Chapter 12 - Bab 12

Aleta terduduk lesu diatas rerumputan. Angin sore menerbangkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya. Kedua bola matanya memandang kearah Nyonya Besar. Berdiri kokoh meski angin musim gugur menerjang. Musim gugur dipenghujung bulan menyambut musim dingin.

"Kenapa kau begitu kuat tapi aku tidak? Kau bahkan tak merasa sedikit pun lelah, sedangkan aku lemah. Hanya karena satu lelaki." Aleta bermonolog—sarkastik—kearah Nyonya Besar yang hanya diam mematung dan semakin menampakkan kesombongannya.

"Aku sudah menyerah sekarang. Aku berhenti," sambungnya. Dan lagi-lagi hanya desisan angin musim gugur yang menjawabnya.

Beberapa orang yang lalu lalang menatapnya iba. Melihat bagaimana kusut wajahnya membuat orang-orang tahu jika gadis itu sedang patah hati.

"Kasihan." Suara itu membuatnya mau tidak mau menoleh dan mendapati wanita yang sangat dikenalinya tersenyum mengejek. "Kau harusnya kembali ke Kanada bukan malah di sini."

Aleta tak bergeming. Mengedarkan pandangan dan bersiap berdiri untuk pergi.

"Kau akan ke mana jalang? Aku belum selesai denganmu?" Aleta berhenti dan berbalik menatapnya.

"Lalu apa maumu, El? Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau. Dan berhenti memanggilku jalang. Karena aku tak rendah sepertimu!"

"Kau tahu, istilah yang tepat untukmu selain kasihan?! Aku tidak menemukan kata yang tepat selain jalang. Terlebih lagi, kau kalah denganku yang jelas-jelas hanya berstatus sebagai kekasih." Elora mencibir.

Aleta berjalan mendekat mengatakan, "ingat satu hal, aku tak bersaing denganmu!" bisiknya, "Kurasa kau harus segera pulang jika tak ingin dipergoki calon suamimu." Elora melototkan matanya. "Berkencan dengan pria lain sedang status masih menjadi kekasih orang lain bukan pilihan yang bagus."

Kali ini pandangan Elora sejurus mengikuti Aleta. Dan tepat diujung sana, pria yang beberapa menit lalu bersamanya sedang menunggu. "Kau tahu?" Mencoba menyembunyikan kegugupannya, senyum mengejek Aleta justru terlihat.

"Aku tahu semua yang kau tutupi dari Alex. Tidak bisa hamil, eh? Ups, kau mengandung benih pria lain. Alex yang malang." Aleta berlalu pergi. Meninggalkan kegeraman tertahan yang memuncak di ubun-ubun Elora.

****

Malle memandang lekat wajah putra sulungnya. Dalam hatinya tak pernah terlintas jika putra yang selalu dibanggakannya menyakiti perasaannya secara tak langsung.

"Begitulah Mom," ucap Alex yang dibalas helaan napas oleh Malle.

"Kau tahu Alex? Kau baru saja menyakiti Mom secara tidak sengaja. Mom tak menyangka kau bisa menyakiti istrimu sendiri. Dan menamparnya? Aku mengingat, sepertinya aku tidak pernah mengajarkan apa lagi mendidik anak-anakku untuk menjadi seorang tempramen. Atau aku yang sudah kecolongan?"

Alex menundukkan kepalanya dalam. "Maaf Mom." Hanya kata itu yang meluncur keluar dari bibirnya. "Elroa sedang mengandung anakku."

"Apa?" Malle terbelalak kaget. "Aku tidak peduli," jawabnya usai meredakan amarahnya. "Kau yakin itu benihmu?"

Beberapa menit berlalu dan keadaan sunyi melingkupi ketegangan Ibu dan anak yang saling duduk berhadapan di sebuah restoran. Alex juga tak bisa menjawab pertanyaan Ibunya yang entah bagaimana lidahnya bisa sekelu itu. Padahal hanya perlu mengatakan ya atau tidak.

Hingga suara seorang wanita membuat keduanya saling menoleh. "Alex?"

Alex tersenyum simpul mendengar suara itu. Berdiri dan segera memeluknya. Berbeda dengan Malle yang menampilkan wajah datar serta sorot mata tajam tak suka.

"Maaf aku terlambat," ucapnya.

"Tak apa Sayang. Ah ya, ini Momku. Dan Mom ini Elora." Alex memperkenalkan satu sama lain.

"Antar aku ke apartemen Aleta!" Malle mengabaikan perkenalan yang sedang dilakukan putranya dan memilih berjalan terlebih dahulu.

Malle pikir drama pasangan yang diciptakan putra sulungnya telah usai dengan sikapnya yang abai. Namun melihat gandingan tangan yang Alex lakukan, Malle tidak terima.

"Apa aku mengizinkamu membawa wanita ini, Alex?" Malle mengecam Elora terang-terangan.

"Mom, ayolah. Elroa kekasihku. Bahkan sedang mengandung cucumu." Alex membujuk seraya terus membawa Elora kearah mobilnya.

Elora merasa kalah telak. Kehadiran dirinya ditolak secara langsung. Kepalanya terus menunduk. Seolah kepercayaan dirinya tergerus habis di hadapan Malle.

"Aku akan pulang," katanya mengelus lengan Alex. Elora enggan punya urusan panjang dengan Ibu Alex. Jika dirinya tidak diterima ya mau bagaimana lagi, 'kan? Toh yang Elora inginkan hanya Alex bukan keluarganya.

Alex tersenyum. Merasa hanya ini pilihannya. "Aku akan segera pulang."

Elora mengangguk. Melepas gandengan tangan Alex dengan mata nanar.

***

"Aku tak pernah suka dengannya dan kau malah membawanya padaku." Malle masih menumpahkan rasa kesal pada putranya. "Dan lagi, kau yakin tak memiliki rasa sedikit pun pada Aleta?"

Pertanyaan mudah namun butuh waktu menjawabnya membuat Alex terdiam. Hatinya bimbang. Selama ini, ketika berjauhan dari Aleta hatinya selalu memberontak ingin berdekatan. Namun perasaannya belum bisa diyakini.

Alex terdiam. Membalas ucapan Ibunya sebagai bentuk pembelaan diri juga percuma. Jika setelah itu Jeremy tahu masalah yang sudah dirinya timbulkan, Alex tak berharap banyak bisa dimaafkan. Sepanjang hidupnya, Alex tahu seperti apa tabiat Jeremy dalam menekan dirinya dan memberikan pengarahan untuk masa depannya. Dan Elora tidak masuk dalam kategori baik sehingga Jeremy tidak memberinya restu pun dengan masalah lain yang lebih krusial.

"Kau belum mencobanya. Tapi kau kembali pada masa yang harusnya kau lupakan. Sampai kapan pun tidak ada yang bisa menerima wanita itu. Entah aku atau Jeremy sekali pun," kata Malle. Terdengar lirih juga rasa marah yang tersirat. "Kau menampar Aleta sama halnya kau menyakiti aku dan Jazzy."

"Aku tahu Mom. Maaf membuatmu kecewa."

"Kau tak perlu meminta maaf padaku. Aku kecewa padamu." Dengan gerakan cepat Malle menepuk pundak Alex. "Aku akan mencoba berbicara pada Elora."

"Terima kasih Mom."

***

Aleta terdiam. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari ini. Cukup menguras tenaga. Aleta bahkan terus berdebat dengan batinnya. Menimang apakah keputusan bercerai adalah yang terbaik. Dan lagi-lagi hatinya menolak. Berbeda dengan otaknya yang tak mau bekerja sama. Kenyataan mengejutkan kembali Aleta terima. Membuatnya harus menata ulang perasaan hatinya dalam setiap keputusan.

Akhir-akhir ini Aleta punya kenangan yang tak baik. Pikirannya selalu melayang ke berbagai kejadian yang memimpa dirinya.

Seperti hari itu. Saat Aleta melangkah memasuki garasi. Waktu menunjukan pukul enam pagi. Aleta segera bergegas menuju butik karena kesalahan tak sengaja membuat pelanggan protes. Hanya karena satu payet yang lepas, klien baru itu mengomel sepanjang hari kemarin.

Baru saja tangannya akan menarik handle pintu mobil, namun sebuah suara tertahan membuat Aleta berhenti. Mengedarkan pandangan dan berjalan pelan untuk melihat siapa yang berbicara.

Hati Aleta mencelos tatkala menangkap sosok bayangan pria dan wanita yang berada jauh dari pintu keluar garasi. Aleta mendekat dan menajamkan pendengarannya.

"Aku tahu, Rey. Namun percayalah. Anak ini bukan anak Alex. Aku bahkan sudah sangat lama tidak tidur dengannya. Hanya denganmu. Bukankah kita sudah sepakat, aku tetap akan menikah dengan Alex dan menguras semua hartanya. Hanya dengan cara anak ini satu-satunya."

Aleta tak percaya dengan apa yang didengarnya. Benarkah itu? Benarkah yang diucapkan dari mulut Elora demikian adanya. Benarkah dia hamil. Namun bukan itu. Bukan. Masalahnya adalah anak yang dikandungnya bukan anak Alex. Dan Aleta sudah mendengarnya semalam bahwa Alex akan menikahi Elora. Bahkan sudah mendaftarkan pernikahan mereka.

Ini masih terlalu pagi dan banyak sekali kejutan yang Aleta dapatkan. Entah kejutan apalagi yang akan dirinya dapatkan satu hari penuh nanti.

Suara pintu berdecit menyadarkan Aleta untuk segera pergi. Kedua mata cokelatnya menatap kepergian Elora tanpa beban—bahkan ketika Alex masih terlelap. Wanita itu apakah sehat?

"Aku selalu merasa diinginkan dan dijatuhkan dalam waktu bersamaan," lirihnya lalu bergegas menuju mobilnya.

Hanya helaan napas Aleta yang terdengar. Gelengan kepalanya menyeretnya dari lamunan. Juga dengan suara bel menyadarkan Aleta dan segera berjalan ke arah pintu. Melirik jam yang ada dilengan kirinya dan berpikir siapa yang berkunjung di waktu selarut ini.

Pintu terbuka sempurna dan menampilkan dua sosok yang sangat Aleta kenal. "Mom?" pekiknya bahagia. Aleta bergegas memeluknya dan mengecup pipi kirinya sayang.

"Hay sweety. Aku pikir kau sudah tidur."

Menggeleng pelan dan mengajaknya masuk. Mengabaikan sosok gagah yang berada di samping Ibu mertuanya—Alex.

"Kenapa tak meneleponku Mom. Aku bisa menjemputmu." Aleta mengajaknya duduk dan berjalan masuk ke dapur membuatkan minum. Sedang Alex, entahlah. Mungkin kembali ke mansion. Karena Aleta tak melihatnya ikut duduk bersama Malle.

"Satu jam yang lalu Sayang. Alex menjemputku, dan kejutan. Aku sengaja tak meneleponmu untuk memberimu kejutan."

Aleta menyahut pelan dan menganggukkan kepala meski tahu Malle tak melihatnya.

"Ini, minumlah Mom. Kau pasti lelah. Aku akan menyiapkan kamar untukmu."

"Temani aku Aleta. Aku merindukanmu." Aleta menghentikan langkahnya dan kembali memutar tubuh berjalan mendekat lalu duduk di samping Malle.

"Mom yakin? Tak ingin istirahat lebih dulu. Besok aku libur."

"Tidak. Aku ingin mengajakmu berbelanja jika kau mau."

"Baiklah Mom." Aleta mengangguk patuh. Melarikan matanya ke acara televisi yang sudah berganti.

"Aleta?" Aleta menoleh tersenyum pada Malle. Wajahnya gelisah. "Kau, apa kau tak mencintai Alex?"

Aleta terdiam. Mercerna maksud pertanyaan yang Malle lemparkan.

"Aleta?" Aleta merasakan tangan halus Malle meremas tangannya lembut. "Aku tahu kau mencintai Alex. Ku mohon pikirkan lagi."

Aleta mengembuskan napas perlahan. Menelisik ke arah bola mata hijau cerahnya. "Tidurlah Mom. Kau pasti lelah. Aku akan menyiapkan kamar untukmu."

Aleta bangkit berdiri dan membawa Malle ke arah kamar yang berada tepat disamping kamarnya.

"Jangan pikirkan apa-apa Mom. Aku tak ingin kau sakit. Selamat malam." Aleta mengecup sayang sisi pipi Malle dan menarik selimut sampai batas dada.

Menyenderkan punggungnya pada pintu cokelat mahoni dan mendongakkan kepala ke atas menatap langit-langit, pikiran Aleta kembali goyah. Seharusnya ia tidak boleh terpengaruh pada apa yang Malle permohonkan. Namun mendadak, rasa ingin terus bertahan meraup sebagian kewarasannya.

Menggeleng pelan, kaki Aleta memasuki kamarnya. Terheran dengan remangnya cahaya lampu yang menyala, aroma pinus dan mint yang merebak membuat Aleta sadar—ada orang lain di kamarnya. Dan benar saja. Alex sedang merebahkan tubuhnya dengan nyaman di ranjangnya. Tanpa pikir panjang, Aleta memutari ranjang. Mengambil selimut serta bantal lantas bergegas keluar.

"Kau mau ke mana?" Langkah Aleta terhenti. "Lucu jika kita menunjukan ketidakharmonisan di depan Malle." Aleta terkekeh.

"Kupikir kau peduli."

"Aku peduli!"

"Sayangnya aku tidak." Aleta membalas dengan sengit. "Kau tidak seharusnya di sini. Ini bukan tempatmu."

Alex tertampar. Perkataan Aleta menyentil hatinya. Meski membenarkan, nyatanya sisi hatinya memberatkan untuk beranjak. Hening yang melingkupi, segera Aleta gunakan untuk meneruskan langkahnya. Sungguh, detak jantungnya bergemuruh. Pikirannya berkecamuk. Ia sudah hampir ingin membatalkan segela tekadnya.

"Maaf." Aleta mendengus. Alex belum menyerah. "Berlaku kasar padamu tempo hari."

"Apa ini dirimu yang asli?" Alex mengerutkan keningnya. "Kau berbuat salah lalu meminta maaf setelahnya. Pernah mendengar pepatah? Jangan meminta maaf dengan cepat. Itu menandakan dirimu amatlah bersalah. Kita sudah berakhir."

"Aku belum menjawab setuju. Lagi pula, kenapa kau begitu ingin berpisah dariku?"

Aleta hampir meledak di buatnya. Pernyataan Alex tidak masuk akal.

"Pertama, kau memiliki kekasih. Kedua, pernikahan kalian sudah terdaftar. Lalu ketiga, bukankah dia sedang mengandung anakmu?" Aleta tersenyum mengejek. Pria di depannya sangat konyol dalam berpikir.

"Kita bisa memulai semuanya dari awal. Aku—" Alex menjeda kalimatnya. Ada keraguan dalam suaranya. Lalu memilih duduk di samping Aleta.

"Apa?" tuntut Aleta. Merasa ingin tahu akan kelanjutannya.

"Ini seperti bukan diriku. Tapi bisakah kau memberiku kesempatan?"

Tatapan Aleta berubah tajam. Kesal setengah mati pada permohonan Alex. Pria dihadapannya benar-benar tidak berprinsip. Maka Aleta menjawab, "di satu sisi, aku pernah sangat diinginkan—saat ini contohnya. Dan di lain waktu, aku di hempaskan. Tidak peduli apakah tubuhku masih utuh atau berceceran. Apa manusia memang sekejam itu?"

Alex terhenyak di buatnya. Pernyataan Aleta di luar tebakannya. Ia juga tidak menerka jika Aleta bisa mengungkapkan perasaannya seperti ini. Namun meski membenarkan, tetap saja ada secuil rasa di hati Alex yang egois. Menginginkan dua wanita sekaligus bukankah itu terlihat bajingan?

"Tempatmu bukan di sini." Nada suara Aleta sarkastik. "Kau harus kembali. Aku akan istirahat."