Petugas UGD Rumah Sakit Cibitung cepat-cepat menghantarkan Imam ke ruang perawatan setelah diturunkan langsung dari motor bersama dengan Haris itu. Sedangkan aku baru saja sampai ketika Imam sudah mulai diberi perawatan intensif terkait tangan kirinya yang malang itu. Haris termenung di halaman luar rumah sakit sambil memeluk dirinya sendiri. Aku coba untuk menghampirinya dengan sekuat tenaga, karena kakiku sendiri kesulitan untuk bergerak. Aku duduk di sampingnya, dan mengelus-elus punggungnya.
Tak lama setelah itu, datanglah Aris membawa teman-temanku. Ada Erfin, Aan, dan Hamzah yang mendapat kabar dari Aris tentang kejadian yang baru saja menimpa. Mereka juga sempat melihat kondisi sekolahan yang berserakan di tanah itu. Bebatuan, kayu, botol, dan serpihan kaca jendela yang terkena lemparan STM 73.
"Bal, Ris, lu gak papa?" resah Erfin di hadapanku.
"Gak papa, Fin. Imam yang kenapa-kenapa," jawabku.
Erfin kemudian memegang dagunya. "Imam? Imam siapa?"
"Temennya Haris."
Lalu Erfin memindahkan pandangnya ke Haris yang sedang murung di sampingku. Erfin mengambil keputusan yang tepat untuk mengerem pertanyaannya yang dapat mengusik perasaan Haris sekarang. Kerja bagus, Fin.
"Lu juga mau ke RS, Bal?" tanya Aan.
"Enggak, An. Cuma luka dikit doang. Bawa tidur ge beres. Cepiiill, segini doang, mah," kataku sambil berkelakar.
"Terus, bocah musuh pada kemanain?" lanjutnya.
"Pada cabut. Masih diburu polisi ampe ke kampung-kampung."
"Sekolah gimana?"
"Rusak, cuma bagian jendela sama ada beberapa tembok luar yang keropos karena kena timpuk."
Bisa kulihat ekspresi bingung dari mereka berdua yang menggaruk-garuk kepala keheranan, kenapa bisa sekolah sampai jadi bulan-bulanan begitu. Mereka mengincar waktu libur sekolah, pikirku, mereka memang murni berniat untuk merusak sekolahku. Kuyakin juga, itu adalah sekadar umpan saja. Melakukannya di siang bolong, tanpa ada penghuni sekolah, adalah strategi payah yang mudah tertebak.
Tapi, untuk melanjutkan pembicaraan tentang penyerangan ini kepada Haris masih memerlukan sedikit waktu sampai Haris kembali netral. Melihat sahabat karibnya dipasangi masker oksigen dan tak sadarkan diri sudah cukup untuk memukul hatinya. Sedangkan teman-temannya yang lain seperti Punjabi pergi entah kemana. Sepertinya mereka pulang sebelum masalah lebih melebar.
"Bal, lu mau nungguin di sini?" tanya Erfin.
"Gak tau. Kalo butuh perawatan yang lama, kayaknya sih, enggak. Gua serahin aja ke dokter," cakapku.
"Nanti, kalo jadi, gua aja sama yang lain. Lu istirahat," sambung Hamzah.
"Iya, Muk, Nyamuk," kataku secara spontan memanggilnya Nyamuk. Hei, Hamzah, kapan debutmu dimulai?
"Bal, kenapa Hamzah dipanggil Nyamuk?" tanya Aan.
"Daripada dipanggil Babi? Mending Nyamuk," jawabku ketus, tapi sambil menahan tawa.
"Iya juga, sih. Oke, deh."
Aan tiba-tiba menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, dan mengeluarkan sebungkus rokok Mascot, dan menyodorkannya kepadaku.
"Gua 'kan gak ngerokok, An."
"Oh iya, lupa. Nih, Ris."
"Sip."
Aris mengambil satu batang rokok yang ditawarkan Aan. Kemudian tiba-tiba Hamzah bersabda,
"Lu gak ngerasa bersalah ngerokok di depan RS begini?"
Aan dan Aris silih tatap saat rokok itu sudah berciuman dengan bibir mereka, dan merenungkan apa yang dikatakan Hamzah.
"Bener juga. Sip, lah. Entar aja di pinggir jembatan," kata Aan.
"Bener," lanjut Aris.
"Nah ...." tutup Hamzah. Aku tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan mereka. Lebih tepatnya, kembali melihat kelakuan mereka. Dan betapa mengejutkan, Haris yang sedang menunduk sedari tadi terdengar suara kekehan dan akhirnya meledak itu.
"Hahaha ...."
Aku terkejut. Beberapa menit yang lalu, suasana hatinya dipenuhi semantung yang murung. Tiba-tiba saja, Haris terbahak-bahak begini.
"Kenapa, Ris?" tanyaku kepadanya.
"Kagak. Lucu aja. Seneng denger kebegoan temen-temenlu itu."
"Kita gak bego, woi!" seru Aris.
"Keterbelakangan intelektual."
"Nah, itu dia."
"Itu sama aja bego, bego!" hardikku.
Lalu kita semua tertawa lagi. Kuanggap, kesedihan Haris sudah usai.
***
Jingois. Itulah sebutan paling tepat untuk menggambarkan gengku. Aku mendapat istilah itu setelah membaca artikel yang dipakai Bi Emat untuk membungkus pisang goreng, tentang pemerintah dan atau sejenisnya. Aku tertarik. Kusampaikan hal itu kepada teman-temanku, dan mereka juga ikutan tertarik. Maka mufakatlah aku dan yang lain menggelari kami dengan sebutan Jingois. Sebuah sebutan bagi orang yang percaya pada diri sendiri, menurutku.
Selesai dengan urusan tawur-tawuran, aku kembali berpikir untuk mememukan cara terbaik supaya celengan kotak ini bisa tersampaikan dengan apik ke Syifa. Di kamarku yang penuh dengan barang-barang tak terpakai itu, aku mengusap-usap celengan, melambung-lambungkannya, berlagak seperti ada Syifa di situ dan kuberikan dengan macam-macam gaya, atau cuma sekadar mengelapnya setiap hari supaya mengkilap selalu.
Aku belingsatan begini karena inilah kali pertamaku mengenal dan memulai perasaan cinta yang sebetulnya. Tapi, aku adalah yang paling tahu diriku sendiri. Aku tak cocok sama sekali untuk tiba-tiba memberikan sesuatu kepada seseorang yang dicintai, dan bertingkah seperti kebanyakan pasangan muda-mudi.
Mereka naik Kopaja bersama, berkeliling kota, menonton bioskop, menyelimuti si cewek dengan jaket cowoknya saat mereka bermesraan di pinggir danau, atau perlakuan-perlakuan lain yang tak bisa kupikirkan saat itu. Itu adalah tujuh langkah selanjutnya, setelah aku berhasil memberikan celengan ini kepada Syifa.
Dalam kebingungan akan hal itu, aku menyelinap ke halaman rumah karena tak ingin membangunkan ayahku, melihat apa yang sedang bulan lakukan, barangkali di sana ada jawabnya.
Aku berjalan sambil memondong sebuah buku tulis kosong yang tak pernah kupakai sebelumnya. Aku ingin mencatat segala yang kupikirkan di situ.
Aku tahu, menulis bukan bakatku sama sekali. Mungkin. Karena kegemaranku menulis adalah karena saat itu, saat aku menginjak SMP, aku ditantang Ayah untuk beradu pantun. Semenjak itulah, aku mulai menyukai menulis.
Kuperhatikan bulan yang bulat bundar gembul itu. Ia bergeming. Meski tak ditemani oleh serdadu bintangnya, bulan tetap berani menerangi gelapnya malam, sendirian.
Cahayanya indah, saat makin lama kulihat. Tenang, syahdu, dan tetap.
Mulai kubuka buku itu, dan kugenggam sebilah pensil yang panjangnya sudah seukuran jari manis itu.
Memangnya, siapa yang mewajibkan harus melakukan sesuatu yang spesial?
Bukankah percaya diri itu sendiri adalah hal yang spesial?
Apa yang aku pikirkan selama ini? Kenapa aku malah tenggelam dalam kejumudan dan akhirnya mati?
Ayolah, Iqbal, kalau dia sudah diambil orang, baru jungkir balik kau sesali. Jangan sampai! Amit-amit. Paiitt, paiiittt.
Baiklah. Bulan, kutetapkan kau jadi saksi di malam ini, bahwa aku menyerah untuk menyerah. Aku akan maju! Apa pun resikonya.
Aku tak sepandai Obbie M. Karena itu aku tak bisa semelankolis seperti pemuda kebanyakan. Hidupku mayoritasnya adalah seru, menegangkan, dan ketololan. Sebuah kehidupan yang tak pernah membuatku bosan.
Ah, itu dia!
Tidak membosankan adalah terjemahan ter-oke untuk cinta.***