Hubungan Aleta dan Alex semakin membaik sejak kejadian tiga bulan lalu di pinggir kolam renang dan terbangun dengan tubuh satu sama lain yang berdekatan. Lengan kekar yang dipenuhi tato memeluk pinggang ramping dengan begitu posesif dan erat. Saling menautkan jemari seakan rapuh jika terlepas.
Alex sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Aleta yang sudah dinikahinya hampir empat bulan ini. Juga merangkap sebagai sekretaris pribadinya di kantor cabang RG Company. Ya, pada akhirnya pilihan menjadi sekretaris jauh lebih menarik hati Aleta ketimbang menjadi asistennya. Setidaknya, suami istri ini memiliki ruang gerak bebas tersendiri. Walaupun suasana canggung sudah tak tercipta diantara keduanya, tetap saja Aleta tak ingin masuk lebih dalam ke dalam urusan pribadi Alex.
Bahkan kini, menyebut Alex sebagai suaminya adalah hal biasa namun mampu membuat Aleta mengembangkan senyum tulusnya.
Terlihat cuaca sangat cerah dengan suasana menghangat dari sinar matahari yang muncul dari timur. Walau belum begitu meninggi, namun aura kehangatan menguar menyapa bumi Paris. Kota dengan hiruk pikuk kesibukan yang tak jauh berbeda dari belahan dunia mana pun.
Musim dingin sudah berakhir dan berganti dengan musim semi. Musim di mana semua hal keindahan tercipta juga pepohonan serta bunga yang tertutup kapas putih kembali bermekaran. Mengucapkan salam bagi setiap pejalan kaki yang melewati taman juga area-area bermain lainnya.
Seorang wanita dengan menyeret koper besarnya berjalan ke arah pintu keluar bandara Internasional Paris dan segera menyetop taxi. Seraya memberikan alamat tujuannya, gadis itu tersenyum manis dengan binar mata biru cerahnya secerah awan hari ini.
Senyum tak pernah padam dari bibir ranumnya walau hanya sedetik. Seakan-akan menyiratkan sebuah kemenangan yang telah dicapainya. Entah apa pun itu, hanya wanita itu dan Tuhan yang tahu.
Kedatangannya ini untuk menemui sekaligus menepati janjinya kepada kekasih yang sudah bersamanya selama hampir lima tahun. Janji untuk tinggal bersama walau belum terikat janji suci pernikahan. Juga, hari ini adalah tepat ulang tahun kekasih tercintanya yang genap berusia 28 tahun. Umur yang sangat mapan jika dilihat dari mana pun. Wajah tampan rupawan dengan pesona yang berkarisma. Rahang kokoh yang tercipta sempurna juga badan tegap tinggi menjulang yang selalu memberinya kehangatan.
Getar dari ponsel pintarnya membuyarkan lamunan tentang hal yang sedang dipikirkannya. Dengan gerakan santai, wanita itu merogoh tas mahalnya dan mengambil ponselnya lalu mendekatkan ketelinga tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Kau sudah sampai sweety?" Suara halus nan lembut mengalun di seberang sana juga membuatnya tersenyum.
"Baru saja." Walaupun menjawab dengan singkat, namun senyuman tak hilang dari bibir ranumnya. Mengetahui siapa yang menelepon.
"Aku merindukanmu. Sungguh." Suara itu terdengar seperti bisikan jika saja tak mendengarkan dengan baik baik.
"Kita akan bertemu. Aku bahkan baru meninggalkan Los Angeles beberapa jam yang lalu. Tidurlah! Kau bisa menyusulku jika urusanmu usai."
Wanita itu memberi perintah untuk beristirahat dan kembali memasukkan ponselnya kedalam tas mahalnya setelah sebelumnya berhasil membujuk lelaki yang tadi meneleponnya.
Tak lama, sopir menghentikan laju mobil yang membawanya menuju kearea pedesaan dan terlihat jelas sebuah mansion gaya minimalis yang tampak mewah dalam keadaan asri. Setelah memberi beberapa lembar dollar, gadis cantik itu bergegas turun dan menyeret koper serta melangkah masuk dengan gaya angkuhnya.
Tak jauh dari tempatnya berdiri nampak seorang gadis muda berumur tak jauh darinya tergopoh-gopoh berlari untuk membuka gerbang karena bel berbunyi.
"Maaf. Mencari siapa?" tanyanya sopan sembari memberi senyum ramahnya.
Wanita yang berdiri di depannya yang terpisah dengan pagar besi hanya menunjukkan senyum miringnya menjawab dengan bangga. "Alexander. Aku kekasih Alex. Apa dia ada?"
Pelayan mansion tersebut hanya diam mematung dengan kedua bola mata yang hampir terlepas dari tempatnya jika tak segera menguasai air mukanya.
***
Obrolan pagi di meja makan nampak begitu hangat karena diselingi dengan canda tawa dari pasangan suami istri muda itu. Walau di meja hanya tersaji beberapa lembar roti juga pancake juga minuman hangat lainnya, nampaknya suasana hangat dengan canda tawa lebih mendominasi.
Dengan setelan jas rapi juga dasi yang terlilit rapi di lehernya, pria itu, Alex terang-terangan melemparkan candaan seru kepada wanita yang duduk dihadapannya saat ini, Aleta.
Wanita dengan setelah kantornya yang sangat manis dan anggun membalut tubuh mungilnya.
"Aku hampir saja lupa. Kau ada rapat serta makan siang bersama Mr. Rudolf siang nanti. Pukul sebelas jangan lupa."
Aleta mengingatkan dan segera bangkit menuju kearah dapur mengambil kotak makan guna memasukkan bekal sarapan paginya untuk salah satu sahabatnya di kantor.
Alex hanya mengerutkan dahinya melihat hal itu. Berniat bertanya namun sebuah suara yang sangat familiar yang ia rindukan menyusup masuk ke dalam indra pendengarannya.
"Alex?!" Sontak membuat Alex maupun Amora menolehkan kepala kearah suara yang tepat berada di belakang Alex.
Tanpa menunggu persetujuan dari Alex, wanita itu, Elora, langsung memeluk Alex erat.
Aleta menegang di tempatnya berdiri juga memegangi kotak makan berwarna hitam dengan kuat. Seakan-akan tubuhnya akan limbung jika dilepasnya.
"Aku merindukanmu." Suara wanita itu menyadarkan Aleta dari keterkejutannya dan berjalan ke arah keluar karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
Dengan langkah berat, Aleta memasuki mobil dengan Tommy yang mengantarnya. Sopir pribadi yang bertugas mengantar sekaligus menjaganya.
Alex memang memberinya fasilitas mewah. Sedikit berlebihan namun apa boleh buat. Aleta tak bisa menolaknya.
***
Suasana di dalam mansion mewah tersebut sedikit kaku karena pertemuan mendadak juga selama beberapa bulan mereka tak bertemu.
Elora hanya mendengkus kasar merasa diacuhkan oleh kekasihnya sendiri. Bukankah kedatangannya adalah sebuah kejutan. Lantas mengapa pria ini malah menatapnya tajam.
"Oh ayolah, sSayangayang. Jangan tatap aku seperti itu. Aku tak suka."
Alex hanya berdehem pelan guna menjernihkan suaranya yang sedikit kering.
"Kau terlambat Nona Elora! Dan aku tak suka."
Elora hanya tersenyum lebar sembari berjalan kearah Alex dan duduk di atas pangkuannya.
"Maafkan." Sesalnya berkata, "sekarang, tutup matamu. Aku mempunyai kejutan untukmu," suruhnya setelah mendapat jawaban tegas dari Alex.
Alexander mengikutinya dan menutup matanya rapat.
"Kau tak boleh mengintip!" Terdengar jawaban dengkusan kasar dan Elora semakin melebarkan senyumnya.
Dengan perlahan, Elora berjalan ke arah ruang tamu tempat di mana kejutan yang di siapkannya ia letakkan begitu saja.
Tak sampai lima menit, Elora sudah membawa kue tart kesukaan Alex dengan lilin angka 28 dan menyalakan sumbu teratasnya dengan pemantik.
"Bukalah!" Perintah Elora pada Alex. Perlahan, Alex membuka kedua bola matanya dan tersenyum melihat apa yang di dapatnya.
"Happy birthday, Sayang," ucap Elora sembari memberi kecupan singkat pada bibir kekasihnya. "Berdoalah."
Alex menurut dan segera memejamkan matanya kembali sembari mengucapkan doa serta syukur dalam hatinya.
"Aku pikir kau melupakannya." Tangan kanannya terulur untuk mengusap pipi halus dengan semburat kemerahan yang sangat dirindukannya.
***
Entah apa istilahnya, Aleta merasa kehadirannya seperti sebuah bayangan. Sama sekali tak terlihat. Hanya berjalan dan berlari namun tak pernah terlihat. Aleta melihatnya. Lagi dan lagi ia melihatnya. Melihat senyum manis dan tawa lepas dari bibir indahnya juga rona bahagia dari wajahnya. Jelas Aleta kalah dalam segala hal. Dan merasa dirinya seperti seorang simpanan atau katakanlah jalang murahan yang merusak kebahagiaan orang lain.
Berdiri ditengah-tengah mereka dan menghalangi jalinan cinta yang dirajutnya. Air mata Aleta ingin tumpah karena sikap dinginnya kembali muncul setelah tiga bulan hubungan kami membaik. Memang tidak terjadi apa-apa dan bahkan tertidur di dalam ruangan yang berbeda. Hanya saja, mendapati fakta menyakitkan selama beberapa menit yang lalu terjadi membuat hati Aleta teriris.
Aleta seharusnya sadar, perasaan ini tidak boleh muncul. Tidak seharusnya ia jatuh cinta pada lelaki dingin seperti Alex. Aleta bahkan harus menyaksikan kemesraan yang mereka ciptakan di dalam ruangan yang ada di hadapannya kini. Dan mendapati tatapan kasihan dari karyawan lain yang melihatnya.
"Kau tahu, kau berhak atas dirinya. Bagaimana pun kau istri sahnya. Sedang wanita itu hanya kekasihnya." Aleta tahu itu suara Claire. Sahabat barunya selama di Paris yang juga sekantor dengannya. Aleta bahkan tak menyadari kehadirannya yang entah sejak kapan duduk di kursi depannya.
Aleta tersenyum pias serta menggeleng pelan. "Tidak. Aku tak mau bersaing seperti itu. Sekalipun aku yang berhak. Namun hati tak pernah salah memilih. Dan pilihanku adalah diam." Antara yakin atau tidak jawaban yang Aleta lontarkan terasa menyesakkan.
Claire menggenggam tangan Aleta, ingin merasakan perasaan sakit yang sahabatnya rasakan. "Kau wanita kuat yang aku temui. Aku yakin, Alex akan menyadari kehadiranmu."
"Apa perusahaan menggaji kalian untuk mengobrol?" ucap sebuah suara dengan nada sombong dan merendahkan. Baik Aleta maupun Claire mendongak.
Aleta memberinya seulas senyum. Ia tahu gadis ini. Wanita yang Aleta lihat di restoran beberapa bulan lalu ketika dirinya dan Sarah sedang sarapan di kawasan Baverlly Hills. Dan Aleta tak lupa. Wanita ini yang sedang membalas ciuman pria lain. Aleta mengembuskan napas pelan setelah menatapnya lekat. "Kau butuh sesuatu?"
"Pertama, panggil aku Mrs Watson," katanya sarkastik. Aleta mengangguk. "Kedua, buatkan aku cokelat panas dan latte dingin untuk Alex." Aleta terkesiap. Seingatnya, Alex memiliki riwayat kesehatan buruk pada pencernaan dan radang tenggorokan. Minuman sejenis kopi harus pria itu kurangi—mengingat pagi tadi—Ken membuatkannya kopi panas. Dan latte dingin jelas bukan pilihan yang tepat karena radang tenggorokannya bisa menyerang kapan saja. Lantas, kenapa wanita di depannya memesan latte dingin?
Aleta bergegas ke dapur setelah sebelumnya hendak memprotes. Tapi terpikir lagi olehnya bahwa itu bukan ranahnya.
"Bukankah Tuan Alex tak bisa meminum minuman dingin Miss?" Kepala dapur bertanya dengan keheranan. Aleta mengedikkan bahu sambil terus memberi takaran pas serta mencampurnya dengan suhu air yang sudah ditentukan.
Selesai dengan itu semua Aleta segera berjalan ke ruangan yang berada di ujung lorong dan mengetuk pintu mahoni cokelat gagah ini. Terdengar suara suruhan masuk dan Aleta segera berjalan masuk. Pemandangan yang romantis, batin Aleta begitu pintu terbuka. Wanita itu dengan manja duduk di atas pangkuan Alex dengan tangan melingkar di leher serta sesekali memberi kecupan pada bibir Alex.
Aleta tersenyum tipis tatkala mata cokelat madu itu bersitatap dengan matanya. Pancaran sinarnya entahlah, Aleta tak bisa mengartikan apa maksud tatapan tersebut.
"Cokelat panas dan latte dingin permintaan ..."
"Apa?!" Pekik wanita yang duduk di pangkuan Alex dan menghentikan aktivitasnya mengecup bibir Alex. Ucapan Aleta terpotong sebelum selesai ia sampaikan.
"Kau pasti tahu jika Alex tak bisa meminum minuman dingin. Dan apa ini?! Kau sengaja ingin membuat radang tenggorokan Alex kambuh atau bagaimana?" Suaranya sangat keras terdengar.
Aleta mengerutkan dahinya dan menjawab, "bukankah tadi Miss …"
"Aku menyuruhmu membuat latte panas bukan dingin! Dasar jalang bodoh!"
Cukup! Aleta ingat wanita ini menyuruhnya membuat latte dingin. Dengan kesal, Aleta membuang kasar penampan ditangan kanannya dan bergegas keluar. Namun sebuah suara menghentikan langkahnya dan berdiri mematung mengurungkan niatnya menarik kenop pintu.
"Lihatlah, Sayang. Sekretarismu benar-benar tak punya sopan santun. Dengan terang-terangan menjawab pertanyaanku lalu sengaja ingin membuatmu merasakan sakit karena meminum minuman dingin. Sungguh payah selera dalam mencarikan istri yang tak berpendidikan sama sekali juga rendahan. Layaknya jalang murahan."
Aleta meredam gemuruh dalam hatinya. Amarah memuncak sampai ke ubun-ubun kepalanya . Tak pernah sekalipun dirinya direndahkan dan disamakan dengan jalang. Sambil menahan air mata yang siap keluar, Aleta berbalik dan menatap keduanya bergantian. Dan tatapan mata Alex membuatnya tak mengerti apa artinya.
"Aku memang payah. Tapi setidaknya aku tak hilang ingatan hanya untuk melaksanakan tugas!" Butuh sekuat tenaga bagi Aleta untuk menahan desakan air matanya.
Memilih menghindar dan pergi keluar guna menenangkan diri adalah pilihan Aleta. Bahkan, Claire yang berkali-kali memanggilnya tak Aleta indahkan. Aleta tak ingin semua orang tahu kelemahannya. Cukup sudah dengan semua ini. Aleta butuh waktu sendiri.
***
Alex menunggunya. Perasaannya gelisah melihat Amora pergi sejak siang dari kantor. Bahkan sebelum jam makan siang tiba, Alex sudah tak menemukan keberadaannya di kantor. Menyapukan kedua bola matanya dan membulat sempurna ketika jam di atas nakas menunjukkan pukul satu dini hari. Bergegas, memakai pakaian yang bercecer di lantai dan memandang wanita yang tertidur pulas disampingnya. Alex tersenyum mengingat kegiatannya bersama Elora beberapa jam yang lalu dan mengecup keningnya sayang.
"Good night sweetheart."
Di tempat lain.
"Aku tidak tahu apa yang kau tunggu. Menghindar bukan alasan terbaik bagimu saat ini. Mestinya, kau tetap berada di rumah itu. Apa yang kau pikirkan? Selarut ini masih berdiri di sini."
Wanita yang hanya memandang ke arah luar dari balkon apartemen kamar sahabatnya tak berniat menanggapi sedikit pun ucapan di sampingnya. Pikirannya masih jauh melayang dengan kejadian tak terduga yang membekas direlung hatinya. Harapannya hanya satu persen. Setidaknya pria itu mau membelanya. Mereka sudah tinggal bersama selama empat bulan dalam satu atap dan tentu saja saling mengenal. Namun melihat kebungkaman dari bibirnya, wanita itu tersenyum kecut.
"Pulanglah Aleta, Alex mencemaskanmu. Dia baru saja meneleponku. Menanyakan keberadaanmu."
Aleta terhenyak mendengar penuturan sahabatnya, Claire. Benarkah? Dalam hatinya hanya membatin. Namun lagi-lagi kenyataan pahit menghempaskan sampai ke titik terbawah dalam hidupnya. Ingatannya kembali melayang dengan kejadian tadi siang.
"Aku bahkan belum pernah berhubungan dengan pria mana pun tapi predikat jalang bisa dengan mudah diberikannya padaku." Aleta menjawab setelah lama terdiam dan menyisakan sepi di malam yang semakin larut. Bahkan, keadaan di bawah sana sudah lengang dan hanya menyisakan beberapa remaja yang masih asik duduk di bangku samping Sungai Seine. "Kau tahu Claire? Aku bisa saja mengatakan seperti apa kebenaran yang terjadi lewat CCTV kecil diatas mejaku. Namun aku urungkan karena aku tahu Alex sangat mencintai wanita itu. Aku bahkan tak yakin jika wanita itu pun mencintai Alex juga. Walau hanya sekali aku melihatnya, aku tahu bagaimana perangai licik dalam wajahnya. Baiklah, aku akan pulang dan menuruti saranmu. Maaf merepotkanmu Claire." Aleta segera bergegas masuk dan mengambil tasnya lantas berjalan menuju ke lobi apartemen dan menyetop taxi.
Beruntung karena masih ada beberapa taxi yang berkeliaran meski waktu menunjukkan dini hari. Setelah menyebutkan tujuannya, Aleta duduk terdiam dan mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kalau-kalau Alex bertanya.
Ya, jika ditanya dan jika masih peduli.
***
Di dalam mansion.
Pria dengan penampilan rambut berantakan juga mata memerah menahan kantuk hanya berjalan tak tentu arah. Wajahnya begitu kusut memikirkan hal-hal negatif yang terjadi pada istrinya. Bibir tipisnya tak berhenti berdesis dan sesekali menghela napas berat.
Lama menunggu, perjuangan untuk berdiri roboh setelah beberapa menit tak mendapatkan tanda-tanda kedatangan istrinya. Dengan berat, perlahan melangkahkan kakinya ke arah pintu kamar yang berada tak jauh dari ruang keluarga.
Sesaat sebelum tangan kekarnya menarik kenop pintu deru mobil menyelinap masuk ke telinganya. Mencoba menajamkan pendengaran dan pria itu segera berbalik arah sembari berlari ke arah pintu utama.
Memutar kunci dan menarik pintu membuat wanita yang dikhawatirkannya berjengit kaget serta membulatkan kedua bola matanya. Pasalnya, gadis itu sedang menimang apakah akan membunyikan bel atau tidak. Karena ragu waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
"Kau pulang. Kau kembali." Pria itu lantas menarik wanita itu ke dalam pelukannya dan menghirup aroma menenangkan yang selalu disukainya. Wangi jeruk bercampur lily yang semerbak harum. Bahkan setelah satu hari penuh, aroma lembut itu tetap dapat dihirupnya dan memberi sensasi rileks bagi pikirannya. Tak lama, pria itu melepas pelukannya dan menatap ke dalam bola mata lembut di depannya. "Aku tahu kau kecewa. Aleta, aku minta maaf".
Aleta mencoba mencerna kejadian beberapa menit yang lalu dan membalas tatapan teduh mata dengan hazel cokelat madu di depannya. "Kau tak perlu meminta maaf. Aku akan istirahat. Maaf merepotkanmu."
Aleta bergegas masuk dan meredam detak jantungnya yang berdegup kencang dari biasanya. Kenapa selalu seperti ini. Pikiran dan hatinya mulai berperang dan saling menyahut mencari alasan serta jawaban.
Pria itu, Alex, hanya diam mematung dan mengikuti ke mana arah perginya wanita yang dinikahinya selama empat bulan ini. Hatinya lega karena Aleta telah kembali.