Chapter 15 - Bab 15

Jika masih bisa, Aleta ingin menjadi apa yang diinginkan Alex. Menjadi Ibu dari anak-anaknya yang terlahir dari rahimnya. Menjadi masa lalu yang paling diinginkan Alex. Menjadi bagian dari kepingan kenangan Alex yang sangat indah. Namun sayang karena posisi itu bukan untuknya. Karena skenario Tuhan bukan padanya. Tapi pada orang lain.

Iri?

Sudah pasti. Aleta masih istri sahnya. Siapa yang ingin tetap waras saat pria yang kita nikahi tergila-gila pada wanita lain yang hanya berstatus pacarnya? Aleta hanya bisa mendengkus alih-alih marah.

Lalu kenapa bukan Aleta yang memiliki Alex? Kenapa bukan Aleta yang menjadi kepingan kenangan itu. Kenapa? Tak adil sekali, bukan?

Berkali-kali bahkan puluhan kalimat itu muncul di kepala cantiknya. Dan jawabannya adalah nihil.

Aleta hanya berpura-pura. Tersenyum dan selalu melakukan aktivitas apa pun selama satu bulan ini. Dan pulang mengurung diri di kamar. Menangis sendiri dan kembali keluar ketika sudah pagi. Hidup Aleta yang baru di negeri orang ternyata lebih membosankan daripada yang pernah dirinya jalani sebelumnya. Perasaan sesak membuatnya lemah dan Aleta benci kenyataan itu dengan melakukan kegiatan yang sama setiap harinya dan bahkan waktu yang sama.

Clara semakin prihatin melihat kondisi calon adik iparnya itu. Berkali-kali bahkan terlalu sering Clara menyuruh Aleta agar kembali. Dan lagi-lagi mendapat jawaban yang sama. Selalu alasan studi yang dibawanya.

Memang, di awal kepindahannya ke Hat Yai Aleta masih nampak tegar dan baik-baik saja. Menyembunyikan apa pun dengan apik dan rapi. Namun sudah dua minggu ini sikapnya begitu pendiam. Mengurung diri di kamar entah apa yang dilakukannya. Membuat Clara yang melihatnya geram.

Harus dengan bantuan apalagi caranya agar Aleta mau kembali bersemangat. Setidaknya mau membaur dengan beberapa orang baru di sini agar bisa mengalihkan kesedihannya. Namun Clara sudah menyerah. Semuanya mendapat tolakan dari Aleta dengan berbagai alasan. Dan Clara tidak bisa mendesaknya lagi.

"Kau tahu Aleta? Alex tak menikah dengan kekasihnya. Itu yang Peter katakan padaku tadi pagi," ucapan Clara membuat Aleta terdiam dan menghentikan langkahnya. "Kekasihnya itu berselingkuh dengan orang lain yang tak lain adalah sahabat Alex sendiri. Juga anak yang dikandungnya bukan anak Alex," sambung Clara dengan gerakan santai berjalan ke arah lemari pendingin.

Aleta masih setia dengan pikirannya sendiri. Mencoba mencerna apa maksud ucapan Clara.

"Apa maksudmu Clara?" Hanya kata itu yang mampu keluar dari celah bibirnya.

"Ya. Dan Alex selalu mencari keberadaanmu. Bahkan Daddy juga Ayah mertuamu." Sambil menenggak air dingin dan membiarkan membasahi kerongkongannya. "Kau tahu, dia berubah mengerikan semenjak kau pergi. Itu juga yang Peter sampaikan padaku. Bahkan Peter enggan menatap matanya yang setajam pisau itu. Terlalu mengerikan." Aleta masih terdiam. Lalu bergegas masuk ke arah kamarnya, sebelum suara Clara menghentikannya kembali. "Kau harus kembali Aleta. Sudah cukup semua ini. Jangan menyiksa dirimu lagi."

Aleta mematung. Pikiran dan hatinya mulai berperang. Lalu melangkah masuk dan mengabaikan Clara. Mengembuskan napas pelan, Clara hanya menggelengkan kepala. Kembali duduk disofa empuknya. Memberinya waktu tak ada salahnya.

***

Aleta masih berkutat dengan pikirannya. Dadanya terasa sesak. Hatinya ingin kembali. Namun logikanya tertahan. Seakan masih tak percaya dengan apa yang didengarnya beberapa menit yang lalu.

Matanya tertuju pada satu benda yang melingkar dijari manis kanannya. Cincin itu masih tersemat. Tak berubah atau terlepas. Sudut bibirnya melengkung keatas. Tangannya yang bebas tergerak memegang benda cantik itu. Ingatannya kembali melayang pada hari di mana pernikahannya satu tahun yang lalu.

Mengenakan gaun cantik dan tuxedo yang dikenakan Alex begitu serasi dengan gaunnya.

Aleta tersenyum bahagia namun juga perjalanan cintanya yang kelam membuat Aleta murung. Aleta bimbang dan ragu untuk memulai. Aleta terlalu takut untuk melangkah membuka lembaran baru. Aleta terlalu enggan mendengar berita buruk jika itu tentang Alex yang sudah bahagia bersama Elora.

***

Enam bulan kemudian.

Alex nampak lelah. Terlihat dari wajah kusutnya. Juga ekspresi datar yang selalu menghiasi wajahnya. Namun begitu, tak sedikit pun mengurangi pesona maupun kharismanya. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam dan Alex baru saja tiba di mansionnya. Masih lengkap dengan baju serta kemeja kantornya. Hanya saja sudah tak serapi pagi tadi. Semuanya terlihat lusuh. Bahkan badannya terlihat kurus dengan lingkar hitam di bawah matanya.

Sudah enam bulan berlalu. Dan selama itu Alex tak berhenti mencari. Meski kenyataan pahit menghantam kuat hatinya. Membuatnya semakin hancur berkeping-keping. Lelah. Sudah pasti. Tapi menyerah bukan jawaban atau keputusan yang akan diambilnya. Hatinya sudah terpatri untuk Aleta. Sampai kapan pun Aleta akan terus mencarinya.

Semua anak buah bahkan mata-mata terbaik sudah dirinya sewa. Meski hasilnya sama. Tetap berusaha itu tekadnya.

Alex menatap nanar keluar lewat jendela kamarnya. Bersandar dan melihat gemerlap bintang. Lama berdiam diri hingga rasanya bintang-bintang itu mengejeknya.

Berjalan kearah ranjang dan menatap sebuah figura foto. Tangannya terulur dan mengelus wajah di dalam foto tersebut.

"Aku merindukanmu maple," bisiknya parau menahan tangis. Selama enam bulan ini Alex lebih banyak diam dan mengabaikan orang-orang sekitarnya. Beberapa urusan pekerjaan diantaranya bahkan ia serahkan kepada asisten juga sekretarisnya.

Mengurung diri di kamar yang dulu di tempati Aleta. Kamar yang memang Alex desain khusus untuk Aleta. Kamar dengan pohon maple yang sangat Aleta sukai. Wanita itu sangat menyukai musim gugur. Sehingga dengan senang hati Alex membuat desain kamar ini layaknya musim gugur dengan pintu balkon menghadap langsung kearah pepohonan maple dan halaman belakang serta kolam renang.

"Setidaknya beri aku satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Beri aku satu menit waktu untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu. Bahwa aku menyesal karena tak melihatmu dulu. Aku menyesal mengabaikanmu yang bahkan sangat peduli padaku. Kau pergi bahkan kau tak mau berjuang untuk cintamu. Seharusnya kita berjuang bersama, Aleta." Alex memeluk figura itu erat. Figura dengan foto pernikahan dirinya dan Aleta.

Pernikahan ini sudah hampir berjalan dua tahun. Mestinya jika Aleta terus berada di sampingnya, menjalani kehidupan normal layaknya pasangan lainnya, bukankah dirinya sudah di panggil daddy?

Alex tersenyum getir. Perasaanya sudah tidak bisa Alex jabarkan bagaimana lagi.

***

Alex menyerukan suara ketika pintu ruang kerjanya di ketuk. Dengan gerakan santai, kepalanya mendongak melihat salah satu anak buahnya. Pria muda yang bekerja di bawah tekanannya terus menunduk. Membuat Alex kian bertingkah pongah. Ia senang di anugerahi mata tajam meski terlihat indah di waktu bersamaan. Kelebihan matanya mampu mengintimidasi lawan bicaranya.

"Jika bukan hal penting kau bisa kembali," ucapan Alex terlampau cepat. Nampak wajahnya malas mendengar apa yang akan di sampaikan bawahannya.

Sam terdiam. Terlihat menimang di antara kepalanya yang menunduk. Perintah atasannya sudah sangat jelas. Kembali artinya suatu omong kosong tak ingin meluncur dari mulut Sam. Namun Sam memilih membebalkan kepalanya. Tujuannya sudah jelas tidak hanya melaporkan pencariannya tapi mengenai pelacakannya sejauh ini.

"Hat Yai, Songkhla," tuturnya, "Miss Aleta berkuliah dan mengajar di sana." Sam hendak mengeluarkan lembaran foto yang telah dirinya cetak. Tapi gerakan cepat Alex membuat Sam urung melakukannya. Dan titah selanjutnya yang Sam dengar, jelas membuat dirinya mengerti.

"Siapkan Jet. Aku akan berangkat hari ini juga."

***

Aleta masih bergelung malas dengan selimut tebal yang membungkus tubuh mungilnya.

Hari masih pagi dan matahari sudah mulai menerobos masuk ke dalam celah-celah gorden. Kedua bola matanya menyipit. Melihat jam diatas nakas pukul enam pagi. Matanya kembali tertutup rapat. Mencoba memulai dengan mimpi indah dialam sadarnya. Setidaknya ini satu-satunya hari untuknya beristirahat mengingat hari libur untuk mengajar juga kuliahnya.

Tak lama lagi, studinya akan segera usai. Belum ada rencana apa-apa. Menikmati yang ada jauh lebih baik, pikirnya. Setelah berusaha selama beberapa menit mimpi indah dialam sadarnya mulai menyambut. Meninggalkan beban juga kesakitan dalam hatinya.

***

Senyum Alex tak surut sejak meninggalkan Paris dan menginjakan kakinya di negara gajah putih ini.

Semburat keemasan terlihat sangat cantik meski sedikit terik. Kedua kakinya segera melangkah masuk ke dalam mobil mewah dengan dua anak buah yang sudah menunggunya sejak tadi.

"Selamat datang Tuan." Tunduknya dengan ramah dari salah satu anak buahnya dan membukakan pintu belakangnya. Alex menjawab dengan gumaman. Memasuki mobil, melihat carut marutnya kemacetan di sore hari yang ia anggap sama saja.

Gemuruh bahagia dalam hatinya tak bisa dihindari. Hatinya menghangat. Akan bertemu kembali dengan Aleta.

Sesekali anak buahnya mengintip dari balik kaca spion dan kembali mengemudi. Pemandangan berbeda dari Tuannya. Sangat jarang jika Tuannya itu tersenyum. Selama ini, orang-orang selalu menghormati sosoknya meski dingin dan terlihat sedikit kejam.

Mobil yang ditumpanginya berbelok. Membuat Alex kian melebarkan senyumnya. Sedikit lagi. Beberapa menit lagi. Dan rasanya sudah sangat tidak sabar ingin memeluk tubuh mungil Aleta dengan wangi jeruk dan lily yang memabukkan.

"Sudah sampai Tuan," ucap salah seorang anak buahnya yang membuat Alex segera tersadar. Kedua bola matanya menelisik melihat sekeliling dan memang benar. Ini tempatnya. Ini apartemen yang tertera di alamat pemberian Sam. Alex bergegas turun begitu pintu terbuka.

Dengan tergesa dan sedikit berlari Alex memasuki lift dan menekan tombol menuju lantai 23.

***

Aleta menikmati beberapa cookies buatan Clara siang tadi. Dengan masih fokus memilih beberapa channel acara televisi yang menurutnya menarik. Hari sudah mulai gelap. Awan sedikit menggelap. Jika tak salah sebentar lagi hujan akan turun mengguyur Hat Yai.

Suara bel terdengar. Aleta melirik mencari keberadaan Clara. Dan kosong. Belum ada tanda-tanda bahwa kakak iparnya itu akan keluar dari dalam kamarnya.

Aleta mendecak sebal dan berjalan malas guna membuka pintu baja itu. Menundukkan kepala Aleta menggerutu, "bisakah hanya sekali saja. Aku tak tuli." Kedua bola matanya menangkap sepasang sepatu fantovel hitam. Terdiam sejenak, Aleta memberanikan diri mengangkat kepalanya karena pemilik sepatu itu hanya diam.

Bagai sebuah mimpi, Aleta melihat senyum manis itu tepat berada di depan matanya. Aleta kembali terdiam. Kedua bola matanya berkaca-kaca.

"Aku merindukanmu." Suara itu sangat Aleta hapal. Dan bau ini. Aroma maskulin ini. Aroma yang sangat di rindukannya selama enam bulan ini. Aroma yang pernah membuatnya tenang. Dan pelukan ini. Entah sejak kapan Aleta berada di pelukan pria dingin ini. Pelukan yang terasa nyaman dan aman.

"Jangan pergi kumohon. Jangan tinggalkan aku. Aku membutuhkanmu, Aleta. Aku membutuhkanmu," ucapnya lagi.

Aleta menjatuhkan air matanya meski sudah di tahannya mati-matian.

Beberapa detik selanjutnya hanya diam dan pelukan hangat ini menyalurkan perasaan masing-masing. Sampai Aleta merasakan Alex melepas pelukannya perlahan. Meregup kedua bahunya dan memberikan kecupan hangat tepat di keningnya.

Aleta terus terdiam. Berusaha menguasai dirinya. Mengatur detak jantung juga mengembuskan napasnya perlahan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Aleta parau. Tangisnya kembali pecah.

Beruntung lorong apartemen terlihat sepi. Jadi tak ada lalu lalang orang yang melihatnya.

"Aku merindukanmu, aleta5," jawab Alex pada akhirnya. Dengan suara beratnya. "Kau pergi tanpa memberi tahuku. Kau bahkan pergi meninggalkan luka untukku."

"Aku sudah melepasmu."

"Aku tidak pernah menyetujuinya. Sampai kapan pun," jawab Alex tegas. Kedua tangannya masih terus meregup bahu Aleta, kedua matanya menatap lembut wajah Amora lekat-lekat. "Karena hatiku menginginkanmu. Aku tahu ini terlambat. Jadi kumohon, jangan tinggalkan aku lagi."

Aleta terkekeh. Lucu dengan permohonan Alex. "Kau selalu egois. Tak mau melepasku juga tak bisa memilih satu diantara kami." Suara Aleta meninggi membuat Alex kian bersalah. "Satu yang harus kau tahu, aku tidak akan pernah bisa menjadi apa yang kamu mau!"

"Aku memilihmu." Aleta tertawa sumbang. "Hatiku memilihmu. Aku ingin memulai semuanya dari awal denganmu."

"Keterlaluan! Di saat Elora mengandung anakmu kau masih bi—"

"Kami berakhir. Itu bukan bayiku."

Aleta mundur satu langkah. Yang Clara katakan benar adanya. Dan ada perasaan lega di dadanya, hangat dan damai. Aleta tak akan memungkiri perasaan senang yang menjalari hatinya. Ia lega sekaligus bahagia mendapati Alex yang menyesal. Namun haruskah semuanya di mulai dari awal?