"Maafin gua, Bal. Gua akhirnya tau, pertarungan yang baik adalah pertarungan yang gak seharusnya dilawan," kata Haris kepadaku di Klinik Diponegoro itu.
Remaja berambut keriting itu tercenung, tertunduk wajahnya di hadapanku dengan benjol di area mata kiri dan sedikit sobek di ujung bibir kanannya. Aku juga, tak kusangka tawuran tadi sampai membuatku kesulitan untuk berdiri. Karena dikeroyok sampai lima orang, ditendang, disabet dengan benda tumpul, ditonjok, diludahi, diinjak-injak, adalah hal yang baru saja kualami. Aku deg-degan. Karena sebetulnya aku tak tahu, mereka memegang apa saat itu. Bisa jadi, ada salah satu golok yang melayang dan bertamu di perutku, merobek dan memuntahkan isi perutku. Beruntungnya, aku masih hidup sampai saat ini. Itulah kata yang paling pas menurutku ; beruntung.
Kulihat dalam-dalam air wajah Haris yang terlihat menyesal dan baru saja menitikkan air mata atas apa yang menimpa Imam, salah satu sahabat karibnya. Haris termenung di ruang tunggu Klinik Diponegoro itu, yang terletak tak jauh dari warung Bi Emat, tepatnya setelah lampu merah Jalan Diponegoro.
Saat aku dan yang lain memasuki Puskesmas dalam keadaan hancur berantakan, di mana luka-luka mulai terlihat jelas di sekujur badan kami, orang-orang yang ada di sana bisa kulihat sepertinya iba dengan keadaan kami yang parah sekali itu. Tapi, bisa kurasakan, ada kemarahan juga di benak mereka, karena ulah kami yang acapkali membuat warga kampung menjadi resah dan kesal.
"Ris, gua mau nanya. Emangnya bener lu mau ngehindarin gua dari kejadian tadi, makanya lu ngirim gua ke Polsek?" tanyaku di sampingnya.
"Bener. Tapi, gua emang bener-bener pengen ngeberesin ini pake jalur hukum, Bal. Anak-anak basis gua juga pengennya begitu. Makanya, biar pas gua ngulur waktu sambil tempur sama mereka, lu bisa dateng bawa polisi dan gak harus ikut-ikut luka begini," jawabnya dengan suara yang pelan sambil sesekali memegang memar di kedua pipinya.
"Tapi, bisa jadi lebih bahaya lagi, Ris. Lu bener-bener kebantai. Gak ada yang bisa kalian lakuin selain lari dan menghindar. Tarik ulur aja. Meski gua sendiri yakin, lu adalah orang keren, Ris."
Haris terdiam, dan mulai mengangkat wajahnya melihatku berbicara. Aku terus mengobrol sambil melihat lantai yang awalnya bersih, kemudian menjadi kotor karena tanah dan darah yang masih tersisa di kakiku. Kulempar pandanganku kepada pasien-pasien lesu dan pucat yang menunggu dipanggil perawat untuk menjalani proses pengobatan. Hatiku menjadi tak keruan. Terlebih, ada nun di sudut sana seorang pemuda kurus yang bercelana pendek sedang memegangi setir kursi roda tempat ayahnya yang sudah beruban rambutnya itu duduk, membuat hatiku pilu dan remuk.
"Gua kasian banget sama Imam, Bal."
"Gua juga. Cuma gara-gara nyelamatin gua, tangannya ampe kebacok parang begitu. Ya Allah ...."
"Semoga masih baik-baik aja ya, Bal."
"Iya."
Selang beberapa saat setelah obrolan aku dan Haris tentang tawuran tadi, dan teman-temannya, datang dari arah tempat Imam dibawa ke sebuah ruangan, keluar sesosok dokter berbadan tambun yang mengenakan jas berwarna putih dan mengenakan masker, menghampiri kami berdua. Sontak, aku dan Haris seketika langsung berdiri, bersiap untuk mendengarkan kabar dari dokter.
"Saudara, kerabatnya Saudara Imam?" tanyanya, sambil menurunkan masker dan menatap kami bergantian.
"Betul, Dok, saya kerabatnya," jawab Haris.
"Baik. Saya akan menyatakan keadaan pasien yang sebenarnya. Mohon untuk tenang. Pasien, saat ini dalam kondisi yang sangat lemah dan butuh penindakan yang lebih proper. Karena ini menyangkut keberlangsungan hidup Pasien. Sedangkan, di klinik ini fasilitas sangat terbatas dan hanya melayani kondisi semacam pertolongan pertama saja."
Kemudian, dokter bertubuh besar itu membuka maskernya dan menyimpannya di dalam saku jas putih itu. Ia melanjutkan,
"Saudara Imam harus segera dilarikan ke rumah sakit. Kalau bisa, hari ini. Silakan bisa ke Rumah Sakit Cibitung, dan langsung ke ruang UGD yang terletak di sebelah kanan saat pertama kali datang ke sana."
"Imam sudah sadar, Dok?" tanya Haris dengan nada yang meninggi.
"Sudah. Sudah kami tangani juga untuk tindakan awalnya. Hanya saja, seperti yang kami ungkap, Pasien saat ini ada dalam kondisi yang sangat lemah, karena darah yang keluar dari bahu dan tangannya sangat banyak. Bisa Saudara bawa menggunakan mobil bak, atau motor, atau bajaj, atau becak dengan hati-hati."
"Ya Allah ...."
Haris terlihat sangat sedih mendengar kabar itu. Kejadian yang menimpa Muji tempo hari, kembali terjadi ke orang yang sangat dekat dengannya. Aku kasihan. Setelah Imam sadar secara penuh, hal yang pertama kulakukan adalah berterimakasih sebanyak yang bisa kuucapkan kepadanya. Seharusnya, aku yang kehilangan sepergelangan tangan itu. Aku yang seharusnya pingsan dan diamputasi. Tapi Imam, dengan gagah berani menarikku dan membiarkan dirinya yang kena bacok.
"Baik, Dok. Terimakasih. Saya akan panggil ojek dulu," kata Haris menyalami tangan dokter itu.
"Baik. Tolong jadikan ini pelajaran berharga. Kalian masih pelajar. Masa depan kalian masih terbuka lebar. Sekali lagi, jadikan ini pelajaran, ya ...."
"Iya, Dok," jawab kami berdua. Kemudian, dokter itu kembali ke tempatnya untuk menyiapkan Imam yang sebentar lagi akan dipindahkan ke Rumah Sakit Cibitung.
"Bal, cariin ojek."
Aku langsung bergegas keluar klinik untuk memanggil salah satu ojek motor yang mangkal di dekat situ, supaya menunggu tepat di moncong pintu masuk klinik. Aku kembali ke klinik, dan melihat Imam yang tangannya sudah terbalut perban yang masih menyembul darah di situ.
Aku dan Haris tak mengajak ngobrol Imam. Karena hanya kami berdua yang ada di situ, Punjabi, Aris, dan yang lain malah pergi ke warung Bi Emat, di atas motor Astrea itu Haris menemani Imam ke Rumah Sakit Cibitung, sedangkan aku naik angkot dan menyusul ke sana.
Di dalam angkot yang sedang sesak dengan penumpang itu, aku duduk di bangku tambahan di pintu masuk angkot. Orang-orang melihatku yang babak belur begitu, sinis sekali pandangannya. Aku merasa, dalam hati mereka, mereka pasti mengatakan bahwa aku pantas menerimanya. Aku sudah bisa mengerti itu dari sekian tahun yang lalu. Saat aku baru mengenal Haris Zainudin yang mengagumkan itu.
Haris adalah orang yang pandai memikirkan perasaan orang lain. Lihai melihat dan memprediksi situasi. Jago dalam memposisikan dirinya sebagai anak, anggota masyarakat, siswa, dan termasuk anak berandal yang doyan ikut tawuran.
Tapi, dia berbeda dari yang lain. Dia adalah pendekar putihnya. Aku bisa melihat kegeramannya saat setiap kali tawuran dengannya. Dari kata-katanya saat Imam kebacok tadi pun, aku merasakan keresahan yang mendalam di dirinya. Haris sebenarnya pasti kesal, hidup di dalam ekosistem yang mengerikan begini. Ia ingin cepat-cepat keluar dari lingkaran iblis yang tak ada habisnya ini.
Sebetulnya, mudah baginya untuk keluar begitu saja dan pindah ke sekolah yang lebih baik. Pondok pesantren, misalnya. Tapi seperti yang kujabarkan di atas, Haris adalah orang yang pandai memikirkan perasaan orang lain. Ia pasti ingin, agar kegelapan ini tak hanya berhenti padanya, tapi juga pada teman-temannya. Betul kata dokter tadi. Masa depan kami harusnya masih panjang, dan memang begitu seharusnya.
Supir angkot mencak-mencak, klakson berisik bertaburan, tapi suaranya tak membuatku bereaksi karena kepalaku sedang tidak ada di dalam angkot yang padat itu. Kepalaku sedang menampilkan proyeksi, di mana pada gambar itu diceritakan sosok Haris Zainudin yang -sekali lagi- mengagumkan.
Aduh, badanku mulai cenat-cenut. Aku mendambakan satu kehidupan di mana aku di sana hanya berpetualang di dunia SMA secara lazim, dan berhadapan dengan masalah-masalah yang lazim pula. Di mana, utopia itu terasa menyenangkan saat berselancar di kepalaku.
Ah, aku juga ingin merasakan cinta dan kenakalan yang lazim-lazim saja.
Jeh .... ***