Chapter 9 - Bab 9

Di tempat lain

Cahaya remang yang dihasilkan dari bolam kecil tak cukup penerangan untuk melihat dengan jelas seorang pria yang terduduk lemas dengan tangan serta kaki terikat. Terlihat beberapa darah yang sudah mengering memenuhi wajahnya yang tak lagi tampan. Dengan sedikit bias, bola matanya mencoba terbuka perlahan. Mengedarkan seluruh pandangan keseluruh ruang sempit dan pengap.

Indra pendengarannya menangkap asal suara sepatu fantovel dengan langkah yang mengikuti berpadu dengan lantai kayu yang telah usang.

Kedua bola matanya menangkap sepasang sepatu mahal berdiri tepat di depannya dan tak berniat mengangkat wajahnya.

"Bagus karena kau sudah bangun." Suaranya tajam tapi tak menghilangkan kesan tegas dalam setiap pengucapannya.

Menghempaskan pantatnya disebuah kursi, lelaki tersebut duduk menghadap dengan kaki terangkat satu bertumpu pada kakinya yang satu. Ciri khas pria kaya dan sombong. Sambil mematikan sebatang rokok yang telah bertengger manis pada bibirnya.

"Kau bisa menjelaskannya padaku. Dan kau aman," ucapnya lagi dengan santai.

Pria yang duduk di depannya hanya semakin menundukan kepalanya dalam. Terintimidasi dengan tatapan tajamnya.

"Su ... sungguh Tu … tuan. Sa … saya tidak tahu ap ... apa-apa," jawabnya terbata dan semakin menunduk dalam.

Pria itu membuang putung rokoknya dan segera berjalan mendekat. "Aku tak suka dikhianati. Apa pun alasannya. Kau bahkan tahu jika perusahaan selalu bisa memberi pinjaman bagi yang ingin meminjam dan aku memotongnya dengan gaji kalian. Tanpa bunga dan hanya satu persen. Bukankah itu sudah cukup rendah." Menghela napas, pria itu mengambil pistol yang tersimpan dibalik jas mahalnya. "Kau membuatku harus melakukan ini Antonio!" Hanya dalam kedipan mata, peluru tersebut sudah bersarang pada tiga titik lelaki di depannya. Bau anyir darah memenuhi ruangan.

"Bereskan mayatnya! Aku tak ingin ada jejak!" suruhnya pada beberapa anak buah yang sedari tadi berdiri di belakangnya sembari memberi hormat.

Pria itu segera berjalan menuju ke mobil yang telah menunggunya dan segera melesat meninggalkan tempat kotor itu.

***

Aleta hanya diam memandang bangunan menjulang tinggi yang berada tepat di balkon kamarnya. Tinggi, kokoh serta tak terkalahkan dengan apa pun. Bahkan dia tetap berdiri kokoh meski beberapa musim menyapanya. Tak lelah meski berdiri terlalu lama. Tak kalah meski musim berganti dan menerjangnya. Aleta iri dengannya. Kenapa dirinya tak bisa sekokoh itu hanya untuk berdiri. Bahkan hatinya terasa terporak-porandakan hanya dengan satu kalimat cinta.

Pandangannya menerawang menatap langit yang sudah menggelap. Gerimis sejak sore tadi belum usai dan semakin melengkapi pikirannya. Memejamkan mata, ingatannya kembali pada kejadian di mana Aleta inginkan berpisah dari Alex dan sampai saat ini pria itu, yang masih berstatus sebagai suaminya, belum memberinya jawaban. Keadaan ini semakin membuatnya bingung.

Aleta melirik jam yang melingkar ditangan kanannya dan berjalan masuk mengambil tas lantas keluar. Aleta harus menyelesaikan semuanya sekarang.

Aleta berjalan masuk ke restoran. Duduk di samping jendela dan menatap keluar. Jalanan masih ramai walau malam semakin larut. Restoran juga mulai ramai dan beberapa pasangan muda saling bercengkerama dan sesekali tertawa bersama.

"Kau sudah lama menunggu?" Aleta menolehkan kepalanya dan menatap sosok yang telah lama ditunggunya. Sedikit tersenyum Aleta menggeleng pelan.

"Kau ingin makan." Setelah terdiam satu sama lain Aleta mencoba mencairkan suasana.

"Tidak," Jawabnya tegas. Wajahnya begitu tenang dan tatapan matanya tepat beradu pandang dengan manik Aleta. "Aku merindukanmu Aleta." Aleta terdiam mendengar penuturannya dan menunduk lama.

Beberapa menit berlalu dan hanya terdengar suara napas yang saling menyahut.

"Tatap aku!" Suara selembut sutra namun sarat akan tuntutan membuat Aleta semakin takut untuk melihatnya. Sampai dirinya menyadari, tangan halus juga kekar menyentuh dagunya dan memaksanya untuk menatap bola matanya. "Aku merindukanmu Aleta. Sangat. Kau tak merindukanku?" Aleta melihat binar tulus dari hazel mata cokelat madu miliknya yang tak ada kebohongan sedikit pun.

Aleta menggeleng kelewat cepat dan membuatnya menyunggingkan senyum di bibir merah mudanya.

"Sayangnya matamu mengatakan iya, Aleta." Aleta mencoba melepas tangan halus itu dari dagu miliknya, namun nihil. "Biarkan seperti ini."

"Kenapa kau suka sekali memaksaku, Alex?" Suara Aleta tercekat. Padahal mati-matian Aleta menahannya. Agar suaranya terdengar biasa. Namun hasilnya malah seperti ini. Bahkan air matanya mendesak ingin keluar jika aku tak bersusah payah menahannya.

"Aku benci melihatmu pergi." Aleta menajamkan matanya mendengar jawaban yang begitu ringan meluncur dari bibirnya.

"Kenapa?" Entah sejak kapan Aleta punya keberanian menaikkan nada satu oktafnya ketika berbicara dengan Alex.

Aleta melihat Alex mengusap kasar wajah tampannya dan mendongakkan kepala ke atas dengan tatapan sendu. Entah apa yang telah terjadi padanya saat ini.

"Kau tak tahu Aleta. Aku benci melihatmu pergi dan menyadari kenyataan bahwa kau tak ada disampingku. Aku benci hal itu!"

Aleta mencerna semua ucapan yang baru saja dirinya dengar. Seperti ribuan kupu-kupu yang beterbangan di dalam hatinya.

"Aku mohon, Aleta." Tubuh Aleta menegang tatkala tangan halus Alex menggenggam jari-jemarinya.

Bukankah Alex miliknya?

Bolehkah Aleta egois?

"Aleta, please." Aleta kembali tersadar dari lamunan akan pikirannya sendiri dan tatapan mata keduanya saling bertemu. Hazel mata Alex menyiratkan permohonan, dan yang Aleta lihat adalah penyesalan mendalam.

Seketika hati Aleta berdesir melihat tatapan matanya yang lembut dan hangat. Tak seperti dulu diawal-awal pertemuan keduanya

"Aku ingin memulai semuanya dari awal Aleta, bersamamu. Maukah kau?" Dada Aleta berdenyut. Ajakan Alex terlampau gila sehingga sukses mengunci mulutnya.

"Kau diam, kuanggap sebagai persetujuan." Aleta menundukkan kepalanya dan menghirup udara sebanyak mungkin. Menatap lekat ke dalam hazel madu Alex.

"Kau tak bisa memiliki dua hal dalam satu waktu, Alex. Aku mohon, ceraikan aku. Aku tak ingin menyakiti perasaan Elora." Aleta sukses meluncurkan jawaban yang sejak tadi ditahannya dan jujur saja, rasa sakit tak bisa dirinya abaikan dengan pengakuan terakhirnya.

"Kenapa kau begitu mau bersusah payah memikirkan perasaan orang yang bahkan sering kali menyakitimu!" jawaban Alex terlampau sarkastik. Namun bukan itu fokus Aleta saat ini. Genggaman tangan Alex di jemarinya yang tak terlepas meski menit sudah berselang.

"Dia kekasihmu, apa kau lupa? Dan …"

"Jika dia kekasihku lalu apa aku salah lebih memilih untuk bersamamu! Jawab aku, Aleta. Di mana letak salahku?" Aleta terperanjat kaget mendengar jawaban Alex yang terselubung emosi. Bahkan beberapa pasang mata menatap heran ke arah keduanya merasa terganggu dengan teriakan Alex. "Kenapa begitu susah membuatmu mengerti Aleta. Bahwa aku ..." Alex menggantungkan kalimat yang akan diucapkannya dan sorot matanya sarat akan luka. "Bahwa aku sangat menyesal tak menyadari arti penting hadirmu dihari-hariku".

Aleta berharap tak salah dengar. Ini seperti mimpi. Kalimat yang selalu dirinya harapkan, terlontar begitu saja disertai lelehan bening di sudut mata Alex.

Hati Aleta terasa ditampar keras dengan beban ribuan ton yang menghimpit rongga dadanya. Cairan itu, meluncur bebas tanpa permisi membahasi kedua pipi Alex. Membuat Aleta semakin bersalah dan menundukkan kepalanya dalam.

"Maafkan aku." Hanya itu yang bisa Aleta ucapkan.

Hening kemudian. Aleta merasa sangat bodoh karena melihat air mata itu terjun bebas dikedua sudut mata Alex. Dan itu menjadi sebuah kelemahan untuknya.

Aleta memberanikan diri mengangkat kepalanya. Namun belum sepenuhnya terangkat sebuah benda kenyal lembab mendarat tepat dikeningnya dan membuatnya terdiam seketika seperti patung. Alex menciumnya.

Detik selanjutnya yang Aleta rasakan adalah sebuah lengan kekar yang menarik lengannya halus serta jari jemari yang saling menaut menggiring Aleta berjalan ke arah pintu keluar restoran.

Aleta masih belum menguasai diri sampai akhirnya Alex membukakan pintu mobilnya dan menyuruh Aleta masuk. Aleta berdiri mematung, tidak mengerti dengan apa yang terjadi terlebih kejadian beberapa menit yang lalu masih terasa melekat diotaknya. Sampai sebuah tangan halus mendudukannya dikursi penumpang sambil memasang safety belt untuknya barulah Aleta tersadar. Aroma maskulin menyeruak memenuhi rongga hidungnya.

Detik selanjutnya, Aleta merasakan mobil ini bergerak dan berbaur dengan mobil lainnya. Aleta terdiam. Dan Alex fokus pada jalan di depannya.

15 menit berlalu, Aleta mengerjapkan matanya—tersadar—jika ini menuju ke arah apartemennya. Sebuah tanya sempat menyelubungi otaknya, namun urung dirinya lakukan.

Aleta kembali tertegun ketika mobil yang Alex kemudikan berhenti di basement diikuti kesertaan Alex yang turun serta.

"Untuk apa kau turun?" Pertanyaan yang sedari tadi Aleta tahan lantas meluncur keluar dari bibirnya.

Bukan menyuarakan jawab, Alex justru menggenggam tangan Aleta dan mengajaknya masuk.

Aleta semakin terheran karena Alex juga ikut melangkah masuk begitu pintu apartemen terbuka sempurna dan bergegas masuk ke kamar Aleta masih dengan menggenggam tangan mungilnya.

"Aku lelah," jawab Alex setelah lama bungkam.

Aleta menautkan kedua alisnya. "Lalu?"

"Aku ingin tidur di sini, bersamamu," jawaban tegas Alex termasuk bentuk ketidakinginannya di tolak. "Kemarilah. Kau merindukanku bukan? Aku juga."

Aleta mendengkus kasar dan berjalan menuju ke sisi ranjang sebelah kiri. Membaringkan badannya disamping Alex.

Baru beberapa detik kedua bola mata Aleta terpejam, gerakan pelan disisi ranjangnya membuat kedua mata Aleta terbuka. Membulat sempurna dengan apa yang dilihatnya, Aleta memalingkan wajahnya—panas menjalari pipinya—dan kesehatan jantungnya dipertaruhkan.

Alex terkekeh. Melirik sekilas dan berkata, "ini bukan pertama kalinya kau melihatku seperti ini. Kau merona?!"

Bagus sudah. Aleta ketahuan sedang memanas. Tidak! Tapi mengagumi. Lihatlah bagaimana sempurnanya tubuh atletis pria ini. Lengan kekar juga dada yang bidang. Dan beberapa torehan tinta permanen yang membuatnya semakin seksi. Dari itu semua, Aleta menyukai tato salib yang tepat berada didadanya. Menambah kesan religius dan campuran maskulin secara bersamaan.

Aleta menutup seluruh badannya dengan selimut tebal dan memejamkan kembali matanya. Namun lagi-lagi sebuah lengan kekar tepat berada diatas perutnya mengusik kenyamanannya. Dengan kesal, Aleta membuka selimut dan melihat ke bawah. Lengan dengan penuh tato itu memeluknya.

Melirik ke arah kanannya dan matanya bertatapan langsung dengan mata Alex yang sedang menatapnya intens.

"Kenapa? Apa aku mengganggumu?"

Aleta menggeleng pelan dan memiringkan badannya. Menyembunyikan senyum juga rona pada wajahnya yang seperti tomat. Aleta merasakan Alex menarik badannya pelan. Menempel bagaikan perangko, sengaja membalik tubuh Aleta sehingga dengan nyaman Alex cerukan wajahnya di tulang selangka Aleta.

"Good night, dear."

Rahang Aleta sempat ingin terjatuh. Entah Alex yang mengigau atau memang pelukan ini terlampau nyaman—membuatnya tertegun sejenak; Alex memanggilnya bukan namanya dan ribuan kupu-kupu terbang di perutnya.

***

Ontario, Kanada

"Tuan muda terlihat makan malam bersama dengan Ms Aleta, Tuan. Juga kembali bersama menuju ke apartemen pribadi Ms Aleta. Sepertinya perceraian itu hanya angin lalu Tuan."

Jeremy tersenyum mendengar laporan dari salah satu orang kepercayaannya. Kinerjanya memang patut diacungi jempol. Bertahun-tahun memperkerjakannya dan selama itu hasilnya selalu bersih.

"Tetap awasi mereka. Aku tak ingin wanita sialan itu mendekati putraku. Bukankah menurutmu menantuku itu sangat baik, Clark. Aku yakin kau paham arti kata-kataku".

"Tuan benar. Dan sepertinya wanita itu semakin menjadi mendekati Tuan Muda. Ms Aleta lebih dari baik dalam segi apa pun."

"Ah ya. Lalu bagaimana dengan pengkhianat yang mencoba menerobos sistem kantor cabang di Paris?" Seakan tersadar, pria paruh baya itu bertanya dan menghentikan aktivitas membubuhi tanda tangan pada sebuah file yang menyita waktunya sejak pagi tadi.

"Tuan Muda sudah membereskannya."

Tersenyum bangga—lagi—pada putra sulungnya. Tak salah menjatuhkan semua perusahaannya karena memang Alex bisa diandalkan.

"Baiklah, kau boleh keluar. Tetap pantau dan laporkan padaku."

Pria itu hanya menunduk hormat dan segera berjalan keluar.