang disofa empuk itu.

Perasaan bersalah semakin mengakar dalam hatinya. Meremasnya perlahan. Alex sungguh sangat bodoh sekarang. Alex meninggalkannya dan lihatlah, dengan setianya istrinya menunggunya untuk pulang.

Alex menahan butiran bening yang mendesak ingin keluar.

Alex selalu mengatakan bahwa ia sangat mencintai juga tak ingin kehilangannya, tapi kini justru ia yang menorehkan luka di dalamnya. Alex selalu mengatakan bahwa ia bisa saja mati tanpanya atau dia yang membuat meninggalkannya, namun lagi-lagi Alex menaburkan luka.

"Aleta?" panggil Alex pelan dan membuatnya menoleh seketika. Wajahnya terlihat sayu menahan kantuk namun senyum manis tetap tersungging di wajah cantiknya. Sungguh, itu membuat hati Alex semakin sakit dan rasa bersalah menjalar menggerogoti hati kecil Alex. "Kau belum tidur?" Alex berjalan mendekat dan mengecup keningnya singkat.

"Alex? Kau sudah pulang. Aku tak mendengar suara mobilmu."

Akex mengangguk pelan. "Kenapa belum tidur? Kau tahu, udara malam tak baik untuk kesehatanmu juga bayi kita." Alex mengelus perut ratanya. Di dalam sana telah tumbuh seorang bayi—yang tidak pernah Alex bayangkan sebelumnya. Alex tersenyum.

"Aku menunggumu," jawaban singkat Aleta semakin meremas relung hati Alex.

Istrinya menunggunya. Dan dirinya justru bersenang-senang dengan wanita lain—meski tidak dengan artian demikian. Alex terdiam. Suaranya hilang entah ke mana. Hantaman keras masih menelisik di dadanya. Kedua matanya memancarkan sorot yang Aleta sendiri takt ahu apa artinya.

Mengembuskan napas beratnya, Alex ulurkan tangannya membawa Amora ke dalam dekapannya. Menumpukan dagu pada kepala Aleta, sensasi lembut aroma rambut memberinya ketenangan. "Kau tak seharusnya menungguku," kata Alex pelan takut menyinggung perasaannya. Dapat Alex rasakan pergerakan tak nyaman wajah Aleta yang mendadak mengendusi aroma kemeja Alex.

"Alex, kau …" kalimatnya tertahan. Bersamaan dengan itu Alex melepaskan dekapannya.

"Kita tidur. Ini sudah larut. Besok, aku akan menemanimu ke dokter."

Aleta mengangguk dan tersenyum tipis. Wajahnya seperti menahan sesuatu tapi enggan untuk di ucapkan. Alex menggenggam tangannya dan mengajaknya berjalan naik ke atas menuju ke kamar.

Alex berbaring dan merengkuh tubuh mungilnya dalam pelukannya.

"Good night, Maple," bisik Alex tepat di telinga Aleta dan memberikan kecupan di sudut bibirnya.