Melenggang masuk aku ke dalam pertempuran yang tak imbang itu. Dengan beralaskan sendal jepit, aku berlari tunggang-langgang tersulut emosiku yang berapi-api, atas perlakuan STM 73 kepada sekolahku yang sudah keterlaluan itu.
Kakiku terasa sakit, saat pijakan-pijakan cepatku menjejak bebatuan, serpihan-serpihan kaca, tapi aku mencoba untuk menghiraukan rasa sakit yang membuat pahaku bergetar itu, karena kemarahanku jauh lebih besar dan penting.
Saat kulempar batu dan mengenai kepala musuhku, mereka langsung menyadari keberadaanku dan menyambutku ramai-ramai.
Entah kenapa, aku merasa tak takut meski satu lawan banyak begini. Suara-suara mengerikan mereka menjadi rapuh di telingaku. Senjata yang mereka acung-acungkan itu sama sekali tak membuatku gusar, saat aku memikirkan sekolahku yang babak belur, teman-temanku yang terluka, termasuk Muji yang kaki kirinya diamputasi, ketidaknyamanan masa pendidikan yang dirasakan olehku dan teman-temanku, karena senjata sok keren brengsek itu.
"Sok jagoan lu, anjeenng!!!" teriak mereka ke arahku. Aku tak membalasnya.
Kuseret batang bambuku di tanah, lalu saat mereka mulai mendekat ke arahku, langsung kuempaskan sekuat tenaga bambu itu, kukunci target di kepala dan kaki mereka.
Orang pertama yang paling dekat denganku, ia membawa celurit yang tak besar, terkena hantaman bambuku yang berbunyi sangat renyah di telingaku. Tapi orang itu belum tumbang. Aku mengulang sekali lagi gerakan itu dari arah sebaliknya, mengulang lagi suara benturan bambu dan kepalanya yang sama, akhirnya ia tumbang dan kabur ke belakang. Terlihat ada darah yang menyelinap di antara rambut-rambutnya.
"Mati lu!!!"
"STM 73, nih!!!"
Dua orang yang menggenggam gergaji pemotong es itu mengapitku dari dua arah. Aku masih memegang bambuku dengan kedua tanganku. Mereka mengayun-ayunkan gergaji itu, dan beberapa kali mencoba serangannya kepadaku.
"Tolol, gak kena!" hardikku kepada mereka.
Mereka mengubah pola serangannya dengan mengincar kakiku. Tapi mereka salah besar! Karena aku unggul dalam serangan jarak sedang, dengan bambuku yang panjang, kepala mereka berdua berhasil kuhantam berkali-kali saat mereka mencoba mengenai kedua kakiku.
Aku sedikit terkejut. Energi yang kukeluarkan untuk menghantam mereka lumayan banyak. Tapi mereka tetap bergeming, tak tergerak sedikit pun. Aku tahu, dua orang ini adalah orang tangguh.
"Gak ada rasa, tolol!"
"Yah ... segitu doang anak 05?!"
Setelah mereka kembali ke posisi berdiri, mereka berlari ke arahku dan mencoba untuk mencabik-cabik tubuhku dengan gergaji mereka. Aku mengambil jarak aman dengan berlari tak tentu arah, sambil memperhatikan celah untuk kulancarkan serangan balik.
Beruntung sekali. Satu di antara mereka berdua terlepas gergajinya dari tangannya, dan belum sempat ia mengambil gergaji itu, langsung kutusuk ia dengan bambuku yang agak tajam bagian pucuknya, berkali-kali sampai ia merasa kesakitan memegang dadanya yang mengeluarkan darah.
Temannya yang satu itu masih tetap mencoba untuk mengenaiku. Tapi melihatku menusuk temannya, membuat serangan acaknya menjadi tak bertenaga seperti di awal.
"Gak ada rasa, tolol! Segitu doang anak 73?! Bisa maen gergaji, gak?!"
Ia mencak-mencak. Dengan wajahnya yang penuh dengan amarah, ia menyerangku secara membabi buta. Aku memutar badanku ke arah belakang, dan berlari menghindari serangan itu.
"Yah ... lari!!!" serunya.
Sejurus kemudian, aku kembali memutar badanku dan melayangkan bambuku ke bagian bawahnya. Tepatnya ke bagian pergelangan kakinya. Kuhantam kuat sekali, sampai ujung bambuku patah, dan membuatnya terjatuh sekaligus juga dengan gergaji besarnya.
Kurenggut gergaji itu, dan kuacungkan tepat di depan wajahnya.
"Mau apa lu? Gergajilu sekarang ada di depanlu sendiri," kataku dengan nada rendah. Wajahnya terlihat panik bukan buatan.
"Gak takut gua!!!"
Sesaat sebelum kubacok orang itu dengan gergaji tepat di mukanya, kulempar gergaji itu dan mulai kupukul mukanya dengan tanganku. Awalnya ia berusaha bogemku dengan kedua telapak tangannya. Tapi tenagaku masih besar, dan pertahanannya jebol seketika saat kutonjok ia menggunakan sikuku. Berdarah-darah di bagian hidung, bonyok di mana-mana, sobek di area pipi dan pelipisnya adalah 'motif' yang bisa kuukir di wajahnya.
"Halo? Tadi berisik, kok sekarang gak ada suaranya?" sindirku tepat di depan matanya.
Belum selesai urusanku dengannya, datang tiga orang yang menggunakan tongkat bisbol berkarat menyerangku secara berkala sehingga membuatku terempas karena terkena pukulan tongkat itu di dada dan bahuku.
Saat aku terjatuh dan melindungi kepalaku pun, serangan mereka sama sekali tak terasa sakit di tubuhku. Tak ada nyeri. Tak ada linu. Tak ada bengkak. Tak ada memar. Mereka menyerang bahuku, punggungku, perutku, datang lagi dua orang yang menggenggam tongkat bisbol menyerangku di mana-mana, tapi aku tak merasa kesakitan. Namun, jika begitu terus, aku dalam situasi yang berbahaya. Aku tak bisa terus-terusan dipopor begitu.
"Hahaha! Mati lu sekarang, anjing! Sok jago lu! Dateng sendirian," pekik mereka sambil terus memukul dan menendangku. Aku terpojok!
Dalam situasi yang menegangkan itu, aku tak bisa memikirkan apa-apa kecuali hanya sekolah dan teman-temanku.
Sekolah, di mana remaja tumbuh berkembang diajarkan jurus-jurus untuk mengenal dan melumpuhkan dunia. Aku memikirkan bagaimana nasib guru-guru yang kehilangan tempat mereka mengajar karena serangan brutal ini, meski aku tahu semangat mengajar mereka takkan padam, karena mereka adalah kaum militan pendidikan yang selalu kukagumi.
Di mana keseruan kelasku di masa yang akan datang, jika sekolahku diporak-porandakan begini? Apakah aku masih bisa dimintai pinjam lagi oleh Mudrikah dan kawan-kawan?
Bisakah aku kembali melihat perilaku konyol Aris setiap harinya, di jam-jam yang penuh keasyikan itu?
Oh, oh, terakhir, apakah aku punya kesempatan untuk menghadiahkan celengan kotak itu kepada Syifa, dan memulai pembicaraanku dengan wanita yang rambut, paras, dan sikapnya yang jelita itu? Ah, aku tiba-tiba disalami dengan kepingan memori dan harapan di saat-saat yang mulai mengaburkan kesadaranku itu.
Di sela-sela tanganku yang sedang melindungi kepalaku itu, kulihat mereka berlima masih mengeroyokku, meludahiku, dan menghardikku dengan kata-kata kasar yang tak bisa lagi kudengar.
Sampai tiba-tiba, dua di antara mereka terpelanting karena sebab yang aku tak tahu. Tiga sisanya, menyudahi mengeroyokku, dan beralih ke sesuatu yang membuat dua orang tadi terpelanting.
Aku membuka lindungan kepalaku, membuka mataku perlahan-lahan, berusaha untuk memfokuskan pandanganku, dan ternyata mereka membantuku. Haris dan kawan-kawannya yang sudah babak belur itu datang menyelamatkanku. Satu dari mereka, namanya Imam, berusaha untuk menyadarkanku dan membuatku berdiri.
"Le! Bangun!" pekik Haris sambil beradu serang dengan musuh itu.
Aku berusaha bangun, dibantu dengan Imam, tapi kakiku sepertinya mati rasa karena dipukul dan diinjak-injak. Pahaku gemetar saat aku mencoba berdiri. Kukuatkan pahaku, dan kutatap tajam gerombolan orang yang sedari tadi tak bergerak di belakang itu. Mereka adalah pentolan-pentolan STM 73. Dari tadi, yang kulawan hanya serdadu-serdadunya saja. Meladeni mereka saja sudah membuatku ketar-ketir.
"Le, sini! Mam, bantu Bale!"
Haris mulai berpindah tempat ke arah semak-semak pinggir jalan tempatku tadi masuk ke lapangan tak terokupasi itu. Aku mengerti. Haris berniat untuk kabur, melarikan diri karena timpangnya pertempuran kali ini dari segi jumlah dan kekuatannya.
Bayangkan saja bagaimana jika pentolan-pentolan itu mulai bergerak. Ah, habis sudah.
Tapi, melihat Haris yang bergelagat mundur itu diketahui oleh musuh, mereka tak tinggal diam begitu saja.
Aku yang sudah susah berdiri, teman-teman Haris yang sudah hancur berantakan meski Haris masih berdiri kokoh dengan darah yang melintang di pelipis kepalanya, nampaknya sudah di ambang batas. Setidaknya, kami bisa mengulur waktu dan menahan pelaku perusakan sekolah ini supaya tetap di sini selama mungkin.
"Mam, balik!" seru Haris yang masih beradu serangan dengan lima musuh yang tadi menyergapku itu.
Imam membawaku serta yang lain ke arah rerumputan di pinggir lapangan itu. Tapi, baru saja kami melangkah, gerombolan yang sedari tadi hanya menonton itu tiba-tiba bergerak cepat ke arah kami.
Sampai ada satu orang yang tampaknya paling cepat larinya. Ia memayungi kepalanya dengan jaket hoodie yang berkesan misterius itu, ia mengeluarkan sebilah pedang mengkilap nun tajam dari balik badannya.
Imam panik. Aku panik! Semua yang ada di sana juga panik! Orang ini berlari seperti seorang ninja yang siap menebas siapa pun yang menjadi targetnya.
Ia semakin dekat!
"Mam, lepasin gua!" teriakku kepadanya.
"Imam!"
Orang itu semakin dekat!
Dan dengan gerakan yang mengerikan,
Seett ....
Orang itu berhasil menebas pergelangan tangan Imam sampai menggantung, hampir putus, setelah Imam melemparku ke belakang demi melindungiku.
Tak sampai di situ, orang itu kembali mengayunkan katananya dan melukai bahu Imam sampai menimbulkan luka bacok yang dalam.
"Uwaaahhhhhh!!!" Imaaamm!!!" pekik Haris melihat keadaan nahas Imam yang berlumuran darah. Aku terperanjat. Sekujur badanku tiba-tiba ngilu dan kaku melihat kondisi Imam.
Orang itu langsung lari tunggang-langgang setelah membacok Imam.
Haris dengan segera meninggalkan pertarungannya dan menghampiri Imam yang terduduk lemas karena darah yang terus mengocor dari lengan dan bahunya itu, sedangkan Imam sendiri meringis kesakitan dengan wajahnya yang mulai pucat.
"Mam, Imam, bertahan, Mam," lirih Haris sambil mencoba menutupi luka di bahunya dengan tangannya.
Punjabi, salah satu teman Haris itu langsung membuka kaosnya, lalu menyobeknya dan memberikannya kepada Haris untuk meredam pendarahan yang diderita Imam. Aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa menangis menyaksikan kejadian yang memilukan itu.
"Imam ...."
"Bawa gua ke Puskesmas, Ris. Uhuk ...." pinta Imam dengan darah yang mulai mengalir dari mulutnya.
Aku takut sekali! Dalam pelukan Haris, akhirnya Imam tak sadarkan diri setelah kehilangan banyak darah. Haris ikut menangis. Menangis hebat ia.
"Aaaaahhhhhhhhhh!!!" teriaknya menghadap langit yang mendung.
Ia mengecek hidung dan detak jantung Imam. Syukurnya, masih ada tanda-tanda kehidupan dari Imam.
"Pun, bawa ke Puskesmas! Hati-hati! Ayo!"
Punjabi akhirnya menggendong Imam, dibantu dengan Haris dan yang lainnya keluar arena pertempuran. Tapi Haris tak mengikuti kami. Ia malah kembali ke hadapan anak STM 73 yang sedari tadi masih memaki-maki kami itu.
"Ris!"
Haris tak menggubrisku. Ia berjalan ke dekat mereka, dan bisa kulihat ia sedang mengambil napas dalam-dalam, dan keluarlah kata-kata yang sangat mewakili seluruh perasaanku saat itu.
"KENAPA LU TAWURAN?! KENAPA LU NGERENGGUT KEBAHAGIAAN ORANG?!"
"APA YANG LU CARI DARI TAWURAN?!"
"MEREKA YANG UDAH KEHILANGAN ANGGOTA TUBUH. MEREKA YANG UDAH KEHILANGAN NYAWA. MEREKA ADALAH MANUSIA MERDEKA YANG PUNYA MIMPI!!!"
"DAN ELU SEMUA ADALAH PELAKU YANG UDAH NGEHANCURIN MIMPI MEREKA!!!"
"LU KIRA MENYENANGKAN, NGELIAT TEMEN DAN MUSUHLU SENDIRI TERLUKA?!"
"LU KIRA KEREN SAAT ELU BERHASIL NGELUKAIN SESEORANG?!"
"LU KIRA .... AH, CUKUP!"
"BANGSAT!!!"
Aku terpukau. Aku takjub. Aku terkesiap. Kata-katanya menggetarkan perasaanku, sekali lagi. Suaranya lantang luar biasa. Meski di udara terbuka seperti ini, tapi suaranya seakan sanggup memadati seisi udara di sekitar sini. Di situlah, aku mengetahui rahasia di balik kegagahan Haris, adalah saat perasaan ingin melindungi seseorang sudah dimiliki, maka ia adalah orang tergagah di dunia ini.
Setelah kata-kata itu terlontar, kami dikejutkan oleh tiga kali tembakan pistol dari arah jalan raya yang memekikkan telinga kami.
Saat itu aku tahu, polisi sudah sampai lokasi. Aku tahu, supir tadi, bersama Aris sudah berhasil membungkus kejadian perkara.
Anak STM 73 lari pontang-panting mendengar tembakan itu. Polisi berlarian ke arah lapangan dan berusaha mengejar beberapa pelajar ke area perkampungan yang ada di seberang sana.
Aris menghampiriku. Aku berterimakasih kepadanya.
Haris berteriak sambil menangis. Imam berhasil diangkut oleh warga ke Puskesmas untuk mendapat pertolongan pertama. Beberapa warga dan tukang ojek juga berusaha mengejar STM 73 dan mengamankan senjata tajam yang tergeletak di lapangan. Aku bersama yang terluka ringan juga dibawa ke Puskesmas dengan sepeda motor.
Aris, dengan waktu yang tersedia, berhasil mengumpulkan orang untuk menyudahi tragedi ini.
Tragedi Berdarah!***