Chereads / Terbakar (?) / Chapter 13 - 13. Tragedi Berdarah (Bag. 1)

Chapter 13 - 13. Tragedi Berdarah (Bag. 1)

Siang itu juga, aku langsung bergegas ke kediaman Haris di Kampung Logam yang di mana, jaraknya dengan titik tempatku berdiri saat ini kurang lebih satu kilometer. Tapi aku tak peduli, Aris juga tampaknya begitu. Dengan setengah berlari, aku dan Aris berangkat untuk mengecek situasi keberadaan Haris.

Lima belas menit, sambil sesekali berlari kecil, akhirnya kami tiba di rumahnya itu. Rumah yang juga sekaligus warung kelontongan tempatnya berteduh dari panas dan hujan. Terlihat, ada ibunya yang sedang melayani tiga orang anak kecil yang sedang jajan. Setelah selesai melayani, aku langsung menghampiri ibu Haris yang sudah berumur tapi masih prima itu dengan napasku yang tersengal-sengal.

"Eh, Iqbal, Aris, jajan apa?"

Aku mengatur napasku sejenak.

"Enggak, Bu. Gak jajan dulu," kataku.

"Nyari Haris? Harisnya tadi pergi. Ke sekolah, katanya."

"Sekolah, Bu?"

"Iya, Bal."

"Baru banget?"

"Baru, sih. Sebelum anak-anak yang tadi jajan."

Baru saja? Iyakah? Kenapa aku tidak bertemu dengannya? Aku tadi melewati depan sekolah. Oh, jangan-jangan?!

"Oh, begitu, Bu. Yaudah, makasih banyak ya, Bu. Iqbal mau pamit lagi ke sekolah."

"Oh iya, Nak. Bilangin ke Haris juga, jangan lama-lama. Kalau bisa, sebelum magrib udah pulang. Nitip salamnya ke Haris ya, Bal."

"Siap, gerak, Bu."

"Pamit dulu. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalam ...."

Aku dan Aris langsung bergegas ke tempat Haris berada. Ia tidak berbohong pada ibunya. Haris pasti benar-benar ke sekolah. Setidaknya, beberapa saat saja. Aku tahu. Dia pasti mengambil jalan memutar, bukan lewat pinggir jalan protokol. Dan kutahu, tujuannya adalah warung Bi Emat. Mungkin, ketika aku pergi ke rumahnya, ia sudah ada di Bi Emat.

"Bal, kelamaan kalo jalan. Capek," ucap Aris mengeluhkan jarak yang lumayan. Apalagi di bawah terik yang menyengat begini.

"Iya, sih. Mau BM aja?"

"Iya. Ayo."

Sambil melambaikan tangan dan mengacungkan jempol, di pinggir jalan itu, aku mencoba untuk menyetop dan menumpang mobil kolbak yang lalu-lalang ke arah Barat. Satu dua mobil tak menghiraukanku. Hingga akhirnya, ada mobil kolbak yang mengangkut keping-keping batok kopra melambat dan berhenti tepat di depanku. Aku mendekati pintu mobil dari sebelah kiri, dan berkata kepada supir yang memakai singlet putih sambil merokok itu,

"Bang, nebeng."

Abang supir tak berkata apa-apa, dan menunjuk ke arah belakang, menandakan bahwa ia dan orang di sampingnya yang juga merokok itu mengizinkanku dan Aris untuk ikut menebeng di belakang bersama tumpukan kopra itu.

"Makasih, Bang."

"Hmm ...."

"Ayo, Ris."

Aku langsung menaiki bak itu, dan duduk di sisi mobil sambil berpegangan kepada bagian belakang kepala mobilnya. Mobil melaju kencang, melayangkanku ke tempat yang aku tuju.

"Bang, makasih banyak."

"Aman."

Lalu aku turun di depan gang tempat warung Bi Emat bercokol, dan betul saja, dari jarak segitu bisa kuendus suara siut-siut mereka yang sedang menikmati semangkok mie rebus. Syukur, rasa takutku tak terbukti. Kukira, orang yang dikejar itu adalah Haris atau salah satu temannya.

"Ris. Dari tadi?"

"Lu dari mana, Bal? Kaga, sih. Baru aja kesini ama bocah."

"Gua dari rumah elu. Nyariin elu."

"Sekarang udah ketemu gua. Sini-sini, duduk, ada apa?"

Lalu aku duduk di antara Haris dan keenam temannya yang sudah tak lagi terlihat bahwa mereka adalah anak SMA, begitu juga dengan Aris yang kikuk bertemu orang-orang yang belum kami kenal. Dengan mengenakan jaket hoodie, celana cutbray yang bolong di bagian lutut dan paha, makin menambah kesan ngeri bagiku terhadap mereka.

"Kenalin, yang rambutnya belah tengah ini, namanya Iqbal. Anak Kampung Bulu. Adek kelas gua di 07."

Aku menebar senyum yang super lebar ke mereka semua. Kumis mereka yang jarang-jarang itu terlihat mencekam di mataku, awalnya. Tapi setelah aku melihat reaksi mereka, senyumnya luar biasa sumringah. Runtuh lagi ekspektasiku.

"Nah, ini, Aris. Beda satu huruf doang ama gue. Temen sekelasnya Iqbal. Kalo bingung, takut ketuker ama gue, panggil aja dia Botak."

Dengan mengejutkan, Aris tiba-tiba berdiri dan membungkukkan badan ke tiap-tiap orang yang sedang makan mie rebus itu. Dibalas, orang-orang itu ikutan berdiri, dan membalas membungkukkan badan ke Aris. Tak kusangka, budaya Ojigi bisa mereka terapkan. Padahal, nilai pengetahuan sosial saja tiarap merayap-rayap.

"Bi Emat, mie rebusnya dua lagi."

"Siap!" seru Bi Emat dari dalam bilik warungnya.

"Eh, Ris, gausah. Gua juga baru dari sini," kata Aris.

"Yaudah. Bi, satu aja!"

"Siap!"

"Eh, boleh deh, kalo dibayarin, mah."

"Bi! Jadinya dua!"

"Dua apa satu?"

"Dua, Bi!"

"Oke!"

"Gimana, Bal. Ada apa?"

Setelah meneguk segelas air putih yang tersedia di situ, aku menceritakan tentang kejadian yang aku alami barusan ke Haris secara lengkap.

"Anak 73? Ramean?"

Dengan sigap, Aris menjawab,

"Rame parah! Padahal 'pesta'nya masih lama, 'kan? Tapi mereka udah pada turun ke jalan. Kayaknya, gabungan ama anak 05 juga. Banyak muka-muka tua, gua liat-liat."

"Hmm ...."

Kami kebingungan, sekaligus khawatir. Karena basis STM 73 yang setiap tawuran selalu membawa bendera ini adalah salah satu imperium terbesar di jagad Bekasi Timur. Hampir seluruh area Cikarang, Cibitung, Pekopen, lampu merah Bulak Kapal, sampai Terminal Bekasi tak ada yang tak mengenal mereka. Apalagi ketua basis mereka yang bernama Jabir ; anak kelas tiga. Akhir semester ganjil ini, mereka pasti akan melakukan sesuatu.

Jujur saja, aku belum pernah melawan mereka, tapi aku pernah sekali melihat kebrutalan gaya tempur mereka yang membabi buta dan tak kenal takut. Solid. Ada satu saja yang terpeleset, tiga dari mereka akan membentengi orang itu. Mendengar ceritanya kembali saja membuatku empot-empotan.

"Bal, Ris, mereka ke arah mana?"

"Kayaknya ke arah Bulak Kapal. Makam Taman Pahlawan."

"Hmm ...."

Ini dia, aku suka sekali saat Haris berpikir hanya bermodalkan beberapa informasi kecil saja. Pemikirannya selalu tajam dan padat. Hampir di setiap keputusan yang didapat dari produk berpikirnya adalah benar. Aku percaya sepenuhnya kepada Haris ; Komandanku.

"Jaga-jaga. Bal, Ris, Mam, yang lain. Anak 73 bakal balik lagi naek truk gede. Gua gak tau pasti mereka mau ngapain balik lagi. Tapi gua pikir, karena Jabir udah kelas tiga sama kayak gua, dan kalau gua jadi Jabir, gua bakal ngelakuin sesuatu."

"Sesuatu apa, Ris?" tanyaku.

"Menyerang sekelompok orang secara kolektif adalah keseharian mereka. Untuk selebrasi terakhir, mereka gak lagi nyerang orang."

"Terus, nyerang apa?"

"Nyerang sekolah!"

Tersentak kaget aku mendengarnya. Di antara kemungkinan-kemungkinan yang bisa kupikirkan, sepertinya pendapat Haris adalah yang paling kuat. Buat apa anak STM sebesar itu konvoi tak tentu arah, lalu balik lagi tanpa melakukan apa-apa? Sudah barang tentu, orang yang mereka kejar tadi di dekatku adalah orang dari geng kecil kampung, atau preman kampung yang berlagak sengak, lalu diburu untuk ditakut-takuti, bukan untuk dihajar.

Aku menjadi semakin gamang. Kepalaku dikabutkan oleh pikiran-pikiran jelek, buah dari omongan Haris yang terdengar masuk akal itu. Tapi, sekolah siapa?

Apa?!

Jangan-jangan?!

"Ris! Jangan-jangan?!"

"Iya, Bal. Gua tau. Jangan-jangan sekolah kita. Iya, 'kan?"

Mataku terbelalak. Karena bisa dibilang, sekolahku dan sekolahnya Muji adalah lawan dari 05, yang mana mereka berafiliasi dengan STM 73 itu. Musuh 05, berarti musuh 73 juga. Oleh karena waktu itu SMA 05 berhasil dipukul mundur dan itu berarti mereka kalah, maka sejurus kemudian, pasti terbitlah balas dendam.

Dan, karena pekan ini kami sudah libur sekolah, pasti sulit bagi mereka untuk membalaskan dendam jika kami sendiri sedang entah di mana kabarnya. Maka, objektif terbaik adalah menyerang sekolahku. Aku takjub atas pemikiran cepat Haris, tapi aku juga ngeri.

"Terus, gimana, Ris?"

"Mustahil ngelawan, Bal. Pasti bakal jatoh korban di pihak kita. Jumlah kita kalah jauh. Bakal lama juga kalo harus ngumpulin anak-anak."

"Jadi?"

"Hmm ...."

"Gua punya rencana. Bi Emat, minta teh tawar anget, dong!"

"Oh, siap!"

"Begini rencananya ...." ****