Usai merilis apa yang ada di pikiranku, tentang kesulitan menjahit perasaan yang masih merangkak ini, aku kembali ke kamarku dan tertidur.
***
"Bal, Bal, adzan ...."
"Iya, Pak," jawabku sambil meregangkan sekujur badan, belum sadar sepenuhnya.
"Bapak duluan, ya ...."
"Iya, Pak."
Dalam sekejap, kulihat Bapak dengan mataku yang baru terbuka setengah itu sudah rapi dengan peci, koko, dan sarungnya keluar kamarku.
Untuk urusan yang seperti ini, adalah urusan yang sering kali kusesali karena aku tak bisa menyeimbangi kedisplinan Bapak kalau perihal salat jama'ah. Kusesali itu setiap hari. Tapi, penyesalan itu juga tiap hari kukhianati dengan alasan-alasan tolol dan kekanak-kanakkan.
Barang sehari saja, aku ingin sekali lima waktu, salat di musala bareng Bapakku. Kalau bisa bahkan tujuh waktu!
Aku beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Tepat setelah melangkah ke dalam, di sebelah kiri ada semacam kendi tua yang disumpal menggunakan bahan dari sendal jepit yang difungsikan sebagai penutup lubang di perut buncit kendi itu.
Kubuka, dan memancarlah air segar beraroma khas dari kendi itu. Aku wudhu sambil terkantuk-kantuk.
Setelah selesai, kugerak-gerakkan mataku supaya bisa segera melihat dengan jelas, sarung kuning yang beberapa bagiannya bolong terkena ampas rokok.
Baru saja kubuka pintu rumah, langit tiba-tiba mengelebatkan cahaya terang yang memenuhi atap kampungku, kemudian disusul dengan suara gemuruh besar-besaran. Sejurus kemudian, Subuh itu, meluncurlah hujan dengan sangat deras.
"Waduh ...."
Aku kembali ke dalam, mencoba mencari di mana letak payung berada.
Ketemu!
Di halaman rumah, kubentangkan payung itu, berjalan berjingkat-jingkat aku ke musala. Saat aku tiba di sebuah pohon rambutan, di mana bercokol sebuah tempat duduk lebar dari susunan bambu dan kayu tempat orang biasa jadikan markas ronda, atau main karambol, atau anak-anak muda main kartu remi, aku menemukan Bapak sedang meneduh di sana. Ngeri sebetulnya. Kukira ada lelembut yang turun dari pucuk pohon karena kedinginan.
"Pak, pake payung, nih."
Dengan sigap, aku memayungi Bapak yang sedang memeluk dirinya sendiri karena kedinginan itu. Ia tersenyum.
"Yaudah, ayo jalan," kata Bapak.
Baru saja beberapa langkah berjalan dari pohon rambutan nun angker itu, Bapak tiba-tiba menyerobot tanganku dan mengambil alih payungnya. Sekarang, dia yang memayungiku. Aku tersenyum.
"Yaudah, Pak, ayo jalan," kataku.
Baru saja beberapa langkah berjalan setelah Bapak memayungiku, aku tiba-tiba menyerobot tangan Bapak dan mengambil alih payungnya. Sekarang, aku yang memayungi Bapak. Bapak tersenyum.
"Yaudah, ayo jalan!" seru Bapak. Lalu, aku dan Bapak tertawa kencang sekali, beradu kencang dengan suara hujan yang kian banter.
Sampai di musala, Bapak duluan masuk karena sebentar lagi akan dikumandangkan iqomah, sedangkan aku masih sibuk menghilangkan bekas air hujan yang masih menempel di payung dengan mengepak-ngepakkannya. Kusimpan di teras musala, orang-orang sudah mulai berbaris. Bapak berdiri segaris lurus dengan imam.
Sebelum aku ikut salat, sebentar saja, aku mencoba untuk merapikan sendal jepit Bapak yang terkait sebuah paku kecil guna mengobati sendalnya yang pernah putus itu. Kurapikan sepresisi-presisinya, setelah itu baru aku ikut salat Subuh berjamaah.
Tepat setelah imam melantunkan waladhaalliin, dan makmum menyambutnya dengan ucapan aamiin, termasuk aku yang mengucapkannya keras sekali itu, tiba-tiba, listrik musala pun padam. Mati lampu.
***
Kalau boleh disebut sebagai kebanggaan, aku bangga terlahir di keluarga yang luar biasa menyenangkan. Memori-memori asyik dan membekas itu mengabadi di dalam diriku. Memori yang dihasilkan oleh empat kreator di dalam keluarga kecil ini.
Pertama, tentu saja adalah Bapak. Atau, sewaktu kecil aku sering menyebutnya dengan Kapiten, karena Bapak sering sekali berlagak seperti seorang perwira gagah yang menganilsa peta perairan lokal dan dunia, mengajakku ke atas pohon kersen dan melihat sekitaran di bawahku dengan monokular yang terbuat dari gulungan kertas HVS itu, atau mengajarkanku nilai-nilai kepemimpinan yang unik dan asbtrak sekali bagiku.
Salah satu peribaratan yang Bapak gunakan, yang masih kuingat sampai saat ini adalah bagaimana Bapak menyamakan memimpin dengan main sepak bola. Katanya,
"Tong ...,"
Tong adalah kebiasaan adat Betawi ketika memanggil seorang anak yang biasanya menggunakan kata Nak.
"Mimpin itu ibarat kata maen bola. Pas dapet bola, kamu jadi pemimpin. Pas lagi gak dapet bola, kamu juga tetep pemimpin. Bukan karena bola atau apa, tapi karena kamu udah masuk ke pertandingan itu, artinya kamu udah siap. Kamu udah siap buat bertarung sama keputusan. Keputusan yang kamu ambil, saat kamu dapet bola, atau saat kamu lagi gak dapet bola."
Begitulah. Terkesan aneh dan membingungkan. Tapi bisa kutangkap sedikit maksudnya. Setidaknya, untuk saat ini.
Kelakuan-kelakuan abstrak Bapak terlalu banyak jika harus kuceritakan. Itulah kenapa aku tadi mengatakan, aku bangga berada di keluarga yang menyenangkan.
Selain menyenangkan, ini adalah keluarga yang luar biasa.
Saat aku mendengarkan Bapak atau pun Emak bercerita tentang kehidupan masa kecilnya, sampai mereka akhirnya bisa menikah dengan kisah percintaan yang begitu lama dan penuh drama, itu adalah storytelling favoritku. Mengalahkan cerita Laila Majnunnya Nezami itu. Aku yakin betul. Jika seandainya Nezami yang hidup seumuran denganku, takkan pernah ada cerita Laila Majnun, dan terbitlah cerita yang akan melegenda, mendunia! Judulnya adalah Bapak Tidak Majnun.
Ya, begitulah. Mohon maaf.
Kedua, sama abstraknya dengan Bapak, dia adalah ibuku. Tepatnya, almarhumah ibuku. Di lain kesempatan saja kuceritakan, oke?
Yang terakhir adalah adikku. Tepatnya almarhum adikku. Meski aku belum pernah mencandainya, atau mengagetkannya dengan wajah menyeramkanku, aku yakin betul ia juga akan sama abstraknya. Ia akan memecahkan kaca rumah orang lain, melemparkan tuduhan kepada temannya sendiri, temannya itu dimarahi oleh pemilik rumah sampai menangis, seminggu kemudian adikku akan datang ke rumah itu untuk meminta maaf dan mengakui bahwa itu sebenarnya adalah perbuatannya. Aku yakin, pasti akan banyak kisah-kisah begitu.
Maka, aku bisa dengan pasti, sekali lagi, jika ada toa yang bisa menggapai satu Indonesia ini, dan ada orang yang diizinkan untuk mencoba mengudarakan kata-kata lewat toa itu, aku akan mati-matian berusaha untuk mendapatkan izin untuk itu, dan aku akan mendklarasikan kepada seluruh Indonesia bahwa aku bangga dengan keluargaku!
Masalahnya, setiap aku dilayani oleh perasaan positif itu, sekonyong-konyong datang perasaan selanjutnya yang menghantuiku tepat setelah aku berusaha positif. Hantu itu berwujud kata-kata. Bunyi katanya adalah, kalau aku bangga dengan keluargaku, apakah keluargaku bangga denganku?
Saat-saat di mana aku murung, di saat itu jugalah ada Bapak yang menggugahku. Ketidaksempurnaanya, bagiku, membuatnya justru terlihat sempurna. Karena ia adalah pribadi yang jujur, periang, dan positif.
Inilah Bapak. Inilah bapakku! Pahlawanku! Sumur inspirasi dan semangatku!
Aku sama sekali tak ingin ada momen, atau celah, di mana apa yang kelakuan buruk yang mengerikan itu sampai diketahui oleh Bapak. Aku tak ingin Bapak tahu bahwa aku tawuran. Aku tak ingin Bapak kecewa dan menangisiku, atau menangis di hadapanku.
Makanya, tolong beritahu aku, bagaimana caranya terlepas dari lingkaran tawuran ini?! ***