Chapter 8 - Bab 8

Rasanya seperti kehilangan tapi tidak tahu apa.

Alex mengembuskan napasnya berkali-kali. Mencoba mengingat pada beberapa lembar foto yang dirinya terima. Beberapa bulan telah berlalu dan sepi mulai melingkupi sisi hatinya. Walau kehadiran Elora tidak menampik sisi sepi pada hatinya—enam tahun bersama bukan kisah singkat yang bisa dirinya abaikan begitu saja. Namun pernikahan yang terjadi antara dirinya dan Aleta menyisakan ruang tersendiri untuk sebuah rasa yang masih Alex ragui. Hanya sedikit dan Alex tidak tahu kapan rasa ini muncul. Namun melihat kepergian Aleta dengan sorot mata tersakiti membuat relung hati Alex merasakan perih tak berkesudahan. Atau malah menyesal?

Hampir satu tahun menikah, tinggal dalam satu atap yang sama dan yang Xander sesalkan adalah kebodohan dirinya yang tidak mengenal sosok Aleta sama sekali. Terlebih perkataan terakhirnya yang membawa nama orang tuanya—sungguh—itu di luar kendali kehendaknya. Mulutnya meluncur bebas lantaran dominasi emosi. Dan benar, Alex mengakui rasa sesalnya.

Dengan sikapnya yang terlampau bodoh, Alex mengingat sesuatu.

***

Pagi hari cerah, suasana dapur dalam mansion bergaya minimalis itu sedikit riuh karena suara tawa dan saling melempar candaan hangat tengah terbangun. Bersama beberapa pelayan, Aleta membantu menyiapkan sarapan pagi yang memang menjadi rutinitasnya sebelum ke kantor.

"Ah, Ken. Kenapa tak bilang padaku jika semua bahan di kulkas hampir habis," ucap Aleta sambil mengecek apa apa saja yang akan dibelinya nanti. "Kalian bahkan tidak mengatakan padaku bahwa kebutuhan yang lain juga hampir habis," sambung Aleta lagi.

Jemari lentiknya mulai memotong halus jamur yang memang menjadi menu sarapan paginya kali ini.

"Aku tak ingin merepotkanmu Nona." Ken menjawab setelahnya mendengar penuturan Aleta. "Siang nanti aku akan ke supermarket."

"Aku akan menemanimu berbelanja. Sedikit terlambat ke kantor tak masalah kurasa," jawaban santai dari bibir mungilnya sontak membuat para pelayan yang lain melebarkan tawa.

Tak di pungkiri, jika para pelayan menyukai Nona Mudanya yang satu ini. Bagaimana tidak. Bahkan, Aleta mau berepot-repot membantu memasak juga berbelanja kebutuhan dapur. Bukankah itu pekerjaan para pelayan di rumah ini. Berbeda jauh dengan kekasih Tuan Mudanya yang sangat sombong dan kasar. Namun begitu, mereka masih bersikap manis dan menuruti.

"Aku akan mengganti bajuku sebentar Ken. Kau bersiaplah." Suruh Aleta seraya berjalan keluar dapur menuju ke kamarnya.

Selang beberapa menit, dengan kaos yang sedikit kebesaran yang di lipat ujungnya guna memberikan bentuk badan rampingnya dan jeans biru yang membungkus kaki jenjangnya, Aleta bergegas keluar menuju halaman depan tempat Ken juga supir yang akan mengantar mereka menunggu. Sambil menentang tas tangannya dan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.

"Kau akan kemana?" Bariton lembut itu mengalun menyusup melalui indra pendengaran Aleta membuat langkahnya terhenti yang sebentar lagi mencapai pintu utama. Dengan gerakan santai, Aleta menghadap ke belakang, mencari sosok yang melayangkan pertanyaan padanya.

"Berbelanja. Persediaan di dapur hampir habis. Aku sedikit terlambat kekantor." Usai menjawab dan mengatakan tujuannya, Aleta segera melanjutkan langkahnya. Namun lagi-lagi suara itu membuatnya terpaksa harus mengurungkan niatnya.

"Ini, ambillah!" Aleta mengerutkan dahi diselingi dengan gelengan.

"Tidak. Terima kasih." Bergegas Aleta meninggalkan Alex yang berniat menyodorkan kartu kredit padanya. Bukan apa-apa, hanya saja menerima pemberian pria yang notabennya suaminya belumlah terbiasa. Toh, uang tabungannya masih cukup untuk berbelanja.

***

Sekarang Alex tahu, Aleta bukan wanita yang mudah tergiur dengan barang-barang mewah. Istrinya itu sangat sederhana dalam berbagai hal termasuk selera memilih pakaian.

Istrinya? Alex sedikit terhenyak ketika sebutan itu melintas dari pikirannya. Dorongan dari dalam hatinya terus menolak. Tidak seharusnya seperti ini tapi otaknya terus memaksa. Bahwa Aleta memang miliknya dan baru kali ini hatinya tidak sejalan dengan pikirannya. Sekali pun perasaan cinta belum muncul sepenuhnya—benarkah?—Alex meragu.

Seharusnya seperti ini. Meski tidak saling mengenal satu sama lain, belum bertumbuhnya perasaan di antara keduanya, Alex sebagai seorang pria—seharusnya bisa—berpikir lebih luas terlebih dalam mengambil tindakan. Dan meskipun perasaan cinta belum tumbuh, ada satu titik ternyaman di mana Alex merasa kehilangan. Dan membentuk suatu lingkup pertemanan bukan ide yang buruk.

Sayangnya, kesadaran Alex baru menguap sekarang ini. Saat Aleta tak berada dalam jangkauannya dan merutuki betapa bodoh serta pengecutnya dirinya, Alex sangatlah malu.

Getar ponsel menarik kesadaran Alex untuk kembali dalam kenyataan dan segera meraihnya tanpa melihat siapa yang memanggilnya. Membuatnya mau tak mau untuk menerimanya dan berjalan ke arah belakang kursi kerjanya menatap senja keemasan yang mulai beranjak.

"Alex! Aleta merusak gaunku!"

Suara lengkingan yang sangat Alex kenali terdengar begitu benda pipih itu menempel di telinganya.

"Kau bisa membelinya dengan yang baru sweety." Mendapat decakan sebal di seberang sana, Alex mengatupkan kedua matanya. Ada perasaan muak merambati dan Alex tidak tahu dari mana awal mulanya.

"Sudah tak ada waktu. Acaranya nanti malam. Gaun ini sudah aku pesan jauh-jauh hari dan sialannya jalang murahan itu merusaknya. Jalangmu yang keparat."

Alex tak menyukai cara Elora mengatai Aleta jalang yang sebenarnya jauh dari kenyataan. Alex pikir, Elora tidak akan membesar-besarkan masalah sesepele ini tapi tetap saja, dia wanita yang menyanggah apapun asal benar menurutnya.

"Jadi kau ingin bagaimana? Bersiaplah. Tiga jam lagi kita berangkat." Alex sedang dalam mood tak baik dan tak ingin berdebat panjang lebar dengan Elora. Dan sebisa Alex untuk meredakan emosinya walau ia tahu itu sulit.

"Jalang itu bahkan menampar pipiku." Jantung Alex serasa berhenti ditempatnya mendengar apa yang diucapkan Elora. Benarkah? Rasanya tak mungkin jika Aleta melakukan hal kasar seperti itu. Melihat bagaimana sikapnya yang selalu mengalah dan menghindari masalah. Namun sekarang?

Tangan Alex merosot sempurna membuat benda pipih yang ada dalam genggamannya berpindah tercecer dilantai. Meski telinganya masih berfungsi dengan benar.

***

Blitz kamera menyorot kedatangan sebuah mobil mewah yang membawa dua orang di dalamnya. Kilatan cahaya kamera tak lepas bahkan sebelum pintu terbuka memunculkan seorang lelaki tampan berkharisma dengan setelan rapi jas berwarna biru dan tatanan rambut rapi. Tak dipungkiri sorot tajam mata elangnya berhasil membuat beberapa paparazi menciutkan nyalinya.

Diarah pintu lain, keluar seorang gadis yang wajahnya belum pernah sekali pun menghiasi layar kaca atau masuk dalam artikel. Wanita dengan tatanan rambut ke atas mempertontonkan leher jenjang dengan gaun seksi transparan yang membungkus tubuh mungilnya. Siapa pun yang melihatnya dengan decak kagum memperhatikan lekukan tubuh rampingnya dengan gaun yang kontras dengan warna kulitnya yang putih berseri.

Tangan lelaki itu segera terulur menarik masuk gadisnya dan membawa masuk ke dalam gedung.

Pemburu berita berbondong-bondong menanyakan siapa gadis ini. Sebagian dari mereka terheran karena lelaki muda pimpinan sebuah perusahaan tak datang bersama istrinya.

"Alex, bisa jelaskan siapa wanita ini?"

"Kenapa kau tak datang bersama istrimu?"

"Apa benar kau dan istrimu berpisah rumah selama beberapa bulan ini?"

Lelaki itu, Alex, hanya diam dan tetap berjalan dengan tenang. Semua pemburu berita selalu saja berusaha mencari informasi tentangnya.

Sudut matanya menangkap sesosok gadis cantik dengan gaun yang begitu pas dengan tubuh juga kulitnya. Sepersekian detik, Alex hanya mematung memandangi sosok tersebut. Mempertajam penglihatannya dan bibirnya tersenyum tatkala menyadari gadis yang diperhatikannya adalah istrinya, Aleta. Gadis yang dinikahinya selama satu tahun ini berada dalam satu ruang dengannya.

Perlahan, Alex menghampiri Aleta yang berdiri tak jauh darinya dan meninggalkan gadis yang tadi datang bersamanya. Kedua bola mata cokelat madunya terpatri hanya pada satu titik; Aleta. Bibirnya tak henti mengulum senyum. Ah, istrinya benar-benar cantik. Lihatlah. Sapuan make up tipis bahkan tak meninggalkan jejak natural diwajahnya. Juga leher jenjang yang terekspos sempurna dan gaun yang memperlihatkan punggung mulusnya membuat Alex semakin mengembangkan senyum.

Kali ini batinnya membenarkan kata Ibunya. Tak salah jika Aleta sangat disukai keluarga besarnya. Bahkan, Alex masih ingat ketika adik perempuannya yang berkunjung beberapa waktu lalu hanya mau diurusi oleh Aleta. Membuatnya ekstra dalam memohon pada Aleta untuk kembali ke mansion.

***

Suara rengekan manja sedikit mengganggu aktivitas tidur Alex. Tapi gadis kecil ini terus saja merengek tanpa henti sejak lima menit yang lalu.

"Kau bisa mandi dengan Elora, Jaz?" seru Alex dengan kesal dan menutup seluruh badannya dengan selimut kembali.

"Aku mau Aleta!" Tangisnya semakin pecah. Membuat Alex yang bernotaben kakaknya bangkit dan duduk disisi ranjang. Mengalah, bangkit berdiri menuju kamar mandi mengganti pakaian tidurnya dengan kaos oblongnya juga jeans santai selutut.

"Kau akan dapatkan yang kau mau. Kemarilah, beri aku peluk dan cium." Jazzy segera berlari dan berada digendongan kakaknya. Wajahnya berseri dan segera melayangkan kecupan-kecupan pada pipi kakaknya dengan liur yang meninggalkan bekas.

Alex tertawa melihat tingkah lucu adik perempuannya. Lantas bergegas mengambil kunci mobil dan keluar dari mansion. Mengarahkan mobil menembus pagi dan menuju apartemen di mana istrinya tinggal.

Jazzy yang duduk dalam pangkuannya mengoceh tanpa henti membuat Alex menyunggingkan senyumnya bahagia.

Setelah satu jam perjalanan, mobil yang Alex kemudikan terparkir sempurna di pelataran mewah apartemen dan segera memasuki lift menekan tombol angka 12 di mana letak kamar istrinya berada.

Dengan gadis kecil dalam gendongannga, beberapa pasang mata menatapnya kagum. Menganggap Alex adalah Papanya yang sangat menyayangi putri kecilnya.

Pikirannya melayang pada sosok Elora. Jika saja kekasihnya itu bisa memberinya seorang anak. Pastilah sangat membuatnya bahagia. Sayangnya tidak. Dan hal itu membuat Alex menelan bulat-bulat keinginannya memiliki anak dari rahim kekasihnya sendiri.

Jazzy masih setia dalam gendongan Alex yang menekan tombol bel penuh ketidak sabaran. Membuat si pemilik sedikit menggerutu tatkala membuka pintu.

"Ya Tuhan, ini hari minggu dan kau ... Alex?" pekik Sarah ketika menyadari yang berdiri di depannya adalah Alex. Tatapan matanya beralih pada gadis kecil yang menunjukkan senyum dengan gigi rapi dan pipi yang memerah.

"Hai bibi." Suara cicitan lembut dan manja gadis kecil itu membuat Sarah tersenyum.

"Aku ingin bertemu Aleta. Gadis nakal ini hanya mau diurusi Aleta," ungkap Alex menyampaikan maksud kedatangannya dan mengganggu waktu istirahat si pemilik apartemen.

Sarah mengangguk dan mempersilahkan Alex masuk lalu duduk di sofa ruang tamunya.

"Akan aku panggilan Aleta. Hei gadis kecil, kau mau ikut denganku membangunkan Aleta."

Jazzy mengangguk antusias dan segera turun dari gendongan Alex lalu berlari menghampiri Sarah.

***

Terlalu fokus dengan pikirannya sendiri, Alex tak menyadari jika kini telah berdiri tepat disisi Aleta. Mencoba meraih jemari Aleta dan menautkannya satu sama lain.

"Aku ingin bicara denganmu. Sebentar saja."

Aleta hanya menurut ketika Alex membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan dan suasana riuh tak lagi didengarnya.

Setelah menutup pintu dan menguncinya, Alex berjalan menghampiri Aleta yang berdiri memandang ke luar ruangan dan melihat gemerlap kota Paris pada malam hari.

Meregup bahu Aleta dan menuntutnya bersihadap langsung dengan Alex. Hazel matanya menatap sayu gadis di depannya dan mengembuskannya perlahan.

"Kembalilah. Aku kesepian." Aleta menatap intens kedua bola mata Alex dan mencari makna kebohongan. Sayangnya bola mata seperti lelehan madu tersebut benar-benar mengatakan dengan jujur. Dan tak ada kebohongan di dalamnya.

Perlahan, Aleta menggeleng pelan dan tersenyum kecut. "Aku nyaman dengan kondisi saat ini. Aku tak ingin mengganggumu dan Elora."

Alex menggeleng, mempersempit jarak keduanya. "Aku membutuhkanmu Aleta. Sungguh." Mohonnya lagi.

Aleta meredam detak jantung yang berdebar kencang dan udara yang semakin menipis. Entah kenapa perasaannya selalu seperti ini ketika berdekatan dengan Alex. Aroma mint yang tercium dari rongga hidungnya terpatri sempurna dan berbaur dengan aroma maskulin dari tubuh Aleta. Hanya sekali hirup, dan langsung tersimpan sempurna di memori otaknya.

"Kau tak bisa memiliki keduanya dalam bersamaan, Alex." Aleta menjawab setelah menenangkan pikirannya.

"Aku tahu Aleta. Dan aku sudah memilih." Alex mendekat dan menempelkan keningnya pada Aleta. Terpaan halus menyapu permukaan kulit bersih Aleta dan memberikan sensasi meremang pada bulu kuduknya. "Beri aku waktu. Sebentar saja. Kembalilah Aleta."

Hening. Tak ada jawaban sama sekali dari Aleta dan Alex belum berniat untuk menambah ucapannya. Dalam hatinya sudah menetapkan bahwa ini keputusan terbaiknya. Alex tak ingin terlampau jauh menyesal namun nyatanya rasa sesal itu sudah bergelayut tanpa permisi direlung hatinya.

Aleta menatap wajah Alex yang masih berstatus sebagai suaminya dengan lembut. "Aku ingin kita berpisah. Ceraikan aku Alex!"

Ini yang Alex takutkan. Dan ketakutannya meluncur sempurna dengan raut wajah tenang Aleta.

Alex menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mendesah frustrasi. Aleta telah pergi beberapa menit. Meninggalkannya sendiri dari ruangan yang semakin sunyi mencekam. Mencoba mengingat dan berharap hanya mimpi. Namun sayang, semuanya benar-benar nyata terjadi. Aleta, menginginkan perpisahan. Bahkan hal itu tak pernah sekali pun terlintas dalam benak Alex.