Chapter 10 - Bab 10

Suasana riuh dengan blitz kamera yang saling terdengar tak mengusik jalannya upacara pernikahan dua sejoli yang begitu khidmat. Pengucapan janji suci dan beberapa khotbah dari pendeta serta pemasangan cincin di jari manis keduanya semakin membuat lautan manusia yang berdiri berdesakan semakin riuh. Sejoli itu saling melempar senyum dan menautkan bibir dengan sayang. Hal tersebut tak lantas menjadi momen yang dilewatkan oleh para pemburu berita. Pernikahan yang dilaksanakan secara tertutup dan hanya dihadiri beberapa sahabat, keluarga dan rekan kerja membuat beberapa perusahaan percetakan terheran juga bertanya-tanya.

Sebenarnya hal yang wajar saja jika itu terjadi dikalangan masyarakat biasa. Namun kali ini adalah pernikahan seorang model kelas dunia dengan seorang adik dari pemilik perusahaan tersohor di Amerika. Bukan hanya Amerika, bahkan negara lain dibelahan bumi lain pun mnegetahuinya.

Rancangan gaun sederhana yang terlihat elegan berpadu padan cocok dengan tuxedo yang berwarna senada. Sarah baru beberapa menit yang lalu resmi menyandang sebagai Ms Watson dan senyum terukir dari celah bibir mungilnya dengan polesan lipstik merah menambah kesan anggun dan menawan. Sang suami, Jason begitu tampan dan gagah dengan setelan tuxedo yang melekat pada tubuh atletis dan punggung tegapnya. Pria yang sedikit lebih mirip dengan putra sulung kakaknya ini terus mengembangkan senyum sembari menerima selamat dari para tamu undangan yang mulai memenuhi gereja.

Tak ada acara resepsi. Dua sejoli ini telah sepakat untuk tak memakai acara resepsi karena setelah acara ini usai, mereka akan segera bertolak ke Australia berbulan madu selama satu bulan.

"Kau sangat mengagumkan, Sarah." Wanita cantik dengan balutan gaun cantiknya memeluk Sarah erat seakan tak ingin dilepasnya. Membuat Sarah tersenyum bahagia dan membalas pelukan sahabatnya.

"Kau juga Aleta." Aleta mengangguk dan melepas pelukannya lantas bergeser memberi pelukan singkat kepada pria tampan di samping Sarah yang bernotaben sebagai pamannya.

Ketiganya terlibat obrolan seru dan melempar lelucon dengan tawa bahagia yang terpancar.

"Aku serahkan butik padamu. Maaf jika merepotkanmu." Sarah menunjukkan wajah menyesalnya membuat Aleta segera memberi sengatan kecil pada pinggang rampingnya itu.

"Kau berbicara apa?! Aku tak merasa direpotkan. Justru aku khawatir jika pelangganmu merasa kecewa nantinya. Kau tahu Sarah, mempunyai tanggung jawab sungguh membuatku tak bisa tidur." Sontak hal itu mengundang gelak tawa bagi Sarah juga Jason. Yang hanya dibalas rengutan diwajah cantik Aleta.

"Oh ayolah Sayang." Aleta melototkan kedua bola matanya dengan panggilan yang Sarah selorohkan. Membuat Jason tersenyum tipis melihat tingkah dua gadis didepannya ini. "Kau tak perlu merasa khawatir, oke. Eve membantumu."

"Baiklah, aku meng …" Belum sempat Aleta melanjutkan ucapannya, suara lengkingan mengalihkan pandang ketiganya dan tersenyum bahagia melihat siapa yang berdiri di depan mereka.

"Jazzy?" Aleta berangsur mendekati gadis kecil berumur delapan tahun yang baru saja memotong obrolannya, lantas memeluk dan menciumi pipi tembamnya yang merah seperti tomat. "Hai, kau datang. Aku merindukanmu."

Jazzy terkikik dengan apa yang dilakukan Aleta dan mengalungkan tangan mungilnya dileher Aleta, tanda meminta sebuah gendongan. Aleta memutar bola matanya dan mengembuskan napas kasar lantas segera mengangkat tubuh mungil seringan kapas ke dalam gendongannya.

"Mana Dad dan Mom. Lalu Jaxon?" Aleta menyapukan seluruh pandangan ke penjuru gereja dan binar matanya menangkap sosok yang dicarinya. Bergegas masih dengan Jazzy dalam gendongannya, Aleta menghampiri Ibu mertuanya yang tengah merayu putra bungsunya.

"Mom." Wanita paruh baya itu segera menoleh dan mengembuskan napas lega. Sembari tersenyum dan memeluk menantunya itu.

"Hai sweety. Aku bersyukur kau segera datang," lega Malle berucap sambil melirik ke arah kursi di mana putra bungsunya duduk manis dengan menahan tangis.

"Ada apa Mom?" Aleta merasakan khawatir melihat raut muka Ibu mertuanya.

"Jaxon merindukanmu dan ingin di peluk olehmu, tapi Jazzy sudah lebih dulu menguasaimu. Dan lihatlah, aku gila dibuatnya."

Aleta tersenyum dan berjalan menghampiri Jaxon. Wajahnya sudah memerah menahan tangis.

"Hai Sayang. Kau mau kupeluk. Kemarilah." Aleta merentangkan kedua tangan dan membuat bocah kecil itu tersenyum senang lantas berangsur turun dan mengalungkan kedua tangannya di leher Aleta. Sontak hal itu membuat Jazzy cemburu dan ikut memeluk hampir membuat Aleta terjatuh jika tidak menyeimbangkan badannya. "Kalian begitu merindukanku ternyata." Kedua bocah itu hanya menggumam di leher Aleta yang dibalas kekehan oleh Malle.

Wanita paruh baya itu tersenyum melihat kedua anaknya begitu dekat dengan Aleta. Ya, semua orang tahu. Bahkan mengetahui jika wanita bermata cokelat itu sangatlah ramah terhadap siapa pun.

Usai dengan acara pernikahan Sarah, Aleta melangkahkan kakinya keluar gereja. Sedang kedua bocah itu telah lebih dulu melanjutkan perjalanan bersama Ayah serta Ibu mertuanya. Kedatangan mereka ke Paris tak hanya sekedar menghadiri pernikahan adik dari Ayah mertuanya tersebut. Namun juga berkunjung ke beberapa negara bagian Eropa guna perjalanan bisnis. Beruntung bocah-bocah itu tak pernah rewel. Bahkan belajar pun mereka mengikuti kelas private dengan guru yang berbeda disetiap negara.

Pasti sedikit menyulitkan karena harus berinteraksi dengan orang baru setiap waktu. Menerima lingkungan baru juga orang-orang dengan karakter bberbeda

***

Kaki jenjang dengan balutan heels elegan melangkah masuk ke dalam sebuah mansion mewah yang berada di pedesaan Paris. Senyum manis selalu terukir sejak pertama menapaki lantai marmer dengan aroma sejuk khas pedesaan yang asri. Pikirannya melayang kebeberapa bulan yang lalu. Sudah lebih tiga bulan ternyata. Wanita cantik itu melangkahkan kakinya menuju kamar yang selalu dirindukannya juga kamar favoritnya ketika pertama kali menapaki kaki dibumi Paris. Sudah terhitung sampai hari ini menetap satu tahun lebih di Paris.

Jemari lentiknya bersiap memegang kenop pintu jika saja suara desahan yang terdengar disamping kamarnya tidak menyusup masuk ketelinganya. Menajamkan telinganya dan bergegas berjalan ke arah suara serta menelisik lewat celah pintu yang tak tertutup. Erangan tertahan juga racauan yang keluar begitu saja membuat gadis cantik itu hanya diam mematung. Memastikan bahwa bola matanya masih normal. Jantungnya berpacu cepat dan kakinya lemas seketika bagai jelly yang siap hancur. Cairan bening meluncur begitu saja dari sudut bola mata cokelatnya tanpa permisi. Membekap mulutnya dan menahan tangis.

"Tuhan!" lirihnya dan segera melangkah masuk kearah pintu kamar yang tepat berada di samping suara desahan menjijikkan itu terdengar.

Tubuhnya limbung merosot ke bawah terduduk tepat dilantai marmer yang dingin. Hatinya mencelos melihat apa yang baru saja disaksikan oleh matanya sendiri.

"Aku bahkan tak percaya jika wanita itu tega melakukan ini pada Alex," gumamnya lirih. Entah pada siapa wanita itu mengucapkannya, namun di kamar gelap ini semakin sunyi mengingat hanya dirinya yang menempati.

"Aku harus bagaimana?" lirihnya lagi. Berucap dan bergumam sendiri. "Kenapa Alex menempatkanku pada posisi sulit seperti ini." Air matanya bahkan tak mau berhenti mengalir. Membuatnya semakin menangis sesenggukan.

Hampir satu jam wanita itu menangis dan berada di dalam kamarnya sendiri dengan suasana gelap. Duduk dilantai dingin sembari memeluk lutut. Enggan menyalakan lampu meski hanya lampu tidur. Ketukan halus yang berada di pintu mahoni cokelat tempatnya menyender tak diindahkan sama sekali hingga suara bariton lembut membuatnya mendongakkan kepalanya. Benar, tak salah lagi.

Wanita itu segera berdiri dan membuka pintu.

"Astaga apa yang …" Belum sempat suara seksinya mengucapkan pertanyaan dengan sarat khawatir, terjangan pelukan hampir membuatnya terjungkal.

Kedua alis tebalnya saling bertaut namun bibirnya hanya diam. Tak mampu membuka suara. Entah apa yang dirasakan lelaki tampan itu. Namun senyum bahagia mengembang dibibirnya lantas memeluk erat gadis di depannya sembari mengelus rambutnya yang halus dan mendaratkan ciuman dipuncak kepalanya.

"Apa yang terjadi Aleta? Kau pulang dan hanya mengurung diri sejak siang tadi. Kau tahu, para pelayan sangat khawatir padamu. Kau bahkan melewatkan makan siang dan malammu." Pria itu masih menyalurkan ketenangan pada wanita yang berada dipelukannya.

Aleta melepas pelukan dan menatap kedua bola mata cokelat madu yang sangat disukainya dengan tajam dan membuat lelaki dihadapannya salah tingkah. Aleta membuang muka dan mendengus kasar. Membuat pria itu terheran dan berdecak kesal.

"Kau, apa saja yang kau lakukan sampai pulang selarut ini Alex?! Tentu saja aku menunggumu!" Walaupun terdengar seperti pertanyaan biasa, namun ungkapan kalimat terakhir dari Aleta mampu membuat Alex mengulum senyum bahagia. Kedua tangan kekarnya menangkup kedua pipi tirus Aleta dan memberi kecupan hangat dikening istrinya.

"Aku rapat. Maaf membuatmu menunggu. Kau kenapa tiba-tiba pulang? Bukankah sudah kukatakan aku akan pulang ke apartemenmu."

"Aku merindukanmu jika kau ingin tahu," jawab Aleta cepat lantas berjalan masuk kearah kamarnya dan duduk ditepi ranjang sembari melipat kedua tangannya. Memasang wajah cemberut. Membuat Alex gemas.

"Baiklah. Aku minta maaf, oke."

Terlihat Aleta berpikir dan membuat Alex gemas lalu menciumi seluruh wajah Aleta.

"Hentikan Alex! Itu geli. Aku menyerah. Aku memaafkanmu."

"Kau mudah sekali menyerah!" seru Alex sambil mengibaskan tangannya ke udara.

Terdengar dengkusan dari Aleta dan melotot tajam ke arah Aleta. "Alex aku ingin lasagna tapi kau yang memasak."

Ini hanya sebuah alasan klasik agar Alex tak bertanya lagi. Pikirannya masih diselimuti kenyataan pahit yang baru saja menghantam keras pertahanan hatinya. Jika saja kejadian beberapa jam lalu tak didapatinya, Aleta dengan mudah melepas Alex. Meski tak dipungkiri jika hatinya sudah terperosok masuk kedalam pesona dan kharisma Alex. Namun sayang, rasa cinta mendominasi di atas segala ego yang dibangunnya. Bahkan beberapa hari yang lalu, Alex sendiri enggan menceraikannya.

Kedua bola mata Alex melotot sempurna mendengar penuturan Aleta. "Kau hamil? Kenapa kau mengidam?"

"Ya sudah kalau tidak mau. Aku tidur. Kau menyebalkan Alex!" Aleta bergegas menaiki ranjangnya dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Oh ayolah Aleta. Aku hanya bercanda. Kenapa kau begitu sensitif. Astaga. Aku tidak percaya kau hamil. Aku bahkan belum sekali ..."

"Aku tidak hamil Alex! Kau pikir aku wanitamu yang memberikan tubuhnya pada semua pria!? Bahkan kau sendiri yang mengatakan untuk memberi tahumu apa yang aku mau. Aku mau lasagna Alex!"

Aleta memotong ucapan Alex. Namun sedetik kemudian barulah menyadari kebodohan bibirnya yang mengatakan kenyataan yang dilihatnya.

Dengan gerakan kasar, Aleta merasakan sebuah tangan membuka selimutnya. "Apa maksud ucapanmu?!" Aleta mengalihkan pandangan matanya ke arah jendela tak berani menatap tatapan tajam milik Alex. Bola mata selembut karamel menggelap tanda kemarahan menyelimuti dirinya.

"Tidak ada," jawab Aleta singkat dan menarik kembali selimut untuk menutupi tubuh mungilnya.

Namun gerakannya terhenti tatkala Alex menarik lengannya untuk duduk. "Jawab aku Aleta! Apa maksud ucapanmu tadi?"

Suaranya naik satu oktaf membuat Aleta bergidik ngeri dan menundukkan kepalanya dalam.

"Tatap aku Aleta! Lihat aku!" perintah Alex dengan keras dan mengangkat dagu Aleta kasar.

"Tidak a ..."

Plak!

Tamparan keras mendarat tepat di pipi mulus kanan Aleta. Tanpa di komando cairan bening itu keluar dari sudut bola matanya.

"Aku tak menerima bantahan apa pun! Aku tahu kau membenci Elora, tapi bukan berarti kau bisa sesukamu menuduh Elora berselingkuh. Aku lebih mengetahui tentang Elora dari pada kau, Aleta!"

Alex bergegas ke luar meninggalkan Aleta dan membanting pintu keras. Siapa pun yang melihat hal itu pasti akan ketakutan melihatnya emosi.

Aleta sudah menduga jika Alex tak akan percaya begitu saja. Sekali pun bukti nyata ada di depan matanya. Cinta untuk Elora masih menduduki tahta hatinya. Aleta menangis tertahan hingga sebuah gerakan santai menghampiri dan berdiri disisi ranjangnya.

"Pasti sakit sekali," ucapnya tersenyum mengejek.

Aleta menatap tajam ke manik biru cerah wanita dihadapannya dengan sengit.

"Kau harus lebih berusaha Aleta. Itu saranku." Tangannya mengusap pipi kiri Aleta dan segera dihentakkan kasar. Lagi, satu tamparan mendarat di pipinya.

"Kau memang jalang! Kasihan sekali Alex. Kau tahu, kau tak lebih rendah dariku. Jika kau mengatakan aku merebut Alex darimu tapi kau jauh lebih rendah dari semua itu. Kau yang seharusnya sadar."

Elora menggeram kesal dan siap melayangkan tamparan namun ditangkis oleh Aleta.

"Kenapa? Aku benar, 'kan? Kau sangat takut kehilangan Alex makanya kau berusaha membuatku pergi dari rumah ini. Kau menang. Tapi kali ini tidak. Aku belum menyerah, jika kau ingin tahu. Hari ini aku memang gagal. Tapi besok, kenyataan akan menghampiri Alex."

"Kau berani sekali melawanku, jalang!"

"Memangnya kenapa aku harus takut padamu. Jika aku jalang, lalu kau apa? Tidur dengan semua pria tanpa punya ikatan apa pun. Cih! Kau pikir dirimu paling bersih di dunia ini!?"

Elora bungkam sempurna dan berlalu pergi dari kamar Aleta.

Aleta merosot dan kembali menjatuhkan air matanya. Membekap mulutnya dan terisak. Bahkan jika harus bersaing dengan Elora, takkan pernah dirinya menang mendapatkan hati Alex. Karena lelaki itu hanya mencintai Elora. Lalu apa artinya dirinya hadir ditengah-tengah mereka?

Air mata itu bahkan mengalir semakin deras dengan dada sesak tertimbun beban berat.