Alex tidak percaya dengan tindakannya barusan. Telapak tangannya bergetar dalam pandangannya dan erangan frustasi memenuhi kepalanya. Bayang-bayang kesakitan—kecewa lebih tepatnya—terus menghantui.
"Arrrgggggghhh!"
Merutuki kebodohannya yang entah untuk keberapa kalinya, Alex menekan pelipisnya. Rasa pening menyambar sebagian kewarasannya. Dan rekaman atas tindakannya benar-benar menyita atensinya.
Suara pintu berderit mengalihkan pandangannya.
"Aku tahu kau belum makan."
Alex tersenyum simpul—terasa hambar.
"Terima kasih El," ucapnya.
"Mau kusuapi? Aku memasaknya khusus untukmu." Elora berjalan mendekat. Mendudukan bokongnya di atas pangkuan Alex yang berlanjut mendesah kecewa pada gelengan Alex. Sesuatu yang asing ketika Alex menolaknya menyentil harga dirinya. Selama ini, tidak pernah sekali pun Alex menolaknya.
"Aku merindukanmu El," bisikannya parau. Tapi Elora menyukai itu pun dengan pelukan yang Alex lakukan kian mengerat.
"Kau melupakanku! Terlalu sibuk mengurusi pekerjaanmu. Membiarkanku tidur sendirian tiga malam ini."
Alex tersenyum kecut. Merasa suka dengan sikap manja Elora namun sesak lantaran hatinya yang mulai terbagi.
"Pekerjaan ini menyita waktuku. Berjalan-jalan sebentar menyenangkan pastinya," jelasnya seraya mencari kenyamanan di ceruk leher Elora. Menjilatnya sensual dan meninggalkan tanda di sana.
"Benarkah?"
Alex mengangguk. "Ayo." Alex membantu Elle berdiri dan berpikir bahwa pilihannya sangatlah benar. Menenangkan pikirannya sejenak dari Aleta, ia pikir mencoba meraba hatinya sekali lagi. Meyakinkan bahwa bahagianya bersama Elora seorang.
"Kau melamun?!" Suara melengking Elora menyeret Alex dari kecamuknya pikiran. Tersenyum tipis dan mendapati Elora yang bersungut-sungut menjadi hiburan tersendiri untuknya. "Menyebalkan!"
Menepikan mobilnya, menampilkan cengiran khas serta permohonan maafnya, Alex mencuri cium di sudut bibir Elora. "Ayolah Sayang, maaf."
"Aku marah padamu!"
Embusan napas Alex terhela. Ia dalam kondisi malas untuk membujuk sedang Elora yang marah adalah bencana baginya. Ide-ide yang biasanya melintas mendadak tumpu di otaknya.
"Ah sayang sekali kau marah. Aku berniat memberikanmu koleksi sepatu terbaru dari salah satu artis ternama Paris. Tapi baiklah jika kau…"
"Terima kasih." Cara Alex berhasil membuat kedua bibirnya terangkat keatas, mendekatkan wajahnya dan melumat bibirnya. Penuh tuntutan serta gairah.
"Aku sayang padamu."
Elroa tersenyum. Binar bahagia memancar dari bola mata birunya. Benaknya bermonolog jika Alex masih dalam genggamannya, tunduk dan patuh pada tiap keinginannya. Mendadak, Elora bangga. Egonya melambung tinggi. Ia menjadi arogan; siapa bilang cinta tanpa restu akan mendapat hambatan?
****
Aleta terduduk sambil melipat kedua lututnya. Berjam-jam hanya seperti itu kegiatannya. Sudah lebih dari satu jam bola mata cokelatnya memandang ke depan dan kosong. Tatapannya sarat akan luka. Sisa-sisa cairan bening sudah mengering dikedua sisi pipi putihnya.
Bukan luka pisau yang menyakitinya. Atau bahkan luka tembak sekali pun. Namun kenyataan yang menghampirinya semalam benar-benar menampar hatinya.
Kembali dadanya bergemuruh mengingat kejadian semalam. Di mana pria yang sangat dicintainya dengan ringan mendaratkan sebuah tamparan dan meninggalkan lebam kebiruan hingga sore ini. Air matanya kembali luruh. Kali ini Aleta tak menahannya. Berharap dengan begini rasa sakit yang dirasakannya akan pergi.
Matahari sudah kembali keperaduan dan Aleta tak bergerak barang sedikit pun. Kedua bola matanya bergerak melihat ke sekeliling pantai. Hanya ada beberapa pasangan muda yang memadu kasih.
Bola matanya kembali basah dengan cairan bening tatkala melihat pasangan muda yang begitu romantis. Berciuman diantara matahari tenggelam dan malam yang sebentar lagi menyapa.
"Aku bodoh! Bertahan pada posisi yang benar-benar sulit," gumamnya sambil tersenyum miring.
Kedua bola matanya masih memperhatikan pasangan romantis itu. Walau matahari sudah benar-benar menghilang dan malam yang menggantikan, hal tersebut sama sekali tak mengganggu aktivitas romantis yang mereka ciptakan.
Aleta bergegas berdiri dan membersihkan dress cantiknya dari sisa pasir yang menempel lantas berjalan kearah mobilnya.
Namun baru beberapa langkah, deringan telepon membuatnya harus berhenti. Mengambil benda pipih tersebut dan mendekatkan ditelinganya tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Halo."
Terdengar helaan napas berat dari arah seberang. "Kau di mana? Aku di apartemenmu dan kosong. Kau juga tak ada dibutik satu hari ini."
Langkah Aleta terhenti mendengar suara yang sangat dikenalinya. Suara yang sangat dihapalnya. Suara yang begitu merdu bagai lagu pengantar kealam tidurnya. Air matanya kembali jatuh.
Mengendalikan gejolak emosi, Aleta menarik napas dalam. "Aku ingin bertemu denganmu, Alex."
Hanya kalimat itu yang meluncur keluar dari bibir mungilnya.
"Aku menunggumu di apartemen."
Aleta memutus sambungan telepon dan bergegas masuk ke mobilnya. Melajukan dengan kecepatan sedang dan berbaur dengan mobil-mobil lainnya merayap bersama padatnya kota Paris dimalam hari.
****
Hanya butuh waktu beberapa menit dan mobil Aleta sudah terparkir bersampingan dengan mobil yang sangat dikenalinya. Kakinya berjalan kearah lift dan menekan tombol menuju lantai atas kamarnya. Suasana sepi membuat Aleta diam mematung. Hingga dentingan berbunyi satu kali lantas berjalan keluar.
Aleta memasukkan password apartemennya dan melangkah masuk. Namun lagi-lagi harus tertahan tatkala sebuah tubuh tegap memeluknya dengan erat. Dari aroma maskulin, Aleta tahu siapa yang tengah memeluknya kelewat erat seperti ini.
"Kau membuatku khawatir. Maaf."
Mencoba menikmati kuaran wangi di tubuh Alex, berharap bisa dirinya simpan sendiri untuk nantinya, Aleta berkata serak, "ceraikan aku."
Alex menegang di tempatnya. Ini kedua kalinya Aleta meminta cerai darinya. Dan Alex masih saja plin-plan perihal pilihannya. Kadang Alex ingin egois untuk memiliki Aleta bersamaan dengan hatinya yang selalu terpaut pada Elora Pelukannya mengerat. Kepalanya menggeleng. Bukan seperti ini akhir yang dirinya mau. Bukan juga untuk itu kedatangannya ke mari. Alex sangat menyesal.
"Aku minta maaf jika semalam berlaku kasar padamu. Sungguh, aku menyesal." Aleta menatap tajam hazel karamel madu yang sangat disukainya dan mendapati penyesalan di dalamnya.
"Ceraikan aku Alex!" Aleta mengulangnya penuh tekanan. Keputusannya sudah sangat bulat.
"Aku tidak bisa dan tidak akan pernah mau melakukannya."
Aketa tersenyum hambar. "Kenapa? Jika alasan membenci melihatmu pergi lalu apa artinya aku dimatamu. Ceraikan aku! Dan kita selesai."
Alex meremas rambut cokelat emasnya dan mendesah frustasi.
"Kau bisa bersama wanitamu dan tak ada yang mengganggu. Dan lagi pula, bukankah kau sudah mendaftarkan pernikahanmu dengan Elora."
Alex menolehkan kepalanya cepat, tak percaya jika Aleta mengetahui hal itu.
Ingatan Aleta terbayang pada waktu itu.
Aleta berdiri mematung di balik tembok. Melihat dua sejoli itu saling memadu kasih dan bercumbu membuat dadanya sesak. Seperti beribu-ribu ton menghimpitnya hingga bernapas pun susah.
Tawa riang dari suara emas itu menyadarkan Aleta untuk segera berlalu kembali ke kamarnya. Namun harus di tahannya ketika mendengar penuturan Alex.
"Aku sudah mendaftarkan pernikahan kita El."
Air mata Aleta meluncur deras dari kedua bola mata cantiknya.
"Kau serius?"
"Sangat serius. Aku tak ingin kehilanganmu El."
Dan tidak ada yang bisa Aleta genggam. Alex sudah sepenuhnya Aleta lepaskan.
"Jadi alasan apalagi hingga kau tak bisa menceraikanku?" Suara Aleta kembali melantun dengan menekankan kata cerai karena beberapa menit berlalu dan hanya diam.
Alex menatap Aleta sayu. "Aku tak bisa."
Aleta tertawa sumbang. Tidak percaya dengan apa yang Alex katakana. Pria itu terlampau egois dan serakah untuk urusan hati.
"Baiklah aku yang pergi. Pulanglah. Elora menunggumu. Aku tak ingin dinilai merusak hubungan orang," ucap Aleta seraya bergegas masuk ke kamarnya.
"Kau akan pergi ke mana?"
Aleta menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Alex penuh intimidasi. "Ke mana saja. Asal tak merusak hubungan orang. Selamat malam."
Belum sampai Aleta memutar kenop pintu sebuah lengan kekar menariknya kedalam pelukan hangat.
"Aku mohon jangan pergi. Aku tak tahu alasannya apa." Nada suara sarat penyesalan dan permohonan Alex membuat Aleta semakin terisak.
"Kau menyulitkanku Alex, apa kau menyadari itu? Kau menarikku ke dalam kehidupanmu tapi aku hanya menjadi bayang-bayangmu. Percayalah, selalu berada dipihak berjuang sendiri itu menyakitkan. Dan kau menyakitiku!"
"Maaf. Maafkan aku."
"Aku sudah memilih jalan ini. Tolong ceraikan aku!"
Alex melepas pelukannya. Meregup kedua bahu Amora menatapnya tajam diikuti kilat amarah.
"Kenapa?! Kenapa kau sangat ingin berpisah denganku?"
Aleta tersenyum miring. "Kau egois. Kau tak pernah melihatku namun kau memaksaku untuk berada di sisimu. Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasannku? Setiap kali aku melihatmu dan Elora bermesraan. Dan kau tahu apa faktanya? Faktanya adalah aku yang berhak atas dirimu namun aku yang tersingkirkan di sini."
Alex diam. Mencoba mencerna ungkapan Aleta yang benar adanya. Tidak seharusnya dirinya bersikap plin-plan dan melepaskan Elora sejak dulu. Seharusnya Alex mencoba membuka pada apa yang menjadi kenyataan dan Takdirnya. Bukan malah menancapkan luka pada hati lain.
"Aku sudah sangat sakit mencintaimu. Ini terakhir kalinya aku meminta cerai darimu Alex." Aleta tersenyum hambar. "Berkasnya aku aku kirim besok. Pulanglah. Kau harus istirahat." Aleta memutar tubuhnya hendak melangkah masuk.
"Jika kau mencintaiku semestinya kau mempertahankanku."
"Tidak! Aku tak ingin egois. Keputusanku sudah bulat Alex. Melepaskanmu adalah yang terbaik."
****
Sudah beberapa hari sejak kejadian malam itu dan Alex hanya diam memandangi map biru yang diyakini isinya adalah surat perpisahan. Surat yang dikirim melalui pengacara Aleta tiga hari yang lalu. Dan Alex tak berniat membuka atau bahkan memberikan coretan tinta di atas surat bersih itu.
Hal itu lantas membuat Elora berdecak sebal setelah tahu Alex hanya membiarkannya. Padahal tanggal pernikahan yang sudah ditentukan semakin dekat. Dan persiapan sejauh ini hanya baru sampai pada tahap fitting gaun pengantin.
Kali ini Alex menyerah. Dengan gerakan santai, tangannya terulur mengambil ponsel canggihnya. Terdengar nada sambung tatkala benda pipih itu berada ditelinganya.
"Mom?" panggil Alex lirih. Nada suaranya terdengar frustasi.
"Ada apa dengan suaramu?" Bukan menyahut, wanita yang dihubungi Alex, Malle, justru bertanya soal keadaan suaranya yang sumbang.
"Aleta ..." Terdengar nada ragu dalam melanjutkan kalimatnya, Alex kembali menghela napas. Dirinya tahu, ibunya tak akan mengomel atau membuatnya semakin terpojok. "Aleta ingin berpisah dariku." Pada akhirnya kalimat itu meluncur dengan sendirinya.
Hening.
"Aku akan berkunjung ke Paris besok. Istirahatlah."
Hanya jawaban itu yang Alex dapati. Sedikit membuatnya merasa tenang. Meski gemuruh dalam hatinya semakin menggila.
****
Sydney di pagi hari masih sangat sejuk.
Tidak tahu hal gila apa yang merasuki pikiran Sarah. Ia merecoki jam tidur Jason tanpa permisi di mana pria bertelanjang dada itu begadang semalam penuh. Yang pasti, mendial nomor yang sejak tadi membuat otak Sarah senewen, segera dilakukannya.
"Aleta?" pekiknya girang.
Sarah tertawa kencang mendengar hela napas yang terembus. Ia bukan tidak tahu, Aleta sedang menahan kekesalannya. "Kau super gila," omel Aleta yang Sarah tanggapi dengan kikikan.
"Aku merindukanmu."
"Kau sungguh keterlaluan! Kau tahu pukul berapa sekarang?! Benar-benar sinting!"
Rutukan itu tak Sarah indahkan. "Maaf," ucapnya. Suaranya terdengar parau dan Jason membawanya ke dalam pelukan. "Selamat malam."
Terdengar decakan sebal yang membuat Sarah kian menitikan air mata.
"Sikapmu seperti ibu-ibu hamil muda. Aku sangat baik. Dan butik juga sama baiknya. Kau tahu, selama kau pergi pesanan dibutikmu membludak. Aku dan Eve sedikit kesusahan namun bisa kuatasi."
Dalam hati Sarah bersyukur dan senyum tak lepas dari sudut bibirnya. Setidaknya, jika Aleta baik-baik saja sudah cukup baginya.
"Apa aku merepotkan?"
"Tidak. Justru aku senang bisa membantumu. Kau masih lama kembali ke Paris?"
"Sepertinya belum. Jason mengurusi beberapa cabang restoran yang dikelolanya disini. Dan ah ya Aleta, aku akan membuka butik di sini juga. Bagaimana menurutmu?"
"Aku setuju saja. Kita mendapat tawaran dari beberapa label musik ingin memakai rancangan gaunmu. Untuk pembuatan video klip. Aku menyetujuinya. Maaf jika aku tak menghubungimu lebih dulu."
"Semua kuserahkan padamu Aleta. Baiklah, kurasa kau butuh istirahat. Begitu juga dengan bayi besarku yang merajuk."
Sarah terkekeh dan segera mengakhiri panggilan. Membalas pelukan Jason berharap mampu menenagkan firasat buruknya.
"Semuanya oke?" Sarah mengangguk. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jason. "Dia pasti bisa. Kau harus percaya padanya." Sarah masih terus menikmati aroma menenangkan dari tubuh suaminya.
Pikirannya terus berkelana pada isi email yang dirinya terima.
"Aleta terlalu tertutup," katanya setelah hening melingkupi.
Jason menepuki punggung Sarah pelan. "Sekali pun itu benar, Jeremy tak pernah main-main pada ucapannya."
"Apa aku terlihat bodoh? Mencampuri urusan orang lain dan mengabaikanmu." Kalimat terakhirnya Sarah ucapkan dengan ringisan penuh sesal. Yang segera di tertawai oleh Jason.
Pikirnya, entah dari mana dirinya dapatkan istri seperti Sarah. "Kau peduli bukan berarti terlihat bodoh. Itu karena kau sangat menyayangi Aleta."
Sarah menegakkan tubuhnya. Mengusap rahang kokoh milik Jason dan beralih melumat bibir tipisnya. Hanya beberapa detik—karena selebihnya Sarah bisa menebak ke mana berakhirnya.
"Aku payah," keluh Sarah. Menjatuhkan kepalanya di bahu Jason, mati-matian Sarah menahan tangis.
Jason menggeleng pelan. "Tidak sayang. Kau justru sangat membantunya. Hanya saja kita sedikit punya kerja tambahan sekarang."
Mata Sarah melotot sempurna mendengar ucapan suaminya. Jika bermain diranjang yang dimaksudnya sudah pasti Sarah menolak. Semalam penuh sudah ia kerahkan seluruh tenaganya guna mengimbangi Jason yang mirip banteng kesurupan.
"Kau baru mengijinkanku terlelap pukul empat pagi—jika lupa. Dan sekarang kau meminta jatahmu lagi?! Benar-benar." Sarah berteriak histeris yang ditanggapi tawa nyaring oleh Jason.
"Oh astaga. Kau sangat lucu sayang, sungguh. Namun bukan itu maksudku."
"Lalu apa?!"
Sarah tahu, Jason mulai mengerjainya. Pria itu sangat senang membuat moodnya naik turun terlebih perubahan pada wajah Sarah yang menurutnya sangat menggemaskan.
"Kita buat mereka bersama." Oh jadi pekerjaan tambahan yang Jason maksud adalah menyatukan mereka. "Dan soal Elora, aku akan bicarakan dengan Jeremy. Aku percaya, tidak mungkin jika Alex tak memiliki sedikit rasa terhadap Aleta."
"Serius?" Jason mengangguk. Meraup bibir Sarah menyatu pada bibirnya. Mengawali pagi dengan bercumbu meski Sarah akan mengamuk setelahnya.