"Bi Emat, kopi susu satu," pesanku kepada Bi Emat yang sedang sibuk merapikan meja.
"Oke, Bal. Kamu teh gak mesen apa-apa, Ris?" tanya Bi Emat sambil mengacungkan jempol.
"Teh tawar anget aja, deh, Bi."
"Gorengan?"
"Teh tawar anget."
"Mie rebus?"
"Teh tawar anget."
"Pake telor?"
"Enggak."
"Oke, deh."
Akhirnya tergoda juga Aris dijebak Bi Emat supaya memesan mie rebus. Memang, pengalaman adalah jawaban sekaligus senjata mematikan.
Siang itu, matahari tepat berada linier dengan kepala kami. Apabila seandainya matahari itu copot, dan jatuh, barang pasti akan mengenai kepalaku dan juga Aris. Tentu, kepala semua orang juga.
Lega adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan kami waktu itu. Ujian sudah selesai, libur sebentar lagi tiba, dan Aris tak kena damprat bapaknya. Selamat ia berkat cerita-cerita baik yang ia haturkan kepada bapaknya sebagai pelipur lara dan pembasmi dosa, sehingga membuat bapaknya pun menjadi luluh dan kembali menjadi seorang bapak.
"Aan kemana ya, Ris?"
"Naik Mayasari Bakti ke daerah Senen, Jakarta, Bal. Ama emak-bapaknya. Biarin dah."
"Oh. Erfin?"
"Kasian anak gak jelas itu. Lagi kolam pemancingan Bang Minan yang cuma satu kolam itu. Bantuin ama nemenin bapaknya mancing. Ih, kasian," Aris tertawa kecil menceritakan penderitaan Erfin.
"Hamzah?"
"Ditelen Bumi. Kaga tau dah kalo Hamzah."
Tak lama berselang, muncul Bi Emat dengan baki berisi kopi susu setengah gelas dan mie rebus tanpa telur. Agak konyol memang. Di bawah terik matahari yang menyerap sampai ke tulang, konsumsi kami malah yang panas-panas pula. Aneh sekali kami ini.
Obrolanku dengan Aris, dimulai dari curahan hatinya tentang bapaknya yang mudah sekali marah, sekaligus mudah sekali lemah lembut. Kata Aris, bapaknya kalau marah, daripada memukul Aris, bapaknya justru lebih sering memukul dirinya sendiri sebagai bentuk jengkel dan geramnya kepada Aris. Tembok ditepuk-tepuk, sepatu dibanting-banting, tangan dikepal-kepal, dan selalu diakhiri dengan wajah yang digosok-gosok.
Aku tertawa terbahak-bahak, bukan karena perilaku bapaknya yang tidak umum itu, tapi membayangkan bagaimana reaksi Aris saat bapaknya mengeluarkan jurus begitu membuatku terpingkal-pingkal saat itu.
Sebagai teman yang baik dan seimbang, mendengar dan memperdengarkan adalah sirkulasi yang normal, 'kan? Maka aku juga bercerita tentang keganjilan diriku saat mulai mengenal cinta, atau dalam hal ini adalah Syifa. Sejurus setelah itu, Aris selalu menyetelengkan hubungannya dengan Bunga mengherankan itu.
Saat aku dan Aris sedang asyik-asyik bersantai di warung Bi Emat, dan Bi Emat juga main pergi begitu saja entah kemana, tiba-tiba dari arah Timur terdengar sayup-sayup seperti suara orang berteriak.
"Apaan, Ris? Denger?"
"Denger, Bal. Orang teriak."
Aku memasang telinga lebar-lebar, dan semakin kupasang, semakin ramai terdengar sumber suara teriakan itu. Semakin keras. Semakin jelas.
"Tabrakan?" tanyaku.
"Gak tau."
Dengan segera, aku menghabiskan kopiku, dan Aris melahap sekaligus mienya. Aku dilanda perasaan gamang, penasaran, sekaligus takut akan teriakan yang sampai saat ini juga masih kudengar.
"Bal! Tawuran! Anak STM 73!"
Aku langsung bertolak dari tempat dudukku, dan berlari dari warung Bi Emat ke arah kebun singkong sekitar 100 meter dari situ. Aku belingsatan! Suaranya saja sampai mencekik napasku. Kalau mereka tahu aku anak 07, habislah aku. Kulihat Aris juga panik bukan main. Keringatnya mengalir deras di dahi dan lehernya.
"Waduh, gimana nih, Bal? Cuma berdua. Gak bawa apa-apa juga."
"Sabar, Ris. Tenang. Sabar. Gua juga gak tau. Tapi kita ngumpet dulu di sini," kataku sambil terus menelusuri kebun singkong sampai ke dalam-dalamnya di mana juga terdapat pohon pisang yang bisa menyamarkan keadaan kami.
Di sela napasnya yang tersengal-sengal karena takut bukan kepalang, kalau-kalau anak STM 73 yang terkenal akan beringasnya mereka melawan siapa pun, apalagi melawan kami anak 05 atau bahkan 02, dengan mata yang terbelalak dan kebuncahan yang meruntuhkan kesadaran, Aris mulai pucat mukanya.
"Ris, Ris, tenang. Asal kita di sini, kita aman!" kataku mencoba menenangkan Aris. Lalu, siapa yang menenangkan aku?! Aku juga kalang kabut!
"Anjing, lu!"
"Bangsat!!!"
Kata-kata itu kian terdengar jelas dan dekat dari tempatku bersembunyi. Semoga warung Bi Emat tidak diacak-acak oleh kerusuhan yang membabi buta itu, meski aku tak bisa melihat secara lantang apa yang sedang terjadi. Tapi pasti, kemarahan yang dibawakan oleh STM 73 adalah kepastian yang berbahaya.
"Woi!! Jangan lari, lu!"
Sialan! Apakah tadi ada orang yang melihatku dan Aris bersembunyi di sini?!
"Gua kejar ampe mati, lu!"
Aarrgh!!! Aku sudah tidak bisa mengatur napasku! Suara itu terdengar seperti percis berada di balik pohon pisang tempatku bersembunyi ini! Kulihat Aris, keadaannya lebih kacau dari aku. Seperti seseorang yang tinggal sedetik lagi akan tertabrak mobil yang melaju dengan kencang, Aris, dengan tatapan kosongnya, sudah tak bisa mencerna apa pun lagi. Bagaimana ini?!
Suara langkah kaki yang berapi-api itu bisa terdengar jelas, meski berjarak sekian meter dan diredam oleh sekian banyak pohon singkong dan pohon pisang itu. Orang itu, atau orang-orang itu, kalau seandainya mengecek kebun singkong ini, sudah, habis sudah riwayatku. Kendatipun mereka tak mengenaliku, tapi melihatku bersembunyi begini tanpa alasan yang mereka juga tak sudi mendengarnya, mereka akan menghabisiku.
Untungnya, seribu untung, bersamaan dengan ketakutan kepasrahanku, suara itu melebar dan menjauh dari tempatku bersembunyi. Mungkin, ada orang lain yang juga sedang dikejar ke arah Selatan. Suara nyaring seperti orang yang sedang menyeret-nyeret parang besar di aspal itu bisa terdengar jelas di telingaku. Aku bersyukur. Keberadaanku tak diketahui oleh siapa pun. Aris juga, sudah mulai kelihatan kembali warna kulitnya.
"Ris, Ris, udah, insya Allah aman."
"Haduh ..."
Aris mengusap peluh keringat yang membanjiri jidatnya dengan lega.
"Gua tadi bengong, mikirin, gimana kalo seandainya Haris tiba-tiba muncul dari belakang mereka sambil bawa pasukan. Haduh, maaf, Bal."
Betul juga. Haris kemana? Kejadian sebesar ini, tak mungkin Haris tak tahu. Entah ada sangkutannya atau tidak, ada korelasinya atau tidak, entah kenapa aku tiba-tiba jadi kepikiran apa yang sedang Haris lakukan, dan di mana ia berada saat ini. Entah kenapa, aku punya firasat yang jelek sekali. Lagi-lagi, suasana mencekam ini kembali mencekik napasku.
Dengan memberanikan diri, aku dan Aris, setelah suara-suara seram itu mulai lindap dan hilang, aku keluar dan kembali ke warung Bi Emat sambil berjalan pelan berhati-hati.
"Bal, kenapa sekarang elu yang jadi bengong?" kata Aris heran memperhatikanku.
"Hmm .. gua jadi kepikiran Haris gara-gara omonganlu, Ris. Elu bener, 'kan, yang lagi tawuran itu anak 73?"
"Serius, Bal. Seragamnya biru-putih gitu. Basis."
"Hmm ... gitu. Terus, lawan anak 73, siapa?"
Kaget Aris. Ia tersontak. Ia mencoba untuk memutar kembali memori lima menit ke belakang, saat ada segerombolan orang yang dikejar anak 73.
"Siapa, Ris, menurutlu?"
"Iya juga. Siapa, ya?"
Pertanyaan itu, keberadaan Haris, semuanya berkumpul dan menumpuk di kepalaku seiring dengan berlalunya tawuran yang warga sekali pun tak kuasa melerai hal itu. Bagaimana tidak? Pasukan yang memanjang, memenuhi satu lajur, berdentingan antara senjata-senjata mengerikan itu dengan panas dan kerasnya aspal di jalanan, serta teriakan-teriakan yang membuat siapa pun mendengar itu merasakan intimidasi yang sangat kejam dan mengerikan.
Lagi, dan terus terjadi. Bagaimana juga, kekerasan memang tak bisa direnggut dari manusia.
Aku hanya mampu bertahan, dan bertahan. Sampai nanti tiba waktunya, momennya, bahwa semua ini akan berakhir. Setidaknya, kepadaku, kepada teman-temanku.***