Chapter 2 - Bab 2

Masih berlatarkan musim gugur dan udara dingin yang menyusup masuk sampai ke tulang belulang. Wanita dengan rambut cokelat sebahu mengenakan baju santainya sedang bercengkerama bersama pria yang duduk tak jauh di kursi balkon kamarnya. Menghadap langsung ke arah danau buatan di bawah sana.

Adalah Alex dan Aleta.

Dengan pandangan nanar tak ada dari keduanya untuk mengakhiri kesunyian yang sedang mereka ciptakan. Sebenarnya, keadaan ini tak berpengaruh apa pun, hanya saja saling diam dalam waktu yang cukup lama sangatlah membosankan.

Seharusnya mereka saling memperkenalkan diri bukan?

Dengan langkah berat, gadis yang tak lain adalah putri kedua di keluarga Markle mengarahkan kedua kaki jenjangnya menuju ke dalam. Ranjang yang di butuhkannya. Lebih baik tidur daripada harus berdiam diri seperti kambing congek.

Melihat hal itu, pria yang duduk tak jauh dari sana hanya mengikuti ke mana arah pergi calon istrinya. Calon istri? Entah itu pantas atau tidak diucapkannya. Sedikit sumbang dan terdengar aneh.

Pikirannya kembali melayang pada kenangan bersama kekasih yang dicintainya, Elora. Wanita yang sangat diharapkannya untuk menjadi istri juga Ibu bagi anak-anaknya di masa depan. Wanita yang mampu membuat hatinya bergetar hanya dengan menatap bola mata biru cerahnya. Dan wanita yang tak di terima oleh keluarga besarnya hanya karena perbedaan status. Selalu seperti itu.

Pria itu, Alexander Watson hanya mampu mengembuskan nafasnya. Sejak kapan bernafas juga terasa sesak. Tak lama berkutat dengan pikirannya sendiri, Alex memutuskan untuk menyusul wanita yang notabennya adalah calon istrinya.

"Boleh aku bertanya?" tanya Alex sambil duduk membelakangi. Kembali Alex tarik nafasnya. Rasanya … entahlah. Alex tidak bisa menjabarkan dengan kata-kata.

Merasa ada suara, Aleta kembali duduk setelah tadi membaringkan badan mungilnya untuk memulai tidur siang.

"Hm" jawabnya singkat sambil mengerutkan dahi karena keheranan. Terlebih, Alex menatapnya tajam membuatnya harus cepat mengalihkan pandangan ke depan. Kosong.

"Kenapa kau menerima perjodohan ini? Kau masih sangat muda dan aku yakin kau pasti ingin hidup bebas." Tanpa rasa bersalah, Alex bertanya dengan setia menatap lurus ke arah Aleta yang tak jauh darinya.

Aleta hanya menyunggingkan senyum tipis dan mengembuskan nafasnya perlahan. Mencoba berpikir apa maksud dari pertanyaan manusia dingin yang menjelma tampan sedemikian rupa layaknya Dewa Yunani di sampingnya ini.

"Ibuku." Alex menoleh dan sadar jika alasan umum itu tak menjadi hal aneh lagi. Tidak dirnya saja, namun Aleta juga sama.

"Aku tak ingin mengecewakan Ibu juga Ayahku. Kau tak perlu khawatir soal hidup bebas. Aku terbiasa menjadi diriku sendiri dan bukan berfoya-foya layaknya wanita di luar sana." Aleta menjawab dengan sedikit sinis dan ada nada mengejek, seakan menjawab tebakan Alex yang sedikit merendahkannya.

Hening sejenak. Hanya deru nafas yang saling bersahutan.

"Aku sudah memiliki kekasih dan dia di Los Angeles." Alex memulai dengan pandangan menerawang ke atas langit-langit kamar Aleta.

Sedikit terkejut dengan apa yang di dengarnya, Aleta menoleh dengan sigap namun tak lama kembali memandang ke depan. Dengan sedikit senyum kecut di wajah cantiknya.

"Lalu? Untuk apa kau terima perjodohan ini?"

Alex menghela nafas entah sudah berapa kali dilakukannya. Hasilnya tetap percuma, Alex tidak menemukan alasan kenapa harus berada di sini, menerima perjodohan ini selain untuk Ibunya.

"Ibuku, sama sepertimu. Alasan klasik bukan?"

"Hm." Aleta menjawabnya secara singkat. "Aku ingin tidur. Bisa kau keluar," lanjutnya. Aleta merasa belum terbiasa dengan Alex. Dia tetap orang asing, 'kan?

"Boleh aku tidur di sini? Aku lelah." Tanpa persetujuan apa pun dari Aleta, Alex sudah membaringkan badan kekarnya di samping Aleta sembari membuka kemeja yang sedari tadi melapisi tubuh berototnya.

Sejenak, Aleta memandangi tubuh pria yang ada di depannya. Lengan kekar yang dipenuhi tato juga dada bidang dengan tato salib yang terukir indah.

"Mengagumi, eh?" Alex bertanya dengan nada sarkastik yang membuat Aleta sedikit gelagapan karena ketahuan mencuri pandang ke arahnya.

Rona merah muncul dikedua pipi tirus Aleta yang cantik. Langsung saja membuatnya menyembunyikan di balik selimut tebalnya. Hal itu hanya mendapat tanggapan gelengan kepala heran dari Alex dan senyum mengembang.

Perlahan, keduanya memasuki alam bawah sadarnya masing-masing dengan dengkuran halus yang tercipta.

***

Aleta menggeliatkan tubuhnya. Sedikit meregangkan rasa pegel di punggungnya. Ia tolehkan kepalanya kesisi kiri dan mendapati seorang pria tampan yang tertidur dengan pulas seperti bayi. Wajahnya sangat tenang.

"Pantas jika semua wanita di luar sana menginginkanmu. Lihatlah! Kau sungguh di luar dari kata sempurna. Aku yakin jika kekasihmu tak pernah bisa untuk melepaskanmu barang satu menit saja. Kenapa? Kau yang bodoh atau memang aku yang naif. Tak seharusnya kita menerima ini walau dengan alasan orang tua kita."

Hanya tersampaikan dalam hari Aleta saja.

Aleta tersenyum kecut. Dan berpikir betapa bersyukurnya merasa di cintai olehnya. Lama Aleta pandangi hingga jenuh, namun Aleta tak jenuh untuk memandangnya. Rumit, ya?

Wajahnya bak Dewa Yunani yang terpahat sempurna. Bulu mata lentik, hidung mancung juga rahang yang kokoh. Oh jangan lupakan soal bulu-bulu tipis diatas bibir seksinya yang merah muda. Bibirnya seperti candu. Gila, fantasi Aleta tentang Alex terlalu tinggi.

Menggelengkan kepala, Aleta segera beranjak dan menuju ke arah kamar mandi. Membersihkan diri juga berendam dengan air hangat serta harum lavender yang merelaksasi. Aleta memang butuh itu.

Sambil menyenandungkan lagu dari ponsel membuatnya semakin merasakan kenyamanan.

Cukup dengan dua puluh menit dan Aleta segera membilas badannya lalu bergegas menuju ruang ganti dan memilih baju santai. Hot pants dan tshirt sedikit kebesaran adalah pilihannya.

Aleta rapikan rambutnya secara asal dan membiarkannya tergerai bebas. Aleta lihat, Alex belum bergerak sedikit pun dari peraduan mimpinya. Tidurnya sangat tenang dan nyenyak. Terdengar dengkuran halus keluar dari celah bibir seksinya. Tersenyum dan Aleta segera meninggalkannya keluar dari kamar menuju ruang keluarga. Sedikit bermalas-malasan juga menonton acara televisi bisa sedikit membantunya dari kejenuhan.

Melayangkan tatapan ke seluruh penjuru rumah. Sepi. Itu awal kata yang tepat. Hanya ada beberapa pelayan yang sedang bersiap menyiapkan makan malam mengingat waktu menunjukkan pukul enam sore.

"Daddy dan Peter akan pulang sebentar lagi dari kantor. Mom pasti pergi keluar dengan Malle."

Aleta hanya mengedikan bahu cuek lalu berjalan menuju kulkas. Haus. Itu yang sedari tadi ia rasakan. Aleta butuh minum. Beberapa pelayan memberikan senyum ramah kepadanya. Aleta hanya membalasnya dan berlalu keluar menuju ke ruang keluarga.

***

"Tidak, Sayang. Sungguh, aku tidak apa-apa. Kau tak perlu cemas, oke." Alex mencoba menenangkan seseorang di seberang sana dengan suara khas bangun tidur. Serak, tentu saja.

"Kau tak meneleponku dan aku khawatir padamu, kau tahu?"

Suara manja itu, ah sungguh Alex sangat merindukannya. Berapa lama Alex tak mendengar rengekan manja juga suara khas merajuknya. Alex terkekeh pelan.

"Aku sangat sibuk, Sayang. Membantu Ayahku dan kau tahu bukan? Maaf membuatmu merasa khawatir."

Alex mencoba menenangkan dan benar. Tak lama Alex mendengar suara helaan nafas lega dari seberang sana.

"Baiklah. Jangan lupa minum vitamin juga makan teratur. Kau juga jangan terlalu larut tidur. Aku mencintaimu."

"Aku juga."

Alex mengakhiri panggilan telepon masuk yang mengganggu tidurnya. Menghempaskan badannya ke ranjang dan menatap pintu balkon yang tak tertutup. Malam sudah larut. Pukul tujuh malam.

"Ke mana Aleta?"

Alex tak melihat Aleta sejak kedua bola matanya terbuka. Mendadak muncul perasaan perasaan bersalah pada Elora. Berbohong bukan gaya Alex selama ini. Namun mengatakan yang sejujurnya untuk sekarang ini juga bukan waktu yang tepat.

Andai masalah ini tak serumit kelihatannya. Andai dengan membalikkan telapak tangan semudah bisa merubah semuanya, Alex ingin melakukannya. Menikah dan membersamai orang yang kita cinta, bukankah harapan semua orang?

"Elora." Alex mengerang pendek dan menutup kedua matanya dengan tangannya. Entah bagaimana menjelaskannya nanti. Yang pasti Elora akan terluka. Dan Alex pun tak sanggup ditinggalkan oleh Elora.

Lama Alex berpikir, akhirnya ia putuskan untuk membersihkan diri dan segera keluar untuk makan malam. Perutnya terasa melilit karena hanya memakan makanan di pagi hari tadi dan melewatkan makan siang.

***

"Kau sudah bangun? Makan malammu di meja. Ibuku dan Ibumu pergi. Ayahku dan Peter juga belum pulang."

Alex menoleh dan mengangguk sebagai jawabannya. Lantas berlalu pergi menuju meja makan tak jauh dari ruang keluarga.

Sebenarnya, Aleta tak jauh beda dari wanita-wanita lain. Bahkan lebih cantik dari Elora. Kaki jenjang juga tubuh ramping serta hazel mata indah dan bibir tipisnya. Hanya saja, Alex masih enggan untuk sedikit terbuka dengannya. Entahlah. Rasa ini masih tertanam tulus untuk Elora. Hanya Elora. Yang membuat jantungnya berdebar kencang hanya dalam waktu satu kali pandang. Sulit rasanya walau hanya sebentar untuk menggeser posisinya. Empat tahun bersama, jalinan cinta ini sangatlah kuat.

"Aku merindukanmu, Elora. Sentuhan lembutmu juga caramu memanjakanku."

***

"Aku ingin pernikahan ini segera dilaksanakan, Will. Jika bisa Minggu depan kita laksanakan. Aku tak peduli apa pun alasannya. Aku tak ingin semuanya sia-sia. Kau pasti ingat bukan dengan janji persahabatan kita. Kita akan menjodohkan anak kita kelak. Hm, aku percayakan padamu dan Malle."

Pria paruh baya itu meletakkan kembali telepon canggihnya di atas meja dan berpikir keras. Usahanya hanya sebentar lagi. Memisahkan wanita sialan itu dari kehidupan putranya. Hanya benalu untuk keluarganya.

Terdengar pintu di ketuk dari luar. Setelah menyerukan untuk masuk dan terdengar suara pintu berdecit, Jeremy Watson, pria paruh baya yang angkuh segera mengangkat kepalanya dan melihat orang kepercayaannya masuk dengan wajah tenang.

"Tuan," sapa lelaki yang berumur 35 tahun itu.

"Aku tak ingin mendapat kabar buruk yang kau bawa," jawab Jeremy tegas.

"Tuan muda sudah di Toronto. Dan Nyonya menyampaikan acara pernikahan segera dilaksanakan."

"Baguslah. Lalu bagaimana dengan wanita sialan itu? Kau sudah membereskannya?"

"Wanita itu menghilang, Tuan. Tak berada di Jerman."

Dengan pandangan mata penuh amarah, Jeremy mengepalkan kedua tangannya. Menahan sebisa mungkin amarahnya yang akan keluar.

"Aku tak peduli, bagaimana pun caranya temukan wanita sialan itu."

Lelaki itu hanya patuh dan pergi dari hadapan Jeremy. Setidaknya, bos besarnya masih mempercayainya untuk bekerja di bawah pimpinannya.

***

"Kau cobalah gaun ini Aleta." Malle mencoba membantu Amora memilih gaun pengantin untuknya.

Ini sudah gaun ketiganya setelah dua gaun tak cocok karena menurutnya sedikit terbuka. Ibunya itu sungguh berlebihan. Aleta hanya bisa menuruti walaupun dengan sedikit gerutuan.

Lain halnya dengan Alex. Pria tampan itu juga sama hanya bisa mengikuti semua keinginan Ibunya yang memintanya mencoba beberapa tuxedo mewah di acara pemberkatan juga resepsi pernikahannya nanti.