Kedua pasangan sejoli itu nampak saling diam setelah kegiatan yang cukup menguras tenaga diakhirinya satu jam yang lalu. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari dan dua sejoli itu hanya diam sambil menautkan jari jemari masing-masing dengan selimut tebal yang membungkus tubuh polos keduanya.
Pria berparas tampan dengan rambut emas madu yang sedikit berantakan mencoba menenangkan gadisnya yang berada di pelukannya. Wanita yang sangat dicintainya menangis dengan isakan pelan diatas dada bidangnya setelah apa yang didengar dari mulut kekasih tercintanya.
Pria itu semakin mempererat pelukannya pada tubuh mungil yang berada didekapannya. Seolah-olah tubuhnya akan rapuh seperti kaca yang mudah terpecah.
"Aku akan tinggal di Paris." Pria tampan itu memulai mencairkan suasana yang hening sambil terus mengelus lembut rambut halus gadisnya. "Kau harus ikut! Kita akan tinggal disana." Setelah dengan jeda mengambil nafas, pria itu melanjutkan ucapannya.
Wanita itu berangsur perlahan melepas pelukan terhangat yang selalu disukainya sambil menatap kearahnya bola mata hazle indah didepannya ini. Mencari suatu kebenaran. Memastikan bahwa telinganya masih baik-baik saja.
"Bagaimana dengan wanita itu? Bukankah dia sudah menjadi istrimu dan kau ingin mengajakku tinggal bersama kalian?" Wanita itu menitihkan air matanya lagi dari sudut bola mata biru cerahnya.
Pria itu merengkuhnya ke dalam pelukan hangatnya lagi. Sudah menduga jika akan mendapat jawaban seperti ini.
"Kau tahu? Aku hanya mencintaimu. Sudah kukatakan jika hanya kau yang aku inginkan menjadi istriku, ibu bagi anak-anakku dimasa depan. Kau tak lupa bukan jika aku dijodohkan?"
Suasana kembali hening. Wanita itu hanya diam dan semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang pria yang telah mengisi kekosongan hatinya hampir empat tahun ini. Pria yang memiliki sejuta pesona. Wanita itu bersyukur karena memiliki pria itu dan dicintai dengan sangat tulus.
***
Matahari sedikit menerobos masuk lewat celah-celah gorden yang sedikit terbuka dan sedikit mengusik mimpi indah gadis dengan mata cokelat terang di atas ranjang mewah dan empuk itu. Perlahan membuka kedua bola matanya dan menatap jam dinding yang bertengger indah di depan sana. Pukul tujuh pagi.
Wanita itu melangkahkan kedua kaki jenjangnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini gadis cantik itu akan menemui sahabatnya yang berada di kawasan Baverly Hills. Tak jauh dari hotel mewah tempatnya menginap semalam.
Senyum cantik selalu tersungging di bibir Aleta. Sudah berapa lama dirinya tak bertemu dengan sahabat yang bernotaben seorang model di negeri Paman Sam ini. Bahkan sahabatnya itu rela memutuskan berhenti sekolah untuk mengejar cita-cita yang sangat ditentang oleh kedua orang tuanya.
Selesai dengan acara mandi yang menyegarkan, Aleta, gadis itu segera keluar menuju ruang ganti dan memilih pakaian santai untuk dipakainya. Ya, selera dalam fashionnya sangatlah simpel. Dengan cekatan, Aleta memilih tshirt merah dengan cardigan hitam juga jeans hitam yang membungkus kaki jenjangnya. Tak lupa sepasang flat shoes berwarna hitam menjadi pilihannya pagi ini.
Selesai dengan pakaiannya, Aleta segera merapikan rambut cokelat sebahunya dan membiarkannya tergerai bebas.
Sambil mengecek kembali barang bawaan di dalam tas kecil memastikan semua kebutuhannya tak tertinggal. Lantas bergegas keluar untuk menuju kearah lobby yang berada di lantai bawah.
***
"Miss?" sapa beberapa staf hotel ketika Aleta sampai di lobby. Dengan senyum kikuk, Aleta membalasnya sambil berlalu menuju resepsionis.
Resepsionis cantik dengan tatanan rambut di sanggul itu hanya tersenyum lebar dan menunduk patuh saat Aleta berjalan menghampiri ke arahnya.
"Miss Aleta harusnya menelepon agar keperluan sarapan pagi kami antar," ucap resepsionis bernama Vanna, terlihat dari name tag di sisi kiri seragam kerjanya.
"Tak perlu. Aku akan sarapan di luar bersama seseorang. Jika Alex kembali, bisa sampaikan kalau aku sedang keluar."
Vanna tersenyum mengangguk dan kembali menundukkan kepala tanda mengerti.
Usai dengan itu, Aleta segera keluar dan menyetop taxi untuk bergegas ke rumah Sarah, yang sudah menunggunya.
***
Alex terbangun dengan seseorang berada di dekapannya. Tersenyum tipis, ia kecup keningnya dan beralih ke bibir tipisnya yang menjadi candu selama ini bagi Alex.
Senyum semakin mengembang mengingat kejadian semalam. Ah, sungguh wanita di dekapannya ini sangat manis dengan semburat rona merah di pipinya.
Tak lama, kedua bola mata cantiknya bergerak perlahan dan terbuka sempurna. Alex sangat menyukai bola mata biru cerahnya. Ya, ia menyukai semua yang ada pada dirinya.
"Morning sweetheart." Alex melayangkan kecupan-kecupan di atas bibir tipisnya beberapa kali—lagi.
"Morning Alex. Kenapa tak membangunkanku? Aku bisa segera membuatkan sarapan untukmu."
Alex terkekeh. Suara seksi khas bangun tidurnya juga wajah imut yang sedikit berantakan.
"Mau mandi bersama?" tawar Alex mengajaknya untuk berendam. Dia hanya mengangguk tanda setuju. Alex segera menggendongnya menuju kamar mandi dan menyalakan air hangat serta wewangian mawar.
Setelahnya, Elora duduk di pangkuannya dan Alex memeluknya dari belakang. Posisi ini sungguh menyiksa. Tangan Alex bermain di atas perut ratanya. Dan Elora dengan nyaman menyandarkan kepalanya didada bidangnya. Sesekali Alex kecupi bahu telanjangnya.
20 menit cukup bagi Alex segera membilas badannya dengan air hangat dan segera keluar menuju ke ruang ganti untuk memilih pakaian.
***
"Kau akan sarapan apa?" Elora bertanya pada Alex. Sejak lima menit yang lalu dirinya dan Elora baru sampai di restoran yang tak jauh dari apartemen. Alex hanya memandangi wajah cantiknya yang di poles dengan kosmetik namun masih terlihat natural.
"Samakan saja denganmu Sayang." Setelah beberapa detik berpikir Alex menjawab dengan asal. Fokusnya tertuju pada satu titik. Wanita yang sedang duduk di samping jendela tak jauh dari tempatnya duduk. Aleta. Entah dengan siapa dia duduk dan tertawa lepas seperti tak ada beban sama sekali.
"Pancake dan latte." Samar-samar Alex mendengar Elora menyampaikan pesanan pada pelayan yang sedari tadi setia berada di sisi kanan meja.
"Baik nona." Pelayan itu bergegas pergi. Alex mengalihkan pandangan dan menatap Elora sambil tersenyum hangat.
"Alex, boleh aku meminta sesuatu?" Alex hanya mengerutkan kening. Sejak kapan Elora meminta izin padanya?
Alex mengangguk dan melihat binaran bahagia dari wajah cantiknya.
"Bolehkah aku meminta koleksi tas terbaru. Hanya ada beberapa koleksi di dunia ini."
Alex terkekeh. Ia pikir Elora akan meminta suatu hal konyol—meninggalkannya mungkin. Alex ulurkan tangannya untuk mengelus pipi kanan Elora yang lembut dan tersenyum hangat padanya.
"Kau bahkan boleh meminta lebih padaku sweetheart." Alex memberikan kartu kredit untuk Elora untuk berbelanja apa yang diinginkannya.
Dapat Alex lihat kedua bola matanya membulat sempurna dengan lucu. Alex terkekeh pelan dengan sikap Elora yang seperti ini. Manja.
Kembali mengedarkan matanya untuk melihat di mana tempat Aleta duduk. Kosong. Hanya ada gadis dengan dress hitam selutut yang duduk sambil menyesap kopinya.
"Aku akan segera kembali, oke." Alex mengecup dahi Elora dan bergegas berjalan ke arah toilet.
***
Aleta melihatnya. Mereka berada di satu ruangan restoran dan berpura-pura tak saling mengenal. Aleta bahkan melihatnya tersenyum. Senyum hangat yang hanya di berikannya pada kekasih juga orang terdekatnya. Tuhan, perasaan apa ini. Kenapa dadanya seakan sakit dan tertimbun beban berton-ton. Kenapa melihatnya tersenyum dan bukan karena dirinya rasanya sangat sakit.
Aleta bergegas menuju toilet. Rasanya air matanya sudah akan terjatuh. Dan Aleta tak ingin Sarah melihatnya.
Berdiri di depan cermin dan melihat pantulan dirinya di depan sana. Begitu menjijikkan dan bahkan mengejek. Aleta bodoh. Sangat bodoh.
Membasuh mukanya untuk mengurangi tampilan kusut yang melekat dan mengeringkan dengan tisu lantas bergegas keluar.
"Oh astaga." Aleta terkejut dengan seorang lelaki yang berdiri di depan toilet wanita dan menatap tajam dirinya.
Alex. Dia Alexander. Bagaimana bisa dia tahu Aleta berada di toilet dan untuk apa dia berdiri di depan toilet wanita?
Setelah menguasai rasa terkejutnya, Aleta segera berjalan dengan cuek untuk keluar. Namun baru satu langkah, tangannya serasa di cekal dengan kuat dan membuatnya harus berhenti serta menoleh ke arah kiri.
"Apa aku mengijinkanmu pergi Miss Aleta?" tanyanya tegas dengan sorot mata tajam mengarah tepat ke manik mata cokelat bening Aleta.
Aleta mencoba melepaskan cengkeramannya, namun percayalah. Tenaganya tak cukup kuat untuk melawan tenaga Alex.
"Dan apa yang kau lakukan di sini? Kau pergi tanpa izin dariku!" tanyanya sekali lagi dengan nada naik satu oktaf. Aleta hanya tersenyum sinis dan menatap muka datarnya.
"Bertemu sahabatku. Sekarang bisa kau lepaskan aku. Aku masih punya janji dengan sahabatku."
Aleta melihatnya. Tatapan tajamnya tepat menghunus jantungnya jika itu bisa dengan mudah membunuh.
"Kau bilang, kau tak butuh kebebasan. Lantas, untuk apa kau keluar dan bahkan tanpa meminta ijin dariku. Kau istriku, jika kau lupa Miss Aleta!"
Terdengar nada sarkastik dari celah bibir seksinya. Aleta tersenyum mengejek dan mengangkat sebelah alisnya.
"Kupikir kau paham apa maksudku. Namun baiklah akan aku pertegas lagi. Memang iya, aku tak butuh kebebasan tapi bukan berarti kau berhak melarangku. Kebebasan dalam artianku adalah, tidak pergi ke kelab atau mungkin berbelanja dan lupa waktu. Aku dan sahabatku baru saja bertemu setelah dua tahun dia menetap di Los Angeles."
Aleta menjawab serta melayangkan tatapan tak kalah sengit dan bergegas berjalan, namun tak lama membalikkan badannya untuk menatapnya sekali lagi.
"Kau akan tetap berdiri di situ dan membuat kekasihmu menunggu?" Aleta segera berjalan keluar dan menghampiri Sarah di mejanya.
Aleta melayangkan bola matanya menyapu seisi ruangan restoran dan menangkap sosok gadis yang tak asing baginya. Bukan, bukan karena gadis itu yang Aleta kenal. Namun lebih kepada pria yang berdiri di samping kanannya dan memberi lumatan di bibirnya. Aleta hanya memperhatikan selama sekian detik dan kembali mendengarkan ocehan Sarah yang sedikit merajuk karena lama ia tinggal.
Tak lama, sudut mata Aleta menangkap sosok Alex yang berjalan dari arah toilet dengan wajah yang sedikit lesu. Aleta hanya membuang muka dengan cuek dan segera bergegas pergi setelah sebelumnya meninggalkan beberapa lembar dollar di atas meja.
***
"Kau harus mencoba dress ini. Aku sengaja merancangnya untukmu Aleta. Anggaplah sebagai kado pernikahanmu dan maaf karena aku tak sempat datang."
Aleta sedang berada di butik Sarah. Selain model, Sarah mengelola beberapa butik ternama yang ada di Los Angeles dan New York. Jangan lupakan soal dua kota yang menjadi fashion di dunia selebriti di hollywood. Aleta menerima dress pemberiannya. Sarah selalu mengerti seleranya dalam fashion. Sederhana namun mewah dan tak terkesan mencolok.
"Aku akan meluncurkan dress ini besok. Kuharap kau bisa menemaniku."
"Akan aku usahakan. Dan terima kasih untuk dress ini. Kau yang paling mengerti ini."
Aleta memeluknya sebentar dan bergegas berjalan ke arah ruang ganti.
Setelah terpasang sempurna di badan rampingnya, Aleta segera menemui Sarah.
"Sarah, sungguh rancanganmu sangat mengesankan. Terima—"
Belum sempat Aleta menyelesaikan ucapannya dan mendapat sepasang kaki dengan sepatu yang tak asing di matanya.
Aleta mendongakkan kepalanya dan ya benar saja. Dugaannya tak salah. Alex berdiri tepat di hadapannya dengan gadis di sampingnya. Wanita yang Aleta lihat di restoran tadi dengan manja bergelayut di lengan kekar Alex. Aleta hanya mengalihkan pandangannya dan segera mencari Sarah.
Aleta tahu, Alex menatapnya tajam. Kelewat tajam bahkan. Namun Aleta tak peduli. Dan lihatlah, Alex melarang Aleta namun dia pergi dengan sesukanya. Bukankah itu menyebalkan?
***
Setelah satu hari penuh Aleta menghabiskan waktu dengan Sarah dan malam semakin larut, ia putuskan untuk kembali ke hotel. Mandi dan segera beristirahat.
Namun, baru beberapa langkah kakinya memasuki hotel, terdengar samar-samar suara televisi yang dinyalakan. Aleta bergegas berjalan ke arah dalam dan mendapati Alex sedang duduk manis dengan acara televisi entah apa yang tak Aleta mengerti.
Sebenarnya, setelah kejadian pagi tadi direstoran, Aleta sedikit malas bertatap muka dengan wajah datar Alex. Jadi segera ia putuskan masuk ke kamar dan berniat mandi.
Tapi, suara berat bariton seksi itu menghentikan langkahnya dan mematung di depan kamarnya. Mengurungkan niat Aleta untuk membuka kenop pintu.
"Bisa kita bicara?" Suara Alex terdengar mengalun lembut dan sedikit serak. "Duduklah," titahnya cukup tegas dan cuek lagi setelah tak ada tanggapan dari Aleta sambil menepuk sofa empuk di sebelahnya.
Aleta berangsur berjalan dan duduk di sofa sebelah kanan Alex. Bukan, bukan duduk tepat di sebelah Alex hanya sedikit menjauh.
"Bicaralah." Aleta menjawab pelan namun meyakini jika Alex mendengarnya. Terdengar helaan nafas kasar juga raut muka yang sedikit kusut serta mata memerah. Aleta tak berniat untuk bertanya dan mengalihkan fokus pada acara televisi.
"Kita akan menetap di Paris. Beberapa cabang baru kantor di buka di sana. Dan kau bisa saja mulai bekerja di sana. Menjadi asistenku."
Aleta tetap tak bergeming. Menunggu kelanjutan ucapan Alex.
"Kuharap kau bersiap. Dua hari lagi kita berangkat."
Aleta menarik nafas dalam dan berdeham pelan selebihnya berlalu pergi menuju kamar. Ia butuh mandi. Badannya terasa lengket karena keringat.
"Kau tak keberatan bukan jika Elora bersama kita?" Sontak Aleta berhenti setelah beberapa langkah menuju ke arah kamarnya. Aleta hanya tersenyum kecut dan mengangguk perlahan. Entah Alex melihatnya atau tidak, Amora tak peduli.