Chapter 17 - Bab 17

Alex mendekap tubuh mungil Aleta. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aleta. Sensasi lily dan citrus yang beradu, kian menyerbak di penciuman Alex. Menghantarkan sensasi rileks yang tak berkesudahan.

Sekarang ia tahu sumber kebahagiaan; Aleta. Wanita sederhana yang tanpa permisi mencuri segala perhatian yang selama ini tidak Alex sadari kehadirannya. Kedua matanya yang sayu—ketika membalas tatapan Alex—mampu membuat dirinya tersipu malu secara spontan. Dan Alex menyembunyikan itu semua—menyangkal lebih tepatnya—sampai rasa sesal menggelayuti hatinya.

Alex terkekeh sendiri. Menertawai kebodohan serta kelucuannya.

Gerakan kecil yang Alex rasakan pada tubuh Aleta, ia tenangkan dengan tepuk di punggungnya. Kepalanya menoleh ke bawah dan sepasang mata cokelat cerah sedang melihatnya.

"Kau tidak tidur?" Suara parau khas bangun tidurnya membuat Alex tersenyum.

"Aku baru saja terbangun. Mau mandi bersamaku?" Alex menawari.

"Aku tidak yakin soal itu. Kau bisa lebih dulu. Akan aku siapkan air hangatnya." Aleta terbangun dan bergegas masuk ke kamar mandi.

Suara percikan air yang beradu dengan buthup mulai terdengar. Dari kepala ranjang yang Alex duduki, jelas terlihat siluet tubuhnya yang dengan telaten menuang aroma terapi untuk dirinya berendam. Dan entah mengapa, hal sekecil itu yang Aleta lakukan, mampu membuat Alex terhipnotis.

Tak lama, Aleta keluar dan masuk ke ruang ganti. Membawakan kaos santai juga jeans pendek untuk Alex.

"Air sudah hangat. Aku akan menyiapkan menu makan malamnya. Selain salad, kau ingin sesuatu?" Aleta menawari seraya menyanggul rambut panjangnya asal. Memamerkan leher jenjang—yang membuat Alex menelan ludah secara samar. Seolah-olah ini memang kesengajaan.

"Makan diluar sepertinya bukan ide yang buruk." Alex lekas berlalu tanpa peduli ekspresi Aleta. Namun sedetik kemudian Alex berbalik, mencuri cium di bibir Aleta dan berlari secepat kilat.

***

Alex menggenggam tangan Aleta. Menautkannya pada sela-sela jari lentiknya dan berjalan santai setelah memarkirkan mobil. Suasana kian ramai di pukul tujuh malam ini. Kawasan Hat Yai tidak pernah sepi meski di hari-hari kerja seperti ini. Para turis dari beberapa negara juga terlihat berlalu lalang. Membeli berbagai macam hidangan masakan yang di jajakan di pinggir jalan sampai aksesoris-aksesoris sebagai cindera mata.

Alex merengkuh pinggang Aleta ketika di rasa jalanan mulai berdesakan. Ini pasti terdengar berlebihan karena Alex mencemburui hal-hal sekecil ini di tempat umum. Namun label jika Aleta miliknya, jelas harus dirinya kibarkan.

"Kau ingin makan apa?" Aleta bertanya—berteriak untuk menyeimbangkan suara riuh di tempat ini.

"Makanan khas sini saja bagaimana?" jawab Alex tak kalah kencang. Beberapa hari di Hat Yai, Alex sedikit penasaran pada makanan khas negeri gajah putih ini. Tidak jarang dulu bersama rekan kerjanya mencicipi tom yum yang memang khasnya. Namun rasanya tidak salah mencoba langsung dari pembuatan aslinya.

Matanya terus eredar. Memperhatikan sekitar yang penuh sesak. Bau khas tiap-tiap makanan yang berjejer mengundang penasaran lidahnya untuk mencobanya. Tangannya terus menggandeng Aleta yang berjalan di depannya.

Tak jauh dari lokasi berdesakan, langkah Aleta berbelok. Memasuki salah satu restoran mewah yang juga sama penuhnya. Kepulan asap terus mengudara, teriakan para pelayan yang menyerukan pesanan ke dapur tak kalah nyaring dari permintaan pelanggan. Asia Tenggara dengan sejuta keunikan aktivitasnya menyedot kagum Alex.

Aleta masih memimpin. Berhenti di tengah ruangan yang lalu lalang pelayan, kepalanya terus fokus mencari tempat kosong. Beruntung, tak lama setelahnya langkah keduanya segera beranjak. Pilihan Aleta tepat; pojokan dan dekat jendela. Mempermudah akses penglihatan di luar sana.

"Sebentar lagi ada kembang api." Aleta memulai seraya membuka buku menu. "Khao pad poo. Aku mau itu."

Alex terus menatapi deretan menu yang memakai tiga bahasa sekaligus: Inggris, Melayu, dan Tagalog. Tapi meski begitu, Alex kesulitan dalam menebak makanan apa yang kiranya cocok di mulutnya. Lama memilih, Alex menyerah. Menutup buku dan memandang Aleta penuh cengiran. Jelas, hal itu menjadi pusat tawa Aleta.

"Samakan saja denganmu," jawabnya.

Melirik ke samping, Alex mendapati tatapan penuh pujaan pelayan yang—entah sejak kapan telah berada di sini.

"Som tam dan kue ini, kanom krok," imbuh Aleta. Kepalanya mendongak melihat catatan si pelayan. "Apa ada dessert yang lain?" Mendadak wajah Aleta menggelap. Alex menahan tawa melihat perubahan itu. Tak ingin menduga-duga, namun Alex yakin arti perubahan itu.

"Kau takkan kenyang hanya dengan memandang curi ke arah wajah suamiku Nona!" serunya dengan menekankan kata suami. Membuat pelayan itu salah tingkah.

"Ini. Ini dessertnya Nona." Menunjuk gugup pada sajian dessert yang tertulis di buku menu. "Kha niew ma muang juga minuman segar ini cha yen. Teh khas Thailand. Kau bisa meminumnya dengan dingin atau hangat," tuturnya pelan.

Aleta mengangguk paham dan meminta pesanan untuk dessert serta minumannya di tulis. Usai memastikan pesanan yang di minta sesuai keinginannya, pelayan muda itu pergi. Wajah Aleta masih sama gelapnya sehingga membuat Alex melepaskan tawa tanpa canggung.

"Cemburu, eh?" godanya. "Wajahmu jelek sekali." Dan tatapan nyalang Aleta tak terelak lagi. Alex terdiam. Meredam tawa dan berdeham, "maaf sayang. Aku bercanda."

"Kau menikmatinya!"

Alex bergidik ngeri sekian detik. Ia pikir perempuan dengan segala mood naik turunnya mudah untuk dirinya ajak bercanda. Tapi sepertinya Aleta pengecualian.

"Aku tak tergoda olehnya. Aku hanya tertarik padamu," Jawabnya seraya mengelusi pipi Aleta.

Dan entah apa—karena penglihatan matanya yang buram atau memang benar—semburat kemerahan di pipi Aleta tercetak jelas.

Tak lama, pesanan datang dan kali ini berbeda. Bukan pelayan tadi yang menghampiri meja keduanya. Alex menggumamkan kata syukur. Ada perasaan risih dan enggan merusak suasana yang sedang dirinya bangun bersama Aleta.

Melihat Aleta memulai memakan pesanannya dengan gerakan santai, Alex melakukan hal yang sama. Aroma harum menusuk masuk indra penciumannya. Ini terlihat seperti nasi goreng. Hanya saja ini bukan nasi goreng seperti biasanya. Khao pad poo; nasi goreng dengan aroma bunga melati. Di masak dengan bunga melati juga perasan jeruk nipis dan saus ikan khas Thailand. Baunya sungguh menggugah selera. Dapat Alex lihat Aleta begitu lahap memakannya.

"Kau suka?" Aleta mengangguk. Alex angsurkan sendoknya dan memintanya untuk membuka mulut. "Kita bisa pindah ke Atlanta jika kau mau," ujar Alex sembari memasukan beberapa sendok nasi ke dalam mulutnya.

Aleta tersenyum. "Tak masalah. Asal denganmu," jawabnya yang sontak membuat kedua pipi Alex terasa panas. Aleta sedang membalasnya dengan godaan.

"Kau bisa membantuku di perusahaan. Dad Jeremy akan senang mendengar kau berkecimpung di kantor. Tapi jika kau ingin tetap mengajar aku tak masalah." Alex belajar dari sebuah kesalahan masa lalunya. Perlahan, ia ingin memperbaiki. Tanpa terbuka apalagi merasa memaksakan kehendak. Aleta akan dengan mudah beradaptasi—Alex yakin itu.

"Akan aku pertimbangkan lagi nanti."

Alex mengangguk dan meraih salad yang tadi di pesankan oleh Aleta.

"Cobalah, ini sangat enak." Alex menyuapi Aleta kembali. Som tam, sejenis salad dengan bahan utama pepaya dan di taburi garam. Ada campuran bawang putih, cabai, kacang panjang dan tambahan bahan seperti saus ikan juga saus kacang. Rasanya begitu lezat.

Melihat ekspresi puas di wajah Aleta, Alex tersenyum. Wanita ini sangat tahu seleranya. Dalam berbagai hal, sepertinya Aleta belajar dengan cepat memahami. Padahal jika di telisik lebih dalam, kedekatan keduanya baru terjalin tidak lama setelah tinggal bersama di Paris. Tapi Aleta begitu mengerti apa yang dirinya suka dan tidak.

"Coba ini. Kanom krok, kue berbahan dasar kelapa."

Alex menerima suapan Aleta. Menyecap rasanyanya berkali-kali di lidahnya dan tersenyum setelahnya. Rasanya manis dan gurih.

"Kau sangat tahu seleraku. Dari mana kau tahu itu?" Alex mencubit pipi Aleta yang sedikit tembam.

"Hatiku." Cengirnya dengan mata mengerling.

"Kau menggodaku?"

Aleta mengedikkan bahunya acuh. Menyeruput Cha yen yang menjadi teh khas Thailand. Bercampur teh pada umumnya, aroma campuran teh riyam, campuran adas, biji asam juga susu, rasanya tak terelak lagi. "Mungkin," jawaban Aleta, Xander membalas dengan kekehan.

Pandangan matanya mengitari kondisi di luar restoran. Kembang api yang Aleta katakana sudah berkerlip di luar. Keriuhan pengunjung kian menyesakan jalanan. Sesekali ekor mata Alex melirik Aleta yang tengah menikmati dessert berbahan utama ketan; khao niew ma muang. Ada potongan buah manga di atasnya yang terlihat mekar menambah cantiknya tampilan. Juga krim santan kental yang menggiurkan.

"Kau tak ingin menyuapiku?" Alex berpura-pura merajuk. Bibirnya terlipat menambah kesan seksi yang lucu.

"Aku tidak tahu jika di balik sikap dinginmu kau sangat manja." Namun begitu Aleta tetap menyuapinya.

***

Alex melangkahkan kakinya keluar dari restoran dan berjalan menuju kim yong market. Menerobos keramaian, sembari terus menggenggam tangan Aleta sampailah kedunya di mana mobilnya terparkir. Melajukan dengan kecepatan normal, berbaur dengan mobil-mobil lainnya. Meski malam semakin larut, tempat ini tak pernah sepi.

Alex mengajak Aleta menuju Central Festival. Menonton beberapa film di tengah malam dan berbelanja.

Suasana dalam hening. Baru kali ini Alex mengeluhkan kondisi tersebut. Padahal seingatnya—dulu—di awal pertemuan mereka, sepi adalah hal biasa. Namun kini? Alex mendengus perlahan. Menarik atensi Aleta yang sejak tadi sibuk memperhatikan kondisi luar.

Seakan mengerti, senyum kecil Aleta terbit. Menatapi wajah Alex yang tegas sejenak, barulah tangannya tergerak menautkan jari-jari kecilnya di sela-sela milik Alex. Keterkejutan nampak terlihat meski dapat Alex kuasai air mukanya.

"Itu tugasku," ucap Alex yang Aleta balas kekehan. Wanita cantik itu sedikit melonggarkan tangannya dan mendekatkan ke bibir Alex. "Ini baru benar."

Alex menciumnya lama. Perasaan hangat melingkupi hatinya. Sekelebat bayangan sesal masa lalu berseliweran. Menjauh karena kebodohan yang dirinya ciptakan. Menjauh karena memilih berkorban untuk kebahagiaannya sendiri namun nyatanya kebahagiaannya ada di sini.

Aleta5 l sangar cantik dengan gaya sederhana. Benar kata Mom. "Putri yang akan menikah denganmu nanti sangat cantik. Dia juga akan selalu membuatmu tersenyum."

Alex mengingat ucapan ibunya semasa kecil dulu. Memang benar. Alex selalu tersenyum—yang memang tipikal orang tak mudah menerima kehadiran orang baru.

Alex tetap mengemudi dengan menggenggam tangan Aleta. Sesekali meliriknya. Ah bahkan dia sangat cantik meski hanya dengan polesan bedak tipis.

"Kita akan menonton sebentar," kata Alex membuat Aleta menoleh dan mengalihkan pandang dari arah luar jendela.

Kepala cantiknya tergangguk beberapa kali tanda setuju. "Ah berhenti di sini sebentar Alex. Ada yang ingin aku beli," pintanya sambil memberikan cengiran khasnya. Alex tak mengerti maksud cengiran itu. Namun bisa dirinya tebak bahwa dia akan membeli sesuatu yang sedikit aneh.

"Aku akan mengantarmu." Alex melepaskan safetybelt miliknya.

"Kau tunggu di sini saja. Kau akan bosan di dalam. Aku hanya sebentar. Sungguh." Gerakan tangan Aleta menghentikan aktivitas Alex.

"Kau yakin?" Alex mencoba mencari keyakinan di wajah Aleta.

Aleta mengangguk mantap, tersenyum lantas meninggalkan Alex yang terus menatapinya hingga tidak lagi terlihat. Wanita itu terlihat lucu dengan jalannya yang terburu. Dan keluar kembali belum genap sepuluh menit. Menenteng paperbag yang langsung Alex pahami.

Segera meninggalkan mobilnya, Alex menggandeng tangan Aleta. Berjalan menyusuri jalanan yang kian ramai, acara teater yang di putar telah di mulai. Pada awal pembukaan, sedikit sejarah tentang negara gajah putih terpampang jelas. Beralih pada struktur negara dan wilayah yang tercantum secara gamblang. Berlanjut dengan kesenian yang terlihat natural menarik pasag mata turis untuk segera di abadikan. Sepanjang acara di mulai, Alex terus menggenggam tangan Aleta.

"Aku tidak tahu jika kau menyukai acara teater seperti ini." Aleta mengejek. Tertawa dengan lidah memelet.

"Hobi terpendam." Aleta kian menjadi mengejek Alex. Menurutnya, jawaban suaminya sungguh tidak masuk akal. "Ini sejarah sayang."

Begitu saja Aleta terdiam dengan pipi bersemu merah. Alex sialan! Paling bisa membuat jantungnya berdetak tak karuan.