Chapter 13 - Bab 13

Langkah Alex menapaki lantai mansion. Tak biasanya ia pulang di saat waktu masih jam kerja. Mengingat kondisi tubuhnya yang mendadak lemas, Alex putuskan untuk kembali guna beristirahat. Entah lelah di bagian mana, Alex merasakan linglung begitu melihat para pelayan yang membersihkan halaman belakang mansion.

Tak ada yang Alex pikirkan selain menuju meja makan. Mengisi perutnya yang keroncongan dan sesekali melirik—mendapati bisikan beberapa pelayan. Bergegas menuang seporsi spaghetti, suara desahan yang terdengar dari arah kamarnya menyeret rasa penasaran Alex.

Tak ingin membuang waktu, Alex segera beranjak. Menuju kamarnya dan hal pertama yang dirinya terima adalah tamparan keras. Bukan di wajahnya atau ditempat mana pun. Bukan. Namun hatinya. Alex mengepalkan tangan dan melangkah masuk mengarah pada dua pasangan yang sedang melakukan kegiatan ranjang. Di dalam kamarnya—itu yang membuat Alex geram. Kamar yang merupakan tempat pribadinya dimasuki orang lain. Kecuali Elora. Wanita itu terkejut, menatap ngeri pada kerasnya wajah Alex yang memerah.

"Alex, aku bisa menjelaskan semua ini," ucapnya.

Alex mengangkat satu tangannya. Matanya memancarkan sorot amarah pada pria di samping Elora. Sahabatnya sendiri sekaligus rekan bisnisnya—Damian. Ini seperti kejutan di siang hari sampai-sampai Alex terkekeh sumbang.

"Terkejut eh?" Tentu saja, Alex mengangguk sebagai jawaban. Damian bergerak santai, mengecup pelipis Elora dan mengenakan pakaiannya. "Kau datang di waktu yang tidak tepat. Pelepasanku sebentar lagi."

"Aku menyesal untuk itu." Alex berjalan memutar. Mengelus pipi Elora dan berkata, "Kau sangat menikmati milik orang."

Perkataan Alex menyiratkan rasa lain di hati Elora. Namun menyangkal bukan suatu tindakan yang benar.

Damian mencibir. "Tidak ada label yang pasti untuk aku jangan menyentuhnya."

"Kau benar." Alex tersenyum. "Wanita ini sangat sialan. Aku mencintainya mati-matian, berjuang untuk diterima di keluargaku dan … Ku harap kau tak menyesal. Kau tahu, dia sedang mengandung bayi orang lain."

"Alex!" teriak Elora nyaring. "Ini bayimu!"

"Kau dengar Damian? Kau dengar? Itu bayiku. Sayangnya aku tidak yakin. Bagaimana bisa seorang mandul sepertiku menghamili kekasihnya?"

Kedua bola mata Elora melebar. Mulutnya terbuka dan tertutup lagi. Berbeda dengan Damian yang tidak begitu terkejut. Pria itu justru menunjukan seringai puasnya.

"Itu bayiku. Elora milikku. Dan aku yang sudah melakukannya."

Pengendalian diri Alex cukup bagus. Meski berulang kali tangannya terus mengepal, namun berurusan dengan Damian Caviar bukan tindakan yang harus dirinya ambil. Nanti, akan kita lihat sejauh mana seorang Damian berbicara.

"Kau bisa keluar dari sini."

"Alex!" Elora menggeram.

"Yes sweety."

"Kita belum selesai."

"Sayangnya kita telah usai. Kau bisa mengikuti calon Ayah dari bayimu."

Damian tersenyum. Merasa menang pada peperangan kali ini. Ia pikir akan sangat sulit mengalahkan Alex, namun hanya dengan menyentuh miliknya saja, pria itu akan mundur teratur.

"Kau sangat berbesar hati untuk berbagi. Aku menghargai itu."

Elora bukan miliknya seutuhnya karena Alex tidak pernah mengikatnya secara resmi. Bukan hal aneh jika harus melepaskan seseorang yang sudah mengkhianati kepercayaannya. Melepaskan seseorang yang tidak setia pada kita, bukan suatu akhir yang menyedihkan. Ini hanya awal yang baru Alex sadari.

***

Seperti memang seharusnya terjadi, Alex terus merenung. Selama beberapa hari ini tanpa aktivitas kantornya atau tetek bengek lainnya. Ada rasa sesal yang bercokol. Menepisnya begitu saja—ia pikir sangatlah mudah. Dirinya pikir, melepaskan seseorang yang telah lama bersama cukup dengan mengikhlaskan. Nyatanya, sekali pun tindakan Elora tidak di benarkan, itu cukup membuat sesak.

Layaknya karma yang berjalan, sekelebat bayangan Amora terlintas. Rasa sesak kian menjalar. Seharusnya, Alex berjuang lebih gigih untuk mempertahankan Aleta. Mencoba mempercayai apa yang Aleta katakan.

"Tuan." Ketukan di belakang tubuhnya Alex abaikan. Ia enggan beranjak dan larut dalam pikirannya. "Seseorang mencarimu."

Barulah Alex beranjak. Membuka pintu, mengangguk lantas mengganti pakaiannya. Usai dengan keperluannya, segera langkah Alex menapaki ruang tamu. Tertegun sejenak, melihat siapa yang datang.

"Kau berantakan sekali. Lingkar matamu persis panda." Alex tertawa. Merasa biasa saja dengan ejekan yang di sematkan.

"Ada apa?"

Peter girang dengan respon Alex yang cepat. Tidak basa basi seperti selalu biasanya. Meski adik iparnya sedang berepran layaknya zombie, profesionalitas kerjanya patut diacungi jempol.

"Aku kakakmu jika kau belum lupa," jawab Peter sarkastik. "Walau kakak ipar."

Alex mengangguk setuju.

"Aku sudah mendengarnya. Orang tuaku juga sudah tahu," lanjut Peter setelah menghela napas perlahan. Alex menerka arah pembicaraan ini. Dan rasa syukur yang teramat dalam ingin Alex panjatkan. Ian tak menyalahkan dirinya. Berbeda dengan orangtuanya yang mengamuk habis-habisan mengetahui Aleta meminta cerai. "Aku tahu. Hanya saja sangat disayangkan. Setidaknya kalian masih bisa mencoba kedua kalinya jika mau berusaha. Tapi aku dan orang tuaku tak memojokkanmu. Aku mengerti posisimu. Dan aku mewakili orang tuaku meminta maaf padamu." Alex memandang lekat Peter. "Sayangnya, kalian sudah terikat bahkan sebelum terlahir." Alex baru mengetahui ini beberapa bulan setelah pernikahannya terjalin. Mendadak perasaan sesal menyelunungi. Andai dulu—waktu—yang di pertemukan terlebih dahulu adalah Aleta, Alex ingin mengulangnya.

Ingatan Alex terlempar jauh. Pada masa kecilnya dulu, sewaktu dirinya berumur lima tahun, Mom selalu mengatakan padanya, jika sudah waktunya menikah nanti—seorang putri cantik yang berada di Kanada akan menjadi permaisurinya. Sewaktu itu, yang Alex habiskan sebagai tempat masa kecilnya adalah Atlanta. Dirinya selalu bertanya tentang siapa putri cantik itu. Namun Mom hanya tersenyum dan mengatakan akan tahu nanti jika sudah waktunya. Dan benar saja, satu tahun yang lalu Alex bertemu dengannya. Mom benar, ucapannya tak pernah bohong. Putri itu benar-benar cantik.

Diam menjadi pilihan Alex dan tersenyum mendengar penjelasan Peter. "Terima kasih Peter. Kau yang terbaik."

"Aku normal, astaga!" Peter menikmati pelukan saudara yang Alex layangkan. Namun mengomel sudah menjadi kebiasaannya. "Markle sialan," umpatnya.

Para pelayan terkikik geli melihatnya. Peter menjadi horror sendiri karena dianggap homo. Sedang Alex tertawa kencang.

"Kupikir cinta tidak akan serumit ini." Peter berdecak. Bahasan soal cinta bukan suatu hal yang dirinya sukai. Dan ungkapan Alex jauh dari kata baik. "Mengaku cinta bahkan membuatku menjadi seorang pengecut."

Peter mengulas senyum setelah melepas acara pelukan keduanya. "Kebanyakan memang seperti itu. Tapi tergantung bagaimana kau ingin memulainya. Ketika kau ingin memulai tanpa harus ragu kau akan memulainya. Entah dari mana awalnya, pasti akan berjalan meski ada beberapa tekanan."

Alex mengangguk. "Aku akan keluar sebentar. Kau istirahatlah. Jika ingin apapun yang kau butuhkan, panggil saja Ken. Dia yang akan mengurusmu. Dan terima kasih untuk saranmu Peter."

"Kau berhutang padaku jika begitu."

Lantas Alex mengedipkan sebelah matanya dan bergegas menyambar kunci mobil.

Memantapkan pilihan, Alex meyakini bahwa ini jalannya. Tanpa keraguan sedikit pun. Melajukan mobil dengan kecepatan diatas rata-rata. Jalanan terasa sepi di malam yang kian beranjak.

Hati Alex berdesir bahagia. Jarak menuju apartemen Aleta tak jauh lagi. Alex hanya perlu mengitari Eiffel Tower dan tepat di sisi kanan itulah tempatnya. Bibirnya terus tertarik ke atas.

Memarkirkan asal mobilnya dan berlari masuk menuju lift. Menekan tombol dan bergerak naik ke atas. Detak jantung Alex semakin kencang—layaknya bocah yang hendak mengungkapkan cintanya. Tapi bukankah itu benar?

Tak menunggu lama, Alex kembali berlari dan menekan tombol kelewat cepat. Tak peduli jika nanti Aleta mengomel. Bunyi kunci memutar dan pintu terdorong. Alex berlari masuk untuk memeluknya.

***

Sydney

Sarah dan Jason sedang bergegas untuk berkemas. Liburan bulan madunya sudah berakhir atau lebih tepatnya terpaksa harus berakhir. Karena sebuah kesalahan juga masalah. Membuat mereka mau tidak mau harus kembali. Dan menunda semua yang telah dibuat untuk perjalanan selanjutnya.

Sarah dengan rambut hitam sebahunya diam mematung di sudut kamar mewah tempatnya menginap. Sedang Jason masih terus menenangkan.

Deringan telepon kembali terdengar dan membuat keduanya saling bersitatap.

"Tenanglah. Jangan menangis. Semuanya akan baik-baik saja. Aku menjamin itu dear."

Sarah kian mengeratkan pelukannya. Pikirannya mengingat sebuah telepon yang diterimanya tadi. Membangunkan tidur paginya yang nyenyak.

"Bagaimana jika terjadi hal buruk padanya, Jason. Aku takut." Isakannya kembali terdengar. Menenggelamkan wajah manisnya di ceruk leher sang suami.

"Tidak akan sayang. Kau lebih mengenalnya. Dia punya alasan tersendiri kenapa mengambil tindakan ini. Tenanglah. Kita akan segera pulang."