Chapter 14 - Bab 14

Aleta melangkah masuk ke area Bandara. Keputusan yang dibuatnya sudah bulat. Melepaskan apa yang sudah dirinya yakini tanpa perlu merasakan sesal.

Berat pada awalnya. Dadanya bergemuruh, sesak seperti ditimpahi beban berton-ton. Namun di antara itu semua, Aleta tahu ini jalan terbaiknya. Pesona Alex boleh saja membuatnya lemah, tapi langkahnya harus sekuat baja.

Jauh dari kata baik—mungkin saja. Permulaan setelah jatuh begitu dalam, hati siapapun tidak akan merasa lega, melepaskan yang sudah menjadi miliknya—sayangnya Aleta enggan membahas itu. Berjuang sendiri jelas terlihat konyol. Aleta menjadi wanita bodoh demi Alex.

Sampai pagi ini, Alex tidak menghubunginya. Aleta cukup gundah. Malam di mana permohonan Alex ucapkan, sedikit saja Aleta berharap bahwa pria itu masih mau mengejarnya. Faktanya?

Terkadang terlintas di benaknya, kenapa Alex selalu saja menahan kepergiannya? Padahal dia sudah memiliki kekasih dan bahkan akan menikah dalam waktu dekat ini.

Jika alasannya untuk melihat Aleta hancur, ucapkan selamat. Aleta—tidak terkecuali hatinya sudah hancur. Aleta pikir, urusan hati tidak akan semenyedihkan ini. Aleta pikir tidak ada rasa yang lebih mudah tanpa urusan perasaan. Dan Aleta pikir, dirinya kira tidak memiliki rasa untuk Alex sehingga terlihat baik-baik saja. Namun melihat bagaimana Alex dan Elora bermesraan, Aleta tahu, hatinya tidak lebih dari cukup untuk hancur perlahan.

Pengeras suara kembali menyeret Aleta pada kenyataan. Segera berjalan masuk ke pesawat dan sesekali menoleh ke belakang. Berharap Alex datang dan memintanya jangan pergi. Namun sayang. Walau hanya satu persen. Nyatanya memang tak ada. Alex tidak menyusulnya.

Aleta duduk dan hanya memandang ke luar jendela. Nampak dikedua bola matanya beberapa pohon meranggas. Musim gugur masih belum beranjak.

Dan kembali, tahun ini dirinya akan merayakan Natal sendiri, lagi.

Kedua mata Aleta mulai terpejam. Mengingat perjalanan masih sangat lama. Sambil masih memasang earphone dikedua telinganya. Satu lagu mampu membuatnya menitihkan air mata.

Aleta meremas tshirt yang ia kenakan untuk meredam sedikit rasa sakit. Juga sesak yang mendominasi.

***

Entah sudah berapa lama Aleta tertidur. Pengeras suara yang memberi tahu bahwa pesawat akan mendarat sebentar lagi membuatnya mengerjapkan mata untuk menyesuaikan dengan bias cahaya. Aleta menoleh kesisi jendela. Gedung-gedung tinggi nampak terlihat kokoh dari atas sini.

"Aku akan memulai semuanya dari sini. Memulai dari awal dan membangun kepercayaan diri kembali."

Dalam hitungan menit pesawat yang membawanya dari Paris mendarat sempurna di Bandara Internasional Hat Yai, Songkhla.

Aleta bergegas berjalan setelah membiarkan beberapa orang berdesakan turun. Menyeret koper juga mini bag yang ia sampirkan dipundaknya.

Sejurus kemudian kedua bola matanya menangkap sesosok wanita berusia 30 tahun dengan karton bertuliskan namanya. Aleta segera menghampirinya.

"Hai," sapanya halus. Binar mata abu kehijauan dengan rambut pirangnya membulat sempurna. Menerjang Aleta tanpa memberi komando lebih dulu.

"Ya Tuhan Aleta. Aku tak percaya ini kau!" serunya. Memancing beberapa pasang mata untuk melihat ke arah keduanya. Kepala Aleta mengangguk dan tersenyum sembari menggumamkan kata maaf.

Wanita ini memang tak pernah berubah. Selalu ceria. Meski umurnya terpaut delapan tahun lebih tua dari Aleta.

"Kau hampir saja membunuhku Clara." Kali ini Aleta protes tanpa basa basi.

Clara menyengir seraya membantu Aleta membawa koper. Dan ngomong-ngomong soal Clara. Wanita ini calon Peter. Dia memang sedang berada di Songkhla dan menyelesaikan studinya di negara gajah ini. Usai nanti mereka berdua akan melangsungkan pernikahan. Dan soal bagaimana Aleta bisa berada di sini tentu saja tanpa sepengetahuan Ian. Aleta diam-diam menghubungi Clara dan menceritakan semuanya. Syukurlah karena di balik sifatnya yang kekanakan, meski sudah berumur 30 tahun, Clara dengan tangan terbuka mau membantu. Tanpa membuka mulut pada Peter.

Aleta akan tinggal bersama Clara selama berada di sini. Pemandangan kota ini tak kalah indahnya dari Kanada maupun Paris. Sama-sama memiliki tingkat kepadatan dan kemacetan yang sama, Aleta terus mengedarkan pandangannya.

Pikirannya bergaung. Menguatkan segala tekadnya untuk terus bangkit. Meyakini pada apa yang sudah ia tentukan jalannya—meski terkesan melangkahi Takdir Tuhan—Aleta ingin terus menata hatinya. Menyiapkan segala kemungkinan ke depannya, entah dirinya akan bisa membuka kembali hatinya atau sendiri saja.

"Kampusmu akan buka dua hari lagi. Beberapa hari yang lalu Songkhla di terjang topan. Tak parah memang. Namun cukup kuat dan membuat semua aktivitas lumpuh. Beruntung tak ada korban atau kerusakan," tuturnya santai sambil terus melajukan mobilnya. Menembus jalanan malam yang semakin padat. Songkhla dan Hat Yai akan semakin ramai jika malam tiba.

Terlihat beberapa pedagang berjejer rapi di pinggir jalan, kuliner-kuliner yang menjanjikan lidah, rasanya Aleta tak sabar untuk mencicipi. Negara gajah putih sungguh menghipnotis matanya di awal pertemuan. Ada sepercik harap yang mendadak timbul. Andai semuanya berjalan sesuai kehendak, mungkin kaki Aleta akan menginjak tanah Asia?

"Kau hanya akan mengajar dipagi sampai siang hari. Lalu kuliahmu setelahnya itu. Dan kita memiliki jadwal serta waktu yang sama. Yang artinya kita berada di kelas yang sama juga." Aleta mengalihkan fokus matanya yang semula di jalanan.

"Aku sangat bersyukur jika begitu Clara. Maaf, aku pasti merepotkanmu. Bahkan harus membawamu ke dalam masalahku. Aku sangat kekanakan," jawaban Aleta ditanggapi tawa renyah dari Clara.

"Aku sudah menganggapmu sebagai adikku Aleta. Dan lagi, aku tak merasa di repotkan. Justru aku senang kau mau menemaniku. Kau tahu, kakak sialanmu itu jarang sekali berkunjung." Tanpa tedeng aling-aling bibir seksi Clara mengatai Peter. Sontak hal itu membuat tawa yang Clara hantarkan menular padanya. "Kau tahu, beberapa orang menyelesaikan masalah dengan cara mereka masing-masing. Kau bukan kekanakan. Justru kau sangat dewasa karena mau melepas orang yang kau sayang demi kebahagiaannya." Aleta melirik lewat ekor matanya. "Benar kata Peter. Kau dewasa sebelum waktunya."

Aleta mengerutkan kening heran mendengar penuturan terakhirnya. Lucu, 25 tahun dan dirinya dikatai dewasa sebelum waktunya. Oh itu artinya Peter selalu merusak nama baiknya dihadapan semua orang.

"Benar-benar!"

Clara Lark tersenyum geli mendengar geraman Aleta.

"Ian sangat menyayangimu. Mungkin sebentar lagi akan heboh begitu mendapati kau tak ada di mana pun. Tapi justru aku yang munculikmu," jawaban santai Clara membuat Aleta tersenyum. Aleta jadi menebak-nebak, apakah sifat seperti ini yang membuat Ian menggilai seorang Clara?

"Ngomong-ngomong, kapan Peter akan bertemu keluargamu? Buatkan aku, setidaknya tiga keponakan. Kau tahu, aku sungguh menyukai anak kecil tapi Mom tak mau kembali hamil. Katanya merepotkan." Ada rona kemerahan yang menyembur di pipi Clara. "Kau merona?" Aleta menyeringai.

"Lalu, kenapa tak kau saja, hm? Dengan suami tampanmu itu. Ah bukan. Suami seksimu. Oh aku sangat suka bentuk badannya yang berotot itu."

Aleta melongo. "Serius? Kau masih sempat menikmati pria lain padahal jelas-jelas ada Ian? Kau sungguh keterlaluan Clara. Aku tak menyangka ini."

Aleta mendesah panjang.

***

Alex terduduk lemah di bangku kemudi mobilnya. Tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Berkali-kali menampar pipinya menyakinkan bahwa ini hanya mimpi. Namun sayang rasa sakit yang tersampir dikedua pipinya adalah jawaban bahwa itu nyata. Bukan mimpi yang berusaha terbangun dari tidurnya. Kepalanya terantuk di kemudi mobilnya dan sunyi melingkupi suasana hatinya. Rambut emasnya tak rapi. Wajah tampannya semakin kusut. Lingkar mata hitamnya semakin tercetak jelas.

Ingatannya kembali melayang pada beberapa waktu lalu. Tak percaya jika malam itu akhir dari segalanya. Menyesal? Tentu saja.

Tangannya terulur mengambil benda pipih yang berada di atas dashboard mobilnya. Ini sudah pagi. Meski belum terbangun. Biarkan saja.

Menempelkan ponsel di telinganya, pada dering pertama sampai ketiga taka da jawaban. Alex yakin, pasangan baru menikah itu masih terlelap. Barulah pada dering keempat dan suara lengkingan tinggi menyusup masuk ke dalam indra pendengarannya. Menahan napas Alex berbisik lemah, "Bantu aku."

Terhenti. Suara omelan yang melengking beberapa detik lalu menghilang.

"Dia pergi, dan aku kehilangan. Aku kehilangan bahkan sebelum aku menetapkan pilihanku." Suara Alex tercekat. "Aku tidak tahu harus mencari kemana. Aku tak bisa, Sarah. Kumohon."

Bukan hanya Alex yang menangis. Suara Sarah tertahan. Menyusul pertanyaan-pertanyaan mengkhawatirkan dari Jason.

Alex meletakkan kembali ponsel dan melajukan mobilnya. Mencoba mencari jejak ke mana Aleta pergi.

Beberapa anak buahnya sudah dikerahkan. Tak ada bantahan apapun meski semua anak buahnya tak tahu harus ke mana.

***

Satu minggu berlalu dan belum ada kabar. Alex kian menjadi. Sikap kasar mulai nampak, entah di kantor atau di dalam rumah. Beberapa karyawan yang mengetahui kabar ini hanya terdiam. Untuk sekadar menyapa sudah membuat mereka takut setengah mati melihat ekspresi datar juga tatapan tajam matanya.

Alex menyenderkan punggung tegapnya di kursi sofa. Memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Suara ketukan membuatnya jengah. Bahkan dirinya sudah berpesan untuk jangan mengganggunya. Apa pun alasannya.

Lama tak bergeming, suara pintu berdecit terdengar. "Apa aku juga dilarang menemui putraku sendiri?" Suara lembut itu, yang sangat dikenali Alex, membuatnya mengangkat kepala dan membuatnya terkejut seketika.

"Mom?" pekiknya. Kali ini bukan Malle, melainkan Ibu dari sosok istri yang sudah selama satu minggu ini menghilang. Terkesiap, Alex lantas berdiri dan memberi pelukan pada Ibu mertuanya. "Aku minta maaf. Harusnya Mom meneleponku. Aku bisa menjemputmu di bandara."

Wanita paruh baya itu hanya menggeleng dan melepas pelukan Alex. "Tidak apa. Aku hanya sebentar dan mampir. Dua jam lagi akan kembali ke Kanada. Bagaimana Aleta?"

Alex menggeleng pelan. Bisa dilihat uraian luka yang terlihat dikedua bola matanya. Penyesalan juga rasa bersalah.

"Aku minta maaf. Sikapku mengecewakanmu."

Sandy tersenyum. Memberi pelukan untuk menguatkan menantunya. "Aku yang harusnya minta maaf. Bocah kecil itu tak seharusnya membuatmu bekerja ekstra."

Alex tersenyum mendengar omelan Ibu mertuanya. Meski suara khawatir dominan dan terdengar jelas dari nada suaranya.

"Kau sudah makan Mom?" tanya Alex setelah merasa lebih baik.

"Ah kebetulan sekali jika begitu. Aku bisa makan siang bersama menantu tampanku." Godanya membuat Alex menarik sudut bibirnya. "Kau nampak tak sehat. Aku tahu, kau pasti tak tidur dengan teratur atau makan dengan baik. Jangan siksa dirimu."

Alex mengangguk pelan dan tersenyum.

"Semuanya sudah mencari. Jeremy dan Daddymu sudah mengerahkan orang-orang terbaiknya. Setan kecil itu benar-benar membuatku sangat geram sekarang," sambung Sandy. Umurnya tak jauh berbeda dari Malle. Wajah cantiknya juga masih terpancar. Kini Alex tahu dari mana Aleta menuruni kecantikan alami dengan senyum manis itu. Dan Alex menyadarinya setelah Aleta pergi. Penyesalannya kian bertahta tepat diulu hatinya. Menancap tepat didalamnya.

"Mom, bukan Aleta yang patut kau salahkan. Tapi aku. Aku yang tak becus menjadi suaminya. Aku tak becus mempertahankannya dan memohon agar tidak pergi. Harusnya aku memohon secara lebih Mom. Dan sekarang aku menyesali semuanya. Aku menyadari bahwa Amora begitu penting untukku setelah dia pergi dariku. Aku bodoh Mom. Aku bodoh menyia-nyiakan Aleta. Aku sangat menyesal," tutur Alex sembari mengusap kasar wajahnya.

Sandy terdiam, apapun yang akan dilakukan bahkan marah sekalipun, Aleta tak akan kembali. Namun hanya dengan saling memberi pengertian pada Alex, setidaknya cara itu bisa membuat lelaki di hadapannya ini bisa tenang.

"Kau tak harus larut untuk menyesal. Aku punya ide. Bagaimana jika kita berlibur. Sepertinya kau butuh piknik sedikit. Dan juga aku akan berkunjung kesalah satu rumah temanku karena putrinya akan menikah."

Alex terlihat berpikir. Dan akhirnya menyetujui saran Ibu mertuanya ini. Membuatnya bahagia tidak salah, 'kan?

"Aku akan mengajak Malle juga," sambungnya lagi.