Suasana di dalam mobil mewah itu sunyi. Tak ada dari satu pun yang ingin membuka percakapan. Bahkan suara radio seperti tak terdengar meski bervolume rendah. Kedua orang di dalamnya terlalu asik dengan pikiran masing-masing setelah satu hari penuh dilalui dengan acara fitting baju pengantinnya.
"Kau masih bisa membatalkannya. Aku merasa tak tega dengan kekasihmu itu." Wanita itu, Aleta mencoba mencairkan suasana yang hening.
Sebenarnya, wanita dengan hazel mata cokelat itu tak menyukai hal yang sunyi dan sepi. Sambil masih mengarahkan pandangan matanya ke arah luar jendela, seakan-akan pemandangan di luar sana jauh lebih menarik dari pada pria disampingnya.
"Tidak. Biarkan saja seperti ini." Pria itu, Alexander Watson, menjawab dengan santai dan masih terus berfokus pada jalanan di depannya.
Keheningan kembali menyapa. Wanita itu hanya tersenyum kecut dan mencoba mengalihkan pikirannya. Aleta tak ingin memikirkan apa pun. Hanya saja, entahlah. Pikiran itu terus saja hinggap di kepala cantiknya.
Dering ponsel menghentikan aktivitas hening yang sedang berjalan. cantiknya.Alex menerima panggilan itu dengan senyum tipis di bibirnya.
"Aku baru saja akan menghubungimu sweetheart. Oh, serindu itukah padaku? Aku juga merindukanmu, sungguh."
"Aku sungguh kesepian di sini. Kapan kau pulang?" Suara di seberang telepon membuat Alex semakin menyunggingkan senyum manisnya.
"Ah, benarkah? Baiklah, minggu depan aku akan pulang. Tunggu aku, oke. Love you more, sweetheart."
Selesai dengan telepon singkatnya, Alex segera meletakkan ponsel pintarnya di dashboard seperti semula. Muka datarnya kembali memenuhi dengan tatapan mata tajamnya.
Aleta hanya diam dan mencoba memejamkan kedua bola matanya. Tak ingin mendengarkan obrolan dua sejoli yang saling merindukan itu. Toh bukan urusannya juga bukan?
***
Semua persiapan pernikahan sudah tersusun dengan rapi. Undangan mewah yang tercetak juga dekorasi gedung serta gaun pernikahan mewah yang bertengger indah di kamar Aleta tak luput menjadi fokus perhatiannya malam ini.
Ya, besok adalah hari pernikahannya dengan Alex. Setelah satu minggu penuh mempersiapkan semuanya. Bahkan selama satu minggu kebersamaan mereka, Aleta sama sekali tak mengenal bagaimana sikap serta sifat Alex. Dan juga, sikap dingin serta acuh masih saja melekat pada diri Alex. Aleta tidak tahu hendak menganggapnya ini sebagai apa. Semakin hari keraguan Aleta akan pernikahan ini terus merongrong hatinya. Aleta juga tak bisa abai soal kekasih Alex yang ada di Los Angeles.
Malam ini dingin.
Aleta memandang nanar ke arah luar jendela kamarnya. Menikmati udara musim gugur yang dingin dan menyapa kulit-kulit halusnya. Malam yang telah larut, namun Aleta enggan untuk beranjak. Ia masih asik berkutat dengan pikirannya sendiri. Menyimpulkan spekulasi-spekulasi yang muncul. Lama terpekur, membuat kedua bola mata Aleta sedikit memberat karena terpaan angin yang semakin dingin mengingat waktu menunjukkan pukul 11 malam.
Aleta turunkan kaki jenjangnya yang sedari tadi ditekuk dan sedikit merenggangkan otot-ototnya yang pegal. Lalu beranjak masuk dan menuju ke arah ranjangnya.
Hanya butuh waktu sepuluh menit dan mata indahnya sudah terpejam sempurna. Menuju alam bawah sadar yang indah.
***
"Ah, kau sangat cantik sayang," ucap Sandy yang baru saja muncul dari balik pintu kamar Aleta. Sambil berjalan ke arah Aleta yang di balas dengan senyum simpulnya.
Lihatlah, wanita ini sudah melahirkan dua anak dan usianya hampir setengah abad namun wajahnya masih sangat awet muda. Pantas jika Ayahnya tak bisa berpaling dari wanita yang telah melahirkannya.
"Kau tahu, baru kemarin Mom melahirkanmu, memberimu ASI juga menimangmu. Namun lihatlah sekarang, kau menjelma menjadi gadis cantik dan dewasa. Aku bahkan tak percaya jika kau akan menikah sebentar lagi. Mom bangga padamu sayang."
Aleta menghambur ke pelukan hangatnya. Pelukan yang menenangkan ketika Aleta merasa takut juga gugup seperti ini. Aleta tak malu jika diumurnya yang ke 23 tahun ini masih sering bermanja pada Ibunya.
Dapat Aleta rasakan Ibunya menepuk pelan serta mengusap punggungnya, hal kecil yang paling ia sukai saat Ibunya menenangkannya.
"Kau akan bahagia, Sayang. Percayalah. Jangan menangis, oke. Dad sudah menunggumu. Pemberkatan akan di mulai sebentar lagi. Kau cantik sekali hari ini."
Usai berkata seperti itu, Sandy pergi keluar dan Aleta segera berjalan ke arah pintu menemui Ayahnya yang sudah menunggu.
"Kau siap, Sayang?"
Pria paruh baya yang masih nampak gagah ini mengulurkan tangannya pada Aleta. Menggenggam erat jemari lentik Aleta tanda tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.
"Dad pasti terdengar egois karena memaksamu tanpa memberi pilihan. Namun, Dad inginkan yang terbaik untukmu. Dan Dad tahu, kau pasti sangat ingin menikmati pekerjaanmu setelah usai dengan S2 mu yang kau tempuh selama ini."
Sebagai orang tua, William Markle patut berbangga diri memiliki putri seperti Aleta. Bukan ingin menyombongkan diri, tapi di mata William, Aleta adalah bocah kecilnya yang penurut. Aleta menjalani kehidupan baik yang tak pernah William duga-duga dan berhasil di usia muda. Aleta membuat William merasa bersyukur bahwa putrinya memang yang terbaik dan patut di berikan kehidupan yang terbaik pula.
Aleta mendengar helaan napas panjangnya yang sedikit sesak sembari menahan tangis. Ia hanya memberinya senyum sambil menggeleng pelan.
"Tidak Dad. Aku tak pernah berpikir demikian. Aku justru bersyukur karena kau begitu menyayangiku sehingga kau berpikir aku tak akan disakiti oleh siapa pun. Kau tahu Dad? Kau Ayah terbaik yang kumiliki di dunia ini."
Aleta memeluk erat Ayahnya sambil memejamkan mata. Ia tahu, ia berbohong pada Dad soal hal menerima perjodohan ini. Padahal hatinya menolak. Aleta hanya tak ingin membuatnya kecewa dan sedih.
"Dad bangga padamu, Sayang."
***
Alex sudah berdiri di sana. Di samping pendeta dan beberapa jemaat di gereja yang akan menyaksikan pernikahannya dan Aleta. Jika boleh memilih, Akex ingin menikah dengan Elira. Namun sayang, itu hanya sebuah keinginan lalu. Karena sampai kapan pun tak akan pernah terjadi. Kecuali jika dirinya bertekad melakukannya. Dan itu belum sama sekali terpikir olehnya.
Sudut mata Alex menangkap sosok anggun dengan balutan gaun pengantin berwarna putih bersih. Terkesan sederhana namun tetap nampak mewah. Ah, benar dugaannya. Wanita ini sungguh sederhana. Berbeda jauh dengan Elora yang selalu senang berbelanja. Namun ia tetap mencintai Elora.
Alex ulurkan tangannya untuk menerimanya dari Ayah mertuanya.
"Jaga dia untukku. Aku percayakan semuanya padamu," bisik William pelan di telinga Alex. Alex hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Lalu mengarahkan bola matanya pada gadis yang ada di depannya.
Pendeta memulai khotbah singkat serta pengucapan janji suci. Tak lupa sepasang cincin bermata berlian ia sematkan dijari manis lentiknya. Begitu juga dengannya.
Alex memandangi lekat wajah cantik namun natural walau terpoles riasan. Wajahnya datar dengan tatapan kosong ke arah depan. Entah apa yang telah dipikirkannya, Alex mengarahkan bibirnya untuk mengecup kening Aleta singkat dan terdengar tepuk tangan riuh dari bangku jemaat.
Lihatlah. Dia bahkan tetap diam juga menatap kearah depan dengan tenang. Alex tak ingin ambil pusing dan segera menggandeng tangannya menuju ke arah keluarga yang telah menunggu.
Usai mengucapkan selamat dan kami semua bergegas menuju ke gedung resepsi. Ya, Alex memang meminta acara resepsi diadakan seusai acara pemberkatan. Karena nanti malam ia akan menuju ke Los Angeles menemui Elora. Dan tentu saja, gadis cantik disampingnya yang berstatus sebagai istri beberapa jam yang lalu akan ikut.
"Kau tak keberatan bukan kita ke Los Angeles nanti malam." Alex sedikit mengajaknya mengobrol. Sebenarnya ia tak suka berinteraksi dengan banyak orang dan orang baru di sekitarnya. Hanya saja, kali ini Alex perlu memberi tahunya bukan?
"Hm."
Alex hanya mengedikkan bahu cuek ketika mendapat jawaban acuh dari Aleta. Untuk apa ia ambil pusing. Membuang waktu saja.
***
Acara resepsi baru saja usai sejak satu jam yang lalu. Lelah. Itu yang Alex rasakan. Berdiri berjam-jam menyambut para tamu dan bersalaman guna mendapat doa.
Tepat pukul sembilan malam Alex segera menuju ke bandara. Tempat jet pribadinya menunggu dan akan membawanya serta Aleta ke Los Angeles.
Alex sudah menghubungi Elora bahwa ia akan datang malam ini dan memberi tahunya untuk menunggu. Alex sungguh sangat merindukan gadisnya itu.
***
Aleta hanya duduk terdiam sambil mendengarkan lagu dari Ipodnya. Jet pribadi milik Alex sudah mendarat sejak 45 menit yang lalu dan di sinilah Aleta; hotel mewah berbintang. Salah satu hotel yang memang milik Alex. Dan entah ke mana perginya pria yang baru saja menikah dengannya tadi pagi itu.
Aleta menatap suasana Los Angeles dari atas gedung yang menjadi kamarnya di lantai 22 ini. Sebuah kamar mewah dengan perlengkapan yang benar-benar membuatnya nyaman. Los Angeles tak pernah sepi. Walaupun waktu sudah menunjukkan hampir pagi.
Aleta hirup udara sedalam mungkin. Sesak. Itu yang ia rasa. Pandangannya kosong ke depan menatap gemerlap lampu yang berpencar di Los Angeles. Indah. Hanya saja perasaannya sungguh kalut.
Aleta mendengar bunyi bel pada kamarnya di tekan. Segera ia arahkan kaki jenjangnya untuk membukanya.
"Kau belum tidur?" tanya Alex yang ada di hadapan Aleta. Pakaiannya sudah berganti sedikit santai.
"Belum," jawab Aletasingkat.
"Aku akan menginap di apartemen bersama Elora. Kau tak apa bukan kutinggal? Jika butuh sesuatu kau bisa hubungi stafku. Aku sudah berpesan pada mereka."
Aleta hanya mengangguk dan segera masuk menuju kamarnya. Aleta akan segera tidur atau melakukan apa saja asal perasannya bisa membaik. Aleta merasa seperti orang bodoh di sini. Menerima perjodohan ini sedang Alex jelas sudah memiliki kekasih. Aleta merasa seperti tersisih dengan ungkapannya barusan. Ia seperti simpanan yang benar-benar murahan. Tapi Aleta terikat dalam ikatan pernikahan.
Rasanya Aleta ingin menangis. Namun ia mencoba menahannya. Ia harus kuat bukan?
"Aku pergi Aleta. Selamat malam."
Aleta hanya diam tak menyahut ketika Alex telah bersiap akan pergi setelah lima menit lamanya membawa barang-barang pentingnya. Rasanya Aleta tak sanggup melihat sorot matanya yang begitu tajam juga sikap dinginnya itu.
Walaupun Aleta sudah menyandang nama belakangnya namun belum bisa ia di terima olehnya. Percayalah, rasa ini sungguh menyakitkan.
Entah benar Aleta telah jatuh cinta pada Alex atau hanya sekadar mengagumi. Namun Aleta merasakan sakit ketika Alex mengatakan akan ke apartemen dan bersama kekasihnya, Elora. Wanita itu bernama Elora. Aleta meyakini jika wanita itu sangatlah cantik sehingga Alex tak bisa melepaskannya.
Bahkan seusai acara resepsi, Alex menahan lelah hanya untuk menemui kekasihnya yang berada di Los Angeles. Betapa beruntungnya gadis itu. Dicintai oleh Alex dan mendapat perlakuan hangat darinya.
Tuhan, sejak kapan bernafas menjadi sesesak ini. Padahal menangis bukan hal biasa untuk Aleta lakukan. Jangan biarkan Aleta egois. Sekali pun Aleta tahu ini salah dan tak seharusnya terjadi.
Perlahan kedua bola mata Aleta lelah karena menangis. Dan memilih untuk tidur serta tak memikirkan hal itu. Satu hari ini cukup menguras tenaganya. Berdiri dan menemui tamu-tamu penting di acara resepsi pernikahan. Jangan lupakan heels 7 cm yang membalut kaki indahnya selama satu hari penuh ini.