Di dekat tempat pembuangan sampah, aku duduk bersama yang lain. Pembicaraan hangat di Bi Emat makin kurasakan hawanya, bahwa kemungkinan besar prediksi Haris akan terjadi. Terjadi, bahwa STM 73 yang terkenal brutal itu tak lama lagi akan datang menyerang sekolah kami, di mana sekolah kami kalau dihitung-hitung ternyata termasuk ke dalam kategori musuh mereka.
Tanpa perbekalan senjata apa pun, kami menyelinap masuk ke dalam sekolah dengan melewati pagar depan yang tidak dijaga. Siang itu, mungkin Bang Parman -penjaga sekolah- sedang istirahat makan siang di kontrakannya yang terletak cukup jauh dari sekolah. Sehingga, kami bisa masuk tanpa hambatan sama sekali. Lebih tepatnya, bukan aku yang masuk ke sekolah. Haris, bersama enam temannya yang masuk ke sekolah.
Hal itu meningkatkan hormatku kepadanya. Karena, berarti ia benar-benar menepati perkataannya kepada ibunya tadi, bahwa ia memang benar ke sekolah. Pelajaran bagiku, harus jujur jika ditanya orangtua.
Sampai mereka mendarat di pekarangan sekolah yang ditumbuhi di pusatnya satu pohon beringin besar yang dikelilingi semacam tempat duduk itu, mereka menyemangatiku guna menjalankan rencana yang Haris ajukan tadi di warung Bi Emat.
"Le, jangan lupa. Lu nebeng mobil, terus lu pergi dah tuh sama Aris. Hati-hati, jangan sampai kepeleset ngomongnya," kata Haris dari balik pagar kepadaku.
"Tak, jagain Iqbal. Ada apa-apa, sundul aja. Sundul."
Lalu Aris menggaruk-garuk kulit kepalanya dan berkata, "siap, gerak."
Aku berangkat dengan percaya diri, sambil menyetop sebuah mobil kolbak hitam yang kosong, dan melihat untuk terakhir kalinya Haris sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya itu di kaki pohon beringin. Aku percaya, aku percayakan sepenuhnya kepada mereka.
Alasan kenapa aku dan Aris diperintahkan untuk menumpang mobil ini adalah karena titik yang akan kutuju, sesuai dengan strategi Haris adalah tempat yang asing sekali bagiku, sekaligus menakutkan. Jangankan masuk dan bergerilya di dalamnya. Melihat bentengnya yang gagah, plang yang tegak berwibawa, serta arsitektur bangunan yang tangguh tapi ramah itu saja sudah membuatku agak gusar. Karena yang kutuju kali ini adalah kantor polisi dari Polsek Tambun.
"Bang, turun di sini aja," ujarku sambi menepuk-nepuk pintu mobil. Mobil itu melambat, dan berhenti di depan warung retail di samping Polsek Tambun.
"Makasih banyak, Bang."
Mobil itu langsung tancap gas meninggalkanku dan Aris di area Polsek. Kuharap, tidak ada konspirasi di sini.
"Bal, beneran mau ke Polsek?"
"Gak tau, Ris. Gak berani. Nanti takutnya malah ada inspeksi berkepanjangan. Ntar elu sama gue, sama yang lain malah ikutan kena karena ada rekam jejak tawuran. Gak bakal masuk bui, sih, tapi ribet."
"Jadi, gimana, Bal?"
"Coba bantu mikir, Tak. Kenapa Haris bisa kepikiran begini? Kenapa harus ke Polsek? Lumayan jauh juga dari sekolah."
"Katanya 'kan suruh buat laporan ke sini bahwa ada penyerangan sekolah yang dilakukan oleh sekelompok pelajar."
"Buktinya apa? Kita 'kan gak punya bukti kuat. Lagian belum kejadian. Mana bisa polisi bergerak. Ya, bisa, sih. Kitanya harus bisa meyakinkan banget," kataku sambil duduk di depan warung retail yang kaki tempat duduknya sudah fraktur itu.
"Bener, sih. Kenapa pas udah di tempat tujuan baru kita pikirin, ya? Kira-kira, maksud Haris mindahin kita ke sini supaya apa, ya? Bener katalu, Bal. Lumayan jauh juga."
"Nah, itu dia. Mana Aan sama yang lain lagi gak tau di mana."
"Iya, Bal. Emang parah mereka. Kayak lagi ngehindar aja."
"Tau, tuh. Kayak lagi ngehindar."
Tiba-tiba, ada satu kata yang membuat kepalaku terkoneksi. Aku tertegun.
"Ris, apa katalu barusan?"
"Jarak Polsek lumayan jauh?"
"Bukan, bego. Abis itu?"
"Aan sama yang lain kaya lagi ngehindar?"
Itu dia! Menghindar! Pertimbangan-pertimbangan yang baru kupikirkan tadi, ternyata mengarah kepada satu tindakan yang paling masuk akal. Haris sedang menghindarkanku dari sesuatu! Makanya, ia seakan memindahkanku ke tempat yang cukup jauh, dengan alasan yang masih abu-abu, supaya aku bisa tertambat cukup lama di situ. Itu dia! Pasti itu!"
"Ris! Kita harus balik lagi, anjing!"
"Kenapa, Bal?! Kayak panik begitu."
"Udah, ayo balik! Cari tebengan lagi. Ayo nyebrang jalan!"
Lalu aku dan Aris menyebrang jalan dengan tergesa-gesa dan hampir saja tertabrak mobil sedan yang tengah melaju deras. Hatiku tidak tenang. Pasti sedang terjadi sesuatu di sekolah.
Beruntungnya, lagi-lagi, ada mobil kolbak hitam kosong yang berhasil aku setop dan mengizinkanku menumpang di punggungnya. Aku naik sambil terburu-buru. Aris sampai heran melihatku gundah begitu.
"Kenapa, sih, Bal?! Kepikiran apa?!" tanyanya di atas mobil kolbak itu.
Aku sedikit belingsatan saat menjelaskan apa yang kupikirkan kepada Aris.
"Pertama, gak ada pijakan yang jelas kenapa kita harus ngelapor ke Polsek. Kalo seandainya pun ngelapor, ngurusnya lumayan nyita waktu, dan malah nimbulin masalah baru."
Aris menyimakku dengan raut wajah yang sangat serius.
"Kedua, harusnya Haris tau, bahwa dia pasti kalah jumlah. Lagian, ngapain juga dia di sana? Harusnya, relain aja dan usut kalo emang apa yang Haris pikirin itu bener kejadian. Haris harusnya pergi dari situ, bukannya malah ngejaga sekolah. Malah jadi kayak kekurung, atau lebih parah, bunuh diri."
"Lah! Iya! Tunggu kejadian dulu baru lapor. Begitu 'kan maksudlu?"
"Bener."
"Ketiga, alasan yang bisa gua pikirin saat ini, kenapa Haris cuma ngirim kita berdua yang mana kita adalah adek kelasnya ke Polsek, bener katalu, Ris. Dia pengen ngehindarin kita."
"Ngehindarin dari apa?"
"Gak tau. Kayaknya, Haris sama temen-temennya bakal ngelakuin sesuatu yang kita gak boleh ikut campur."
Situasi di dalam diriku semakin menegangkan. Aku tak bisa berhenti memikirkan apa yang sedang Haris lakukan saat ini. Truk-truk yang mengangkut sayur-mayur di depan mataku sampai-sampai tak lagi bisa kulihat dengan jelas. Pasar Tambun yang kulewati itu tiba-tiba mendadak sunyi. Tak ada orang. Tak ada pekik-pekik dari para pedagang. Yang ada di kepalaku adalah prospek skenario buruk yang mengerikan. Angin yang sedari tadi melewatiku sampai tak terasa lagi hawanya.
Beberapa saat lagi aku tiba di sekolah, kekhawatiranku betul-betul terjadi.
Pagar sekolah yang tadi dipanjat Haris dan kawan-kawan sudah penyok-penyok dan roboh. Kelasku yang terdapat di posisi paling dekat dengan pekarangan sekolah sudah hancur sebagian besar kacanya, bekas ditimpuk sesuatu. Begitu juga kaca perpustakaan kecil yang bercokol tepat di sudut gerbang sekolah, dengan kondisi buku-buku yang sudah berantakan dan sobek-sobek.
Sopir mobil kolbak yang kutumpang ikut heran melihat kondisi sekolah yang berserakan batang bambu dan bebatuan besar di mana-mana.
"Dek, ada apa?!"
"Sekolah saya diserang, Bang."
"Ya Allah ... saya langsung lapor ke Polsek ya, Dek. Nama sekolahnya apa ini?!"
"SMA 07 Bekasi, Bang."
Abang sopir itu lekas-lekas membawa mobil kolbaknya memutar balik tanpa menanyakan apa pun lagi.
"Bal ...."
Dugaan Haris benar. Dugaanku juga benar. Sekolahku benar-benar diserang, diporak-porandakan oleh sekelompok pelajar berjumlah besar yang membawa senjata-senjata mengerikan. Dalam waktu sekejap, wahamku juga terjawab. Keberadaan pihak penyerang yang tiba-tiba menghilang secara ganjil dan terlalu cepat ini pasti karena suatu sebab. Sebab yang bisa kupikirkan adalah Haris menggiring mereka ke suatu tempat bersama kawan-kawannya dan mengadakan pertarungan hebat di situ.
Tapi, di mana itu?
Seiringan dengan kian berdatangannya masyarakat yang terkejut melihat kondisi sekolahku yang memprihatinkan itu, dan Haris yang juga tak ada di situ, aku sedih sekaligus berang luar biasa. Kutinggalkan pertanyaan dan kerumunan itu. Aku bergerak sendiri ke suatu arah yang tak kusadari sepenuhnya. Tak sadar juga, kedua mataku tetiba saja menitikkan air mata yang aku sendiri tak tahu kenapa.
Aku bingung.
Aku harus apa?
Aku harus pergi ke mana?
Apa aku harus pergi lagi ke Polsek dan menemani sopir tadi melapor karena aku adalah siswa di sekolah itu?
Kesedihanku bilang begitu. Tapi tidak dengan berangku. Sisi kiriku bilang, aku tidak bisa berangkat lagi ke Polsek dan menunggu penindakan dari aparat. Ia bilang, aku harus pergi tempat Haris berada sekarang, dan mendung di benakku juga berbisik begitu.
Baiklah. Haris sudah cukup mengulur waktu dengan meminimalisir kerusakan yang sekolah terima. Anak STM 73 itu pasti sedang berhadap-hadapan dengan tujuh orang dari sekolahku. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya 30-an orang melawan tujuh orang? Apa Haris bisa melumpuhkan orang sebanyak itu?
Aku berjalan perlahan ke arah warung Bi Emat. Perlahan, aku mulai berlari. Aku berlari kencang sekali! Aku lewati warung Bi Emat! Aku lewati kebun singkong tempatku bersembunyi dengan Aris tadi! Aku berlari! Lalu aku menyeruak ke semak-semak yang terletak di sebelah kiri jalan! Dan betapa terkejutnya aku, di lapangan yang miring itu, senggak-senggak yang mengerikan, sedang terjadi pertempuran hebat yang tak seimbang antara Haris dan STM 73 itu.
Aku terbelalak. Kuambil batang bambu panjang yang kebetulan tergeletak di sampingku, kuraih juga batu bata yang bersebelahan dengan bambu itu, dan kulemparkan kencang-kencang ke arah anak 73, dan kuteriakan dengan lantang,
"Gua bantai lu semua, 73!!!"
Lalu kuterjang kerumunan yang sedang adu serang itu sendirian, dengan sebilah bambu yang kuseret-seret di tanah lapang itu. Aku tak takut! Maju sini, anak 73!!!****