Chapter 18 - Bab 18

Aleta terbangun dan mendapati sosok tampan masih terlelap di sampingnya. Dengan gerakan pelan Alex mengusap rahang kokohnya yang menambah kesan tegas. Memandangi sosoknya lama dan tersenyum kecil.

Melirik waktu yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Aleta bergegas turun dan melesak masuk ke kamar mandi. Membiarkan air dingin menyatu dengan kulit mulusnya. Dua puluh menit dan cukup membuat Amora merasa kembali segar. Melilitkan handuk pada tubuh polosnya dan berjalan keluar. Melihat sosok itu masih terlelap terdengar dari dengkuran halusnya.

Keduanya kembali terlalu larut semalam. Setelah melihat acara film di teater terbuka yang usai tepat pukul sebelas malam. Dan baru sampai ke apartemen tengah malam.

Aleta berjalan masuk ke arah ruang ganti. Mengenakan cardigan juga celana panjang. Aleta tak menyukai pakaian yang ketat juga mencolok. Entahlah, ia merasa tak nyaman dengan hal itu.

Mengusapkan sedikit bedak pada wajahnya dan keluar menuju dapur. Hari ini ia akan kembali mengajar setelah dua hari menikmati libur. Beruntung karena siang nanti Aleta bisa kembali. Setidaknya, Alex tak akan merasa bosan.

Aleta membuka lemari pendingin dan mengeluarkan beberapa bahan yang akan ia masak.

Omelet dan sandwich untuk Alex.

"Pagi," sapa sebuah suara. Aleta menoleh ke belakang, mendapati Clara yang masih berantakan dengan gaun tidurnya.

"Pagi," balas Aleta dengan senyuman.

"Kau pulang larut semalam Aleta," tanya Clara sambil meraih air mineral di atas meja.

Aleta mengangguk dan kembali berkutat dengan olahannya. Tak membutuhkan waktu lama semua masakannya sudah tersaji rapi di atas meja.

"Kau mandilah Clara. Sungguh bau badanmu itu sangat menyengat," ejekan Clara yang langsung mendapat decakan sebal dari bibir Clara.

Namun begitu Clara tetap masuk ke kamarnya. Menggelengkan kepala pelan Aleta mulai berjalan meninggalkan meja makan dan masuk ke kamar.

Ranjang itu kosong dan rapi. Aleta sudah tak mendapati Alex yang pulas di atas ranjang. Samar-samar Aleta mendengar gemericik air dari dalam kamar mandi.

Berjalan masuk ke ruang ganti, Aleta menyiapkan pakaian yang akan Alex kenakan.

Sebuah lengan kekar memeluk tubuhnya dari belakang. Harum maskulin dari tubuh Alex menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Aleta. Membalikkan badan, Aleta menatap Alex sembari tersenyum.

"Kenapa tak memanggilku. Aku bisa menyiapkan air hangat untukmu mandi." Aleta lungsurkan kemeja dan celana untuk Alex kenakan.

"Kau sedang memasak. Aku tak ingin membuatmu kelelahan hanya selalu menyiapkan keperluanku."

"Itu kewajiban serta tugasku." Aleta membantu mengancingkan beberapa kancing pada kemejanya. Tampan, batinnya sambil mengulum senyum. "Kau ingin kemana. Aku pulang cepat hari ini."

"Sepertinya melihat keadaan kantor di sini. Aku akan mengantar dan menjemputmu nanti. Kita bisa makan siang bersama di kantor nanti."

Aleta membantu memakai dasi untuknya. "Baiklah. Sarapan untukmu sudah siap." Aleta mengecup singkat rahang kokoh Alex dan berjalan keluar kamar.

Nampak Clara yang telah rapi duduk dengan santai di meja makan sambil memainkan ponselnya.

Aleta memberikan beberapa potong sandwich untuk Alex dan orange juice untuknya. Lelaki tampan ini tak menyukai susu. Entahlah apa alasannya. Padahal itu penting.

***

Aleta duduk bersandar pada jok mobil dan mengarahkan pandangan ke arah luar jendela. Jalanan sudah mulai padat meski waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi. Kota ini memang gudangnya kemacetan dengan sejuta kesibukan.

"Apa mahasiswamu ada yang mengganggumu?" Aleta menolehkan kepalanya dan tersenyum simpul.

"Tidak. Kenapa?" jawabnya santai.

Aleta menyukai sikap Alex yang sekarang jika boleh jujur. Sikapnya terlihat sedikit over dan posesif. Bahkan dia cemburu jika Aleta mulai mengabaikan atau sibuk dengan sekitarnya. Ini terdengar manis. Juga ini pertama kalinya Aleta menjalin hubungan dengan lelaki. Hanya dengan Alex.

Aleta merasakan benda lembab menyentuh punggung tangannya. Terkikik geli, membuat Aleta semakin merasakan desiran aneh setiap kali bersentuhan dengan Alex.

"Kau tak boleh memberi senyum manis kepada mahasiswamu itu."

Aleta semakin melebarkan senyumnya.

"Jadi aku harus bagaimana Mr. Watson?" Aleta sedikit merendahkan suaranya agar terdengar sedikit seksi.

"Aku tak suka berbagi dengan milikku Sayang. Kau milikku, ingat. Termasuk senyum manismu itu," jawaban Alex sungguh manis. Membuat Aleta terkekeh geli dan mencubit pipi Alex gemas.

"Baiklah. Aku tak akan tersenyum jika begitu." Aleta gembungkan kedua pipinya lucu.

Alex terlihat tersenyum puas. Dan berganti melayangkan ciuman di pipi Aleta. "Aku akan menjemputmu nanti. Hubungi aku jika butuh sesuatu," ucapnya sembari mengelus pipi kanan Aleta. Aleta mengangguk dan tersenyum.

Aleta sedikit bergerak maju ke arah Alex dan mengecup singkat bibirnya. Entahlah, Aleta tidak tahu jika dirinya bisa bergerak agresif sekarang. Sama halnya dengan Alex, Aleta juga tak ingin membagi apa yang menjadi miliknya.

Aleta segera turun dan bergegas masuk ke area kampus. Songkhla Rajabhat University. Kampus yang berada di pusat kota. Aleta mendapat beberapa tatapan mata dari mahasiswanya. Aleta sudah sering mendapatkan hal ini. Aleta hanya mengabaikan dan berlalu pergi.

***

Alex masih berkutat dengan beberapa dokumen juga laptop yang sejak beberapa jam lalu menyita waktunya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas pagi. Setengah jam lagi jam mengajar Aleta akan usai. Dengan gerakan cepat Alex bangkit dan meraih kunci mobilnya. Berpesan pada sekretarisnya untuk menghandle apapun ketika dirinya keluar.

"Aku akan kembali tak lama setelah ini," pesan Alex tegas dan mendapat anggukan patuh dari sekretarisnya. "Dan pesankan aku makan untuk dua orang. Aku akan makan siang bersama istriku sekembalinya nanti."

Usai dengan titahnya dan ditanggapi paham oleh sang sekretaris, Alex berjalan masuk ke dalam lift. Memencet tombol lantai dasar menuju lobby.

Tatapan kagum tak pernah terlepas dari para karyawan wanita. Membuat Alex semakin risih dan memberikan tatapan tajamnya.

Alex melajukan mobilnya santai. Jalanan sedikit lengang di siang hari dan akan kembali padat pada sore hari. Terutama di jam waktu usai bekerja.

Dengan menyenandungkan sebuah penggalan lirik lagu, Alex mengulum senyum manisnya juga menyetir dengan santainya.

Hatinya berbunga bahagia setiap kali mengingat senyum manis Aleta. Rasanya begitu berbeda. Berbeda ketika dulu bersama Elora. Hatinya tak pernah merasakan desiran bahagia hanya mengingat senyum atau hanya karena menyebut namanya.

"Aku sudah terjatuh terlalu dalam pada pesonanya dan aku baru menyadari sekarang. Sekarang aku tahu alasan kenapa aku tak pernah bisa melepasnya pergi. Meski hanya sejengkal dariku. Itu karena aku mencintainya dengan dalam dan aku takut kehilangan dirinya. Aku takut dia menghilang dari hidupku, lagi." Batin Alex sembari memegang dadanya. Jantungnya berdegup kencang.

Lama dengan pikirannya membuat Alex tersadar jika mobilnya mulai berbelok ke arah kampus Aleta.

Alex mengeluarkan ponselnya dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya. Mengapitnya diantara bahu tegapnya sedang tangan yang lain bergerak bebas membuka pintu mobil. Menginjakkan kakinya diarea parkir dan menghirup semilir angin yang berembus.

Deringan keempat dan suara diseberang sana sedikit riuh. Alex menajamkan pendengarannya.

"Alex?" Itu suara Aleta. Alex tak salah dengar. Namun perasaan gelisah juga khawatir melingkupi hatinya. "Aku sedang diunit kesehatan kampus." Kembali Alex mendengar suara Aleta. Wajah cemasnya kentara terlihat.

Tanpa menghiraukan penuturan Aleta, Alex bergegas lari menerobos kerumunan mahasiswa yang sedang berjalan. Menggumamkan kata maaf lirih dan kembali berlari. Sebenarnya Alex juga tidak tahu di sebelah mana ruang kesehatannya.

Setelah lima menit berlari, Alex mulai bertanya pada beberapa mahasiswa. Beruntung dari tempatnya berdiri saat ini, Alex hanya perlu berjalan menyusuri lorong. Bahkan ponselnya masih di biarkan menyala tanpa berniat menjawabnya lagi.

Pikirannya sudah diliputi Aleta. Khawatir terjadi apa-apa dengan istrinya itu.

Setelah merasa yakin, Alex berjalan masuk membuka pintu bercat putih. Wajahnya nampak lega melihat sosok istrinya berdiri dengan keadaan yang masih sama seperti tadi pagi.

Beberapa pasang mata menoleh kearahnya heran. Wajah datarnya sama sekali tak mengurangi pesona serta kharisma tampannya.

Sosok yang sangat dikhawatirkannya itu menoleh dan mengerutkan kening. "Alex? Kau kenapa di …" Belum sempat Aleta melanjutkan ucapannya karena sebuah dada bidang menabrak sempurna pada wajah cantiknya.

"Kau membuatku khawatir Sayang," sela Alex setelah merengkuh Aleta ke dalam pelukannya.

Beberapa pasang mata melihatnya dengan iri. Tak menyangka jika dosen muda mereka sudah bersuami dan lihatlah, mereka sangat serasi. Yang lelaki begitu tampan seperti pangeran dan gadisnya begitu cantik seperti seorang putri.

"Aku tidak apa-apa. Mahasiswaku ini mendadak pingsan. Aku membawanya kesini." Aleta menjawabnya dengan senyum yang pasti tak dilihat oleh Alex. Rasanya begitu bahagia karena Alex sangat mengkhawatirkan keadaannya.

Alex melepas pelukan dan memberikan kecupan singkat pada kening Aleta.

"Aku tak ingin kau kenapa-kenapa. Aku pasti sangat bodoh jika kau sampai terluka walau sedikit saja," kata Alex sambil menangkup kedua pipi Aleta dan mengelusnya pelan dengan ibu jarinya.

Kembali beberapa suara riuh terdengar dari mahasiswa yang berdiri berjejer rapi disisi ranjang.

Kedua pipi Aleta memerah. Malu karena hal romantis ini dilihat oleh beberapa pasang mata dan itu mahasiswanya sendiri.

"Aku malu Alex," ujarnya kembali menenggelamkan wajah merahnya dilekukan leher Alex.

"Kita pulang sekarang, oke." Alex segera menggandeng tangan Aleta dan berjalan keluar setelah sebelumnya Aleta berpamitan juga berpesan untuk menjaga temannya hingga terbangun.

***

"Jadi bagaimana bisa mahasiswamu pingsan sayang," tanya Alex setelah menjalankan mobilnya keluar area parkir.

Aleta menarik napas perlahan. "Dia hamil dan kekasihnya pergi begitu saja." Alex mendengarkan dan tetap fokus pada jalanan. "Dokter bilang dia begitu terguncang," sambung Aleta karena tak mendapat sahutan dari Alex.

"Bagaimana dengan keluarganya."

"Entahlah." Aleta menggeleng pelan. "Aku kasihan padanya tapi aku tak bisa berbuat banyak untuknya. Dia masih sangat muda dan mendapat tekanan seperti itu." Alex menoleh dan mengacak pelan rambut Aleta. "Apa kau juga akan pergi meninggalkanku ketika aku hamil nanti?"

Alih-alih marah Alex justru memelototkan matanya sempurna. Menepikan mobilnya dan meraih tangan Aleta. Memandang tepat dimanik mata cokelatnya lekat.

"Aku tak akan pernah dan tak akan melepasmu. Sampai kapanpun. Kecuali jika kau yang pergi meninggalkanku. Bahkan jika kau meninggalkanku lagi, aku akan mencarimu lagi. Membawamu kembali kesisiku." Alex menghirup udara sedalam yang ia bisa. Entah kenapa pembicaraan ini membuat dadanya sesak. Pasokan udara untuk paru-parunya juga berkurang. "Kau tahu Aleta? Aku sangat mencintaimu. Sangat. Melebihi apapun. Dan aku sangat takut kehilanganmu. Sungguh."

Aleta membalas tatapan manik mata cokelat madu Alex dan mencari kebohongan di binar mata indah itu. Namun nihil. Hanya kejujuran di dalamnya.

"Dan aku ingin segera memiliki anak darimu Aleta. Anak-anak yang akan kau lahirkan dari rahimmu. Maukah kau?" Akex melanjutkan ucapannya masih dengan setia mengunci kedua bola mata Aleta.

Menatap kedua bola mata teduh milik istrinya yang sarat akan kedamaian di dalamnya.

Aleta mengangguk pelan. "Apa aku membuatmu sedih Alex dengan bertanya seperti itu?"

Alex menggeleng pelan dan mengecup bibir Aleta singkat. Lalu kembali melajukan mobil yang sempat terhenti.

"Kau tahu Aleta, aku sudah jatuh terlalu dalam pada hatimu. Dan aku tak bisa kemana pun lagi. Aku mencintaimu seperti Jack yang mencintai Rose." tutur Alex jujur membuat Aleta tersenyum bahagia.

Kini hatinya semakin yakin. Bahwa memang Alex yang dirinya inginkan.