Chapter 5 - Bab 5

Paris dalam masa musim gugur dengan titik rendah sehingga membuat udara dingin semakin menguar.

Wanita dengan rambut cokelat sebahu dan gradiasi hazel mata senada dengan rambutnya hanya diam dan menikmati pemandangan dari luar kaca jendela mobil mewahnya. Sambil terus mendengarkan lagu dari Ipod juga memasang earphone di kedua telinganya.

Masih teringat jejak rekam beberapa hal kegiatan sebelum tiba di Paris, kota dengan sejuta penawaran romantis juga pemandangan indah di dalamnya. Ingatannya berpendar dan bibir tipis merah mudanya sedikit mengulum senyum. Mulai dari Mom juga Ibu mertuanya yang menginginkan segera seorang cucu. Juga percakapan saat menemani Sarah meluncurkan dress-dress koleksinya.

Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, Aleta, gadis yang belum genap seminggu menikah itu hanya tersenyum tipis dan mulai mencoba menutup kedua bola matanya. Keadaan hening di dalam mobil. Membuatnya semakin membenci perjalanan ini.

Sedang di sampingnya, duduk pria tampan dengan earphone terpasang di kedua telinganya, juga hoodie hitam panjang serta topi yang bertengger manis menutup rambut cokelat emasnya.

Pikirannya terpecah kebeberapa hal pada kejadian dua hari yang lalu. Entahlah. Hanya saja sedikit terselip rasa bersalah pada wanita yang duduk di sampingnya saat ini. Sesekali ekor matanya melirik dan mendapati raut wajah dengan tatapan kosong memandang keadaan di luar jendela yang sepertinya jauh lebih menarik.

Pria itu menyadari, kejadian dua hari yang lalu sangatlah terdengar keterlaluan untuk wanita itu. Dan sampai saat ini, kondisi hening semakin menyelimuti perjalanan keduanya.

Ya, mansion pribadinya memang berada jauh dari hiruk pikuk kota Paris. Sengaja pria itu membangun mansion pribadinya di pedesaan dengan kondisi yang asri dan tenang. Walaupun sedikit memakan waktu hampir satu jam lebih, namun percayalah bahwa keindahan dan asrinya alam tak akan membuat jenuh mata memandang. Udara yang alami juga sejuk mendukung kondisi indah di saat matahari menampakkan cahaya emasnya dari arah timur. Dan semburat kemerahan dengan semilir angin lembut di arah barat.

Alex, pria itu hanya diam dan jari jemarinya beberapa kali terlihat mengetikkan sesuatu pada ponsel pintarnya. Dan senyum manis yang tak pernah di tunjukkan pada orang lain terukir. Hanya kepada orang-orang tertentu saja.

Sopir yang nengemudi hanya sesekali melirik ke arah belakang pada Tuan dan Nyonyanya lewat spion dan detik selanjutnya memfokuskan pada menyetir.

***

"Kita sudah sampai Tuan." Sopir yang terlihat masih berumur sekitar 35 tahun itu hanya tersenyum manis kearah Tuannya dan segera bergegas turun menuju ke belakang mobil menuju bagasi dan membawa koper-koper besar itu ke dalam mansion yang berada di depannya setelah mendapat anggukan dari Tuannya.

Alex hanya menghadap ke samping sebentar dan menelisik wajah cantik nan anggun di depannya. Tak di pungkiri jika gadis ini memiliki daya pikat pesona sendiri dari dalam dirinya. Terbukti, ketika beberapa waktu lalu sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya berdecak kagum melihat gadis ini walau hanya sedang tersenyum simpul.

Alex mengelus pipi halus sehalus sutra pelan guna membangunkannya. "Hei bangunlah, kita sudah sampai." Terlihat, kedua bola matanya bergerak perlahan. Alex segera menjauhkan tangannya dan berpura-pura segera turun dari mobil. Meninggalkan wanita yang beberapa hari ini menyandang nama belakangnya. Memasuki mansion dan menuju ke kamarnya.

Aleta sedikit merenggangkan otot-ototnya dan segera turun dari mobil. Matanya membulat sempurna melihat bangunan mewah di depannya. Rumah dengan gaya minimalis namun terlihat elegan juga mewah. Walau tak berlantai dua, namun lihatlah, rumah ini sungguh hunian impian semua orang. Aleta segera melangkahkan kaki jenjangnya menuju ke dalam dan beberapa pelayan yang sudah berdiri menyambut di ambang pintu masuk. Terhitung ada tiga pelayan dengan satu kepala pelayan yang berumur sekitar 38 tahun. Aleta hanya tersenyum dan segera masuk ke dalam mansion.

Bibirnya berdecak kagum tatkala kedua bola matanya melihat isi juga tatanan ruang tamu yang terkesan mewah dan menyuguhkan pemandangan keluar karena jendela juga pintu kaca yang memang di desain demikian rupa. Walaupun terlihat sederhana di luar, namun kemewahan di dalamnya tak dapat dipungkiri.

"Mari Nona, saya tunjukkan kamar Nona," ucap salah satu pelayan yang diyakini sebagai kepala pelayan dirumah ini. Sedang dua wanita yang tadi berada disampingnya sudah melesak masuk ke arah dapur menyiapkan makan malam karena waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Aleta hanya mengikuti di belakang kepala pelayan itu yang diketahui bernama Ken. Wanita paruh baya keturunan Paris asli. Bahkan, walaupun sudah hampir berkepala empat, Ken masih terlihat tampak cantik juga muda.

Aleta berhenti di depan pintu berwarna cokelat mahoni yang kokoh sambil menunggu Ken yang sedang membukanya.

"Kamar ini khusus Tuan muda desain untuk Nona. Masuklah. Saya permisi, akan menyiapkan makan malam bersama yang lain." Usai dengan membantu membawa koper milik Aleta, Ken bergegas menuju ke dapur.

Aleta menyapukan pandang keseluruh ruangan kamar barunya yang luas. Kamar dengan pemandangan ke arah keluar dan berhadapan langsung dengan tanaman-tanaman bunga yang sangat terawat.

Menggeser sedikit pintu balkon dan berdiri disisi pagar pembatas sembari menghirup udara segar khas musim gugur. Daun-daun maple yang berguguran juga mulai meranggas. Sepuluh menit berlalu dan Aleta mulai memasuki kamarnya juga segera membersihkan diri.

***

Usai membersihkan diri, Alex bergegas keluar dan menuju ruang makan. Nampak Aleta sedang menikmati makan malam sambil tersenyum kearah pelayan yang duduk tak jauh darinya. Ah, satu lagi yang belum dirinya ceritakan. Sifatnya yang mudah menerima orang juga lingkungan baru membuatnya mudah bergaul serta akrab walau hanya dalam hitungan menit. Berbeda sekali dengan dirinya. Aleta memang gadis yang berbeda. Pantas bukan jika semua rekan bisnisnya begitu terpesona diawal pertemuan dengan Aleta.

"Tu ... Tuan." Pelayan yang Alex tebak berumur beberapa tahun lebih tua darinya dan Aleta segera bangkit dari duduknya dan menunduk dalam. Seakan-akan Alex akan menerkamnya.

"Duduklah!" titah Alex pada pelayan muda itu yang segera menuangkan spagetti ke dalam piring Alex.

"Kau membuatnya takut!" Alex mendongakkan kepalanya dan terdiam selama beberapa detik. Memastikan pendengarannya tak salah karena Aleta baru saja berbicara. Namun pandangannya tak lepas dari makanan yang berada di atas piring juga tetap memakannya.

Alex mengabaikan dan melanjutkan makan malamnya. Suasana kembali hening dan tak lama Aleta berdiri sambil membersihkan mulutnya. Berjalan ke arah kolam renang sambil membawa novel ditangan kanannya. Alex hanya memperhatikan dari meja makan karena memang kolam renang berada tepat di depan ruang makan dan didukung dengan pintu kaca tembus pandang sehingga bisa melihat kondisi luar.

Langit gelap juga udara semakin dingin. Ciri khas dari musim gugur. Yang menandakan sebentar lagi musim dingin akan menyapa. Dan jangan lupakan soal natal.

Alex menyelesaikan makan malamnya lantas bergegas menuju ke ruang keluarga serta menyalakan televisi di sana. Mencari posisi nyaman dengan beberapa acara yang berlangsung.

Entah sudah jam berapa ini. Alex melihat Aleta masih sibuk berkutat dengan novel di pinggir kolam renang. Alex hendak menyapanya, hanya saja ia tak tahu akan membicarakan apa. Lama berpikir, Alex segera berdiri dan memasuki kamarnya. Tidur yang ia butuhkan. Karena besok dirinya akan mulai bekerja di kantor. Juga perjalanan Los Angeles-Paris cukup membuatnya terasa lelah.

***

"Aku tidak tahu apa yang kau tunggu darinya? Kau cantik dan menarik. Kau bisa menggaet beberapa pria kaya di sini atau bahkan di luar sana," ucap seorang wanita dengan pakaian minim sembari menuang minumannya ke dalam gelas lalu menenggaknya sampai tandas.

Wanita yang diajaknya berbicara hanya menatap ke arah depan, lautan manusia yang sedang meliukkan badannya secara panas karena pengaruh minuman.

"Aku sudah melakukannya," jawab wanita itu pada akhirnya. "Namun beberapa pria tersebut tak bisa memenuhi semua kebutuhanku. Jadi aku membutuhkannya hanya untuk kesenanganku."

"Kupikir kau mencintainya?"

Wanita itu tersenyum miring dan menenggak sebotol vodka langsung dari botolnya. "Beberapa tahun yang lalu aku memang mencintainya. Dan aku menyadari, cinta dan uang, aku lebih membutuhkan uang. Kau tahu, hanya dengan beberapa lembar dolar semua keinginanku terpenuhi."

"Terserah kau saja. Aku akan menari di bawah."

Usai kepergian gadis yang notabennya adalah sahabatnya, gadis itu hanya diam dengan mata menerawang. Memikirkan setiap kata yang diucapkannya juga meyakini hatinya yang memang sudah kosong. Tak dipungkiri, jika jalan ini yang dipilihnya.

***

"Kau tak perlu khawatir Mom. Kami baik. Dan aku sangat baik." Entah apa yang dikhawatirkan Ibunya sampai sampai membangunkannya dari tidur nyenyaknya padahal waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Oh Tuhan bunuh saja dirinya sekarang jika Ibunya menelepon hanya untuk meminta seorang cucu darinya. Itu takkan pernah terjadi.

Embusan napas lega terdengar dari seberang benda pipih yang masih menempel ditelinga Aleta.

"Mom lega mendengarnya. Tidurlah, Sayang. Mom merindukanmu."

Aleta terkekeh pelan mendengar ucapannya. Bahkan belum genap dalam 24 jam dan Ibunya merindukannya. "Me too Mom," jawab Aleta pada akhirnya.

Aleta meletakkan kembali ponsel pintarnya di nakas samping ranjang dan mulai memasuki alam bawah sadarnya. Namun rasa haus pada tenggorokannya dominan menyuruhnya untuk bangkit. Dengan dengusan kasar Aleta berjalan kearah pintu dan menuju dapur. Kondisi sangat sepi mengingat waktu sudah dini hari dan di pastikan orang-orang masih bergelut di bawah selimut tebal dengan mimpi indah. Penerangan juga sedikit redup karena hanya lampu- lampu kecil yang dinyalakan.

Membuka kulkas dan menuang air mineral dingin ke dalam gelas kaca lantas meminumnya sampai tak bersisa. Usai dengan kegiatan hausnya, Aleta melangkah menuju kamar. Namun sebuah siluet tubuh yang sangat dirinya kenali menghentikan niatnya untuk segera melanjutkan tidur.

Aleta pandangi sosok itu yang hanya berdiri di pinggir kolam sembari menatap ke depan. Entah apa yang di lihatnya. Aleta hanya menebak jika sosok itu sedang memikirkan sesuatu. Aleta berjalan kearahnya. Sedikit menyapanya mungkin bisa membuatnya membagi masalah dengannya. Walaupun tak mungkin. Namun, hei, apa salahnya mencoba jika kita bisa berteman?

Bahkan setelah tiga detik Aleta berdiri di sampingnya, sosok itu tak menyadari kehadirannya.

Aleta berdehem pelan dan sosok di sampingnya berjengit kaget lantas menolehkan kepalanya sepersekian detik dan menatap kembali ke arah depan.

Aleta tersenyum miris. Begitu tak terlihatkah dirinya sampai tak di hiraukan?

"Kau belum tidur?" Suara bariton berat dan seksi terdengar di telinganya. Aleta mengatur deru napasnya.

"Aku haus." Aleta menjawab singkat dan berniat berjalan masuk. Ini hanya alasan Aleta saja untuk bisa keluar dari jerat Alex di sekitarnya. Bagaimana, ya? Hanya tidak nyaman saja.

"Temani aku." Langkah kakinya terhenti karena suara itu mengalun lagi menyusup indra pendengarannya. Aleta berhenti dan menatapnya meminta penjelasan. "Temani aku. Mungkin sikapku tempo hari menyinggungmu. Aku minta maaf." Aleta tak percaya jika manusia dengan bentuk wajah datar ini meminta maaf. Wajah tampan yang bersembunyi di balik sikap dingin juga acuhnya.

Aleta menganggukkan kepalanya dua kali dan berdiri sejajar dengannya. Tinggi badannya hanya sebatas bahu Alex. Tubuh mungilnya bahkan tak ada apa-apanya di banding dengan badan kekar serta dada bidangnya. Dan Aleta meyakini, jika dada itu adalah kenyamanan bagi kekasihnya ketika mereka berpelukan.

Hening. Hanya suara angin musim gugur yang terdengar. Aleta melipat tangannya di bawah dada guna mencari kehangatan.

"Kau kedinginan?" Lagi. Dan Aleta masih belum bisa mengontrol detak jantungnya ketika mendengar suaranya yang khas dan terlampau indah itu.

"Ya," jawab Aleta singkat dan menatap pantulan dirinya di kolam renang sembari mencuri pandang ke arah manusia es di sampingnya. Entah apa yang di pikirkannya. Lama berkutat dengan pikirannya dan Aleta menyadari ketika sebuah tangan kekar menyergap bahunya membuatnya berbalik dan menatap sosok tampan berkarisma yang sedang memakaikan jaket ke tubuh mungilnya.

"Kau bisa sakit jika tak memakai ini. Lain kali jangan ceroboh. Di Paris ketika malam udara dua kali lebih dingin." Aleta melongo mendengarnya. Ini adalah kalimat terpanjang juga pertama yang dirinya dengar dari manusia kutub ini.

Aleta menggumamkan terima kasih dan menyentuh dadanya. Entah apa ini. Aleta seperti butuh jantung baru juga pasokan udara mulai menipis. Dalam diam Aleta tersenyum. Juga membenarkan ucapan Ibunya, bahwa cinta akan datang seiring berjalannya waktu. Dan entahlah perasaan apa ini. Aleta baru pertama kali merasakannya.

"Kau tersenyum sendiri. Apa ada yang lucu?" Aleta segera mengatupkan bibirnya dan mendengus kasar. Mengganggu saja, serunya kesal dalam hati. Aleta bahkan tahu, manusia es ini sedang menatapnya dan Aleta berpura-pura tak melihatnya.

"Aleta?" Aleta mengalihkan pandang dan menatap Alex. Suara Alex sedikit berbeda tak seperti tadi. Entahlah. Aku yang salah atau memang keadaan yang semakin dingin sehingga berpengaruh pada suaranya. "Kau pernah menjalin hubungan dengan pria lain? Atau setidaknya merasa jatuh cinta dengan pria yang kau sukai?" Aleta sukses melongo yang kedua kalinya. Mencari maksud dari ucapan yang meluncur bebas tanpa beban dari bibir seksinya.

Aleta masih menelisik bola mata cokelat madunya yang meneduhkan. Tatapannya melembut tak tajam seperti biasanya. Apa ada hal yang dipikirkannya? Atau bertengkar dengan kekasihnya? Entahlah. Aleta tak bisa memberi spekulasi hanya dengan sepihak. Menarik napas panjangnya masih dengan menatap bola mata itu.

"Tidak," jawaban Aleta terlampau singkat. "Kau ada masalah? Kau bisa membaginya denganku. Setidaknya kita bisa menjadi teman." Oh bagus! Mulut sialan ini tak memiliki rem untuk berhenti.

Lama tak ada jawaban dan Aleta mulai memukuli mulutnya yang begitu lancang berucap tanpa dosa. Dan hal selanjutnya adalah tubuhnya yang berada didekapan hangat serta kedua lengan kekar yang melingkari tubuh mungilnya. Begitu hangat dan menenangkan. Ini adalah pelukan ternyaman setelah Kakak kesayangannya.

Aleta terdiam mematung tanpa membalasnya. "Biarkan seperti ini, tolong. Aku butuh lebih dari sandaran." Aleta mengangguk pelan dan tersenyum. Senyum bahagia. Hidungnya menghirup aroma maskulin dari tubuh Alex yang menguar. Aroma yang sangat menenangkan.