Chereads / Terbakar (?) / Chapter 11 - 11. Tugas Dan Pertempuran Tak Berujung

Chapter 11 - 11. Tugas Dan Pertempuran Tak Berujung

Ah, sialan! Aku sulit memejamkan mata malam ini! Enggan kelopak mataku bekerja sama denganku untuk segera tidur di sela-sela rentetan suara guntur yang menderu-deru. Aku tahu, karena tak cuma aku, kelopak mataku juga pasti sedang kesengsrem atas apa yang terjadi pagi tadi. Tak mau ia cepat-cepat melewati hari yang begitu spesial ini. Tidur baginya adalah hal haram yang harus dijauhi. Tapi dayaku sudah di sudut jurang. Aku harus tidur. Ayolah, kelopak mata! Tidur!

Dalam sepersekian detik sebelum tidurku, terlintas kepingan-kepingan gambar di benakku, tentang seseorang yang punya rambut indah, yang berhasil menaklukkan hatiku. Secara ajaib, karena aku belum mengenalnya, dan dia juga tidak mengenalku. Tapi dari deskripsi yang Erfin berikan kepadaku, ternyata deskripsi itu adalah kebohongan belaka. Ia tak se-biasa itu. Syifa spesial dan anggun di mataku. Dari gestur dan ekspresinya saja bisa kunilai dengan pasti, bahwa ia adalah orang yang benar-benar berani kucintai.

Setelah kontemplasi yang tenang itu, akhirnya aku pun tertidur.

***

"Bal, lu bisa bantuin gua, 'kan? Bapak gua neken banget," Aris sedang memelas kepadaku. Santapan besar.

"Neken gimana maksudlu, Ris?" tanyaku.

"Lu didempet ke tembok ama bapaklu?" lanjut Aan.

"Atau lu lagi tidur terus bapaklu nindih elu?" sambung Erfin.

"Hmm ...," gumam Hamzah.

"Ih, bukan, tolol! Buat ujian nanti! Bapak neken banget supaya gua dapet nilai gede. Lu tau sendiri, nyuruh gua dapet nilai gede sama aja kayak bikin matahari baru."

"Hah? Maksudlu?"

"Mustahil! Ah elah! Gimana, dong?"

Aku, Aan, Erfin, dan Hamzah saling tatap-tatapan di bawah pohon beringin yang dengan tubuh besarnya menaungi sekaligus mengintimidasi kami itu. Bisa kulihat ada niat jahat yang terpatri di bentuk mata mereka.

"Ya elu belajar, dong. Apalagi? Orang kalau mau kenyang 'kan ya harus makan, bukannya malah lompat jongkok. Mau pinter plus nilai bagus ya, belajar satu-satunya solusi. Gimana sih, lu?!" hardikku.

"Ah, tolol lu, Ris!" hardik Aan.

"Iya gua tolol. Tapi lu juga 'kan tolol, An," pembelaan dari Aris.

"Iya juga."

Aku tertawa mendengar percakapan konyol yang tertuang dari mulut orang-orang yang konyol pula. Tapi pikiranku tidak sedang berada di nuansa humor itu. Mendekati akhir tahun ini, gunting-batu-kertas perasaan di dalam dadaku berkecamuk. Sebentar lagi aku diadang oleh ujian, disibukkan pikiranku oleh Syifa, dan yang paling mendebarkan bagiku adalah yang terakhir ini ; tawuran akhir tahun yang sudah jadi kebiasaan SMA dan STM sejagad Bekasi.

Ingin rasanya aku membicarakan ini dengan teman-temanku yang sedang kalut karena ujian itu. Tapi rasanya tak baik. Jadi, kubiarkan dulu sampai ujian datang.

Seminggu kemudian, dengan persiapan bisa kami lakukan, ujian pun akhirnya datang.

Kebetulan, aku kini terpisah dengan Aris. Orang botak itu duduk di sudut diagonal denganku. Ia di pojok kanan depan, aku pojok kiri belakang. Meski terpaut jarak yang lumayan, bisa kurasakan aura maut yang terpancar dari tubuh Aris.

Matematika, maut. Bahasa Indonesia, mematikan. Ilmu Pengetahuan Alam, menyeramkan. PPKN, menampol harga diri dan identitasnya. Fisika, membuatnya ingin segara mengambil pisau dan menusuk-nusukkan pisau itu ke kertas yang jelimet. Tak ada satu pun mata pelajaran yang bisa menenangkan dirinya barang sekejap pun. Selesai ujian, anak itu pasti kena damprat bapaknya.

Betul saja. Selesai ujian yang melelahkan itu, Aris datang kepadaku dan melapor,

"Bal, parah banget bapak gua."

"Diapain lagi?"

"Gak diapa-apain."

"Terus parah kenapa, Ris?"

Aris mengusap-usap kepala plontosnya, dan berkata dengan nada yang rendah dan wajah tertunduk,

"Masa gua mau dioper ke orang lain. Dioper, Bal. Dioper! Gua 'kan bukan bola. Ngapain dioper-oper?"

"Hahaha ... lucu banget, dah. Lu gak guna, sih. Makanya mau dioper ke orang lain aja."

"Jahat bener lu, Bal."

Dalam pada itu, meski akhirnya prediksi kami betul-betul terjadi bahwa kami berlima menempati posisi juru kunci di kelas kami, kami sudah tak heran lagi. Saat pembagian rapor juga orangtua kami malah asik-asik di luar kelas, sementara orangtua yang lain sibuk mendengarkan dan menunggu sambil berdebar-debar pengumuman peringkat yang akan didapat oleh anak-anak mereka. Orangtua Sempol, saking seringnya Sempol berhasil menduduki peringkat pertama kelas, sampai merasa bosan karena juara satu adalah salah satu kepastian yang beliau dapat di dunia ini.

Aku tak sedih, tapi tak bisa kusangkal bahwa aku kesal karena selalu berada di situ, setiap semesternya.

Dalam kekesalan itu, aku malah memikirkan Syifa. Aneh sekali. Dibanding diriku, aku lebih khawatir tentang Syifa. Meski aku tahu, Syifa takkan berada di posisi jurang yang sama denganku di kelasnya. Namun, fakta itu tak bisa menutupi kekhawatiranku.

Rambutku yang kusut bergumpal-gumpal macam pukat lunas diterjang buaya menjadi saksi, bahwa aku bukan khawatir pendidikannya. Aku khawatir, karena setelah ujian ini, aku untuk sementara waktu tidak akan bisa melihatnya lagi di sekolah, karena kesenangan itu akan dihentikan oleh sosok tirani bernama liburan.

Sambil mengaduk-aduk rambutku, aku mencari suatu ide yang bisa membuatku sedikit melupakan atau minimal menabung rasa rinduku kepadanya.

Di kamarku yang dipenuhi barang-barang tak jelas, kuno, berdebu, dan gaek itu, aku memperhatikan satu per satu barang itu.

Mulai dari tas Jayagiri berwarna merah sebagai tas yang paling mahal yang pernah kumiliki, tapi bolong karena tas pemberian dari RW itu digigit anjing saat aku dan teman-temanku usil kepada anjing galak yang ternyata menyerang membawa teman-temannya itu. Kemudian mungkin setrika uap yang sudah gosong itu? Ah, tak menginspirasi.

Kemudian mataku beralih ke sebuah teko alumunium dengan corak hijau yang berjalur-jalur di atas meja yang berantakan itu. Ah, tak ada inspirasi.

Kutengok sekali lagi poster Bang Haji Rhoma Irama yang keren mengenakan baju hitam, gitar yang buntung kepalanya yang juga berwarna hitam, dan ada tulisan di bawahnya "The Legend Of Dangdut", tapi tak jua menginspirasiku.

Aku bingung. Aku harus apa untuk meredam perasaanku ini?

Aku bangun dari tempat tidurku yang beralaskan kasur tanpa ranjang, dan mendekati meja reyot yang penuh barang-barang itu. Demi mencari gagasan agar tak ada bentrokan di dalam diriku, aku mengusap-usap radio kotak yang sudah usang dan tak berfungsi itu. Kupandangi radio itu perlahan, dari guratan yang malang-melintang di sekitar tombol tuning itu, sampai antena radio yang sudah potong separuhnya, masih tak bisa kudapatkan gagasan itu.

Sampai akhirnya, pencarianku terhenti di sebuah celengan kotak alumunium dengan cover country yang memayungi bagian atasnya.

Ngasih Syifa beginian layak gak, yah? Ah, hajar aja, deh, demikian isi kepalaku bersabda.

Kuambil celengan kece itu, kubawakan secarik tisu basah untuk membersihkan semua bagiannya, dan tampillah kotak celengan itu seperti baru. Masih kosong.

Aku terpikirkan sesuatu. Aku ingin menjadi orang pertama yang mengisi celengan itu.

Kubuka tasku, kuambil sebuah buku dan kutarik salah satu bagian kertasnya untukku menuliskan sesuatu.

Dengan perasaan bangga, kutulis kalimat-kalimat tertulus yang pernah aku tulis, dengan huruf kapital dan sambung, tepat di tengah kertas itu. Isinya adalah,

HAI SYIFA

AKU BUKAN ORANG BAIK

TAPI INI ADALAH HAL TERBAIK

YANG BISA KUBERIKAN

TERIMALAH INI

SEMOGA BISA MEMBANTUMU

DALAM MENABUNG SESUATU,

SESUATU YANG KAMU IMPIKAN

Menuliskan kalimat itu membuat dadaku berdebar-debar. Aku hanya duduk saja dari tadi, tapi jantungku serasa memberitahuku bahwa aku baru saja lari kiloan meter jauhnya. Ini adalah ketegangan yang sama saat aku menghadapi musuh-musuhku. Hanya saja, yang satu ini membuatku bahagia dan berwarna.

Kulipat kertas itu, dan kumasukkan ke dalam celengan.

Selaras dengan terisinya celengan itu, aku mendapat konklusi baru atas perasaan yang baru-baru ini menerjangku, dan aku syukuri. Bahwa aku menyadari, tanpa cinta, hidup ini hanyalah tugas dan pertempuran tak berujung.

Masalahnya adalah, bagaimana caraku memberikan hadiah ini kepada Syifa?

Pertanyaan itu seketika menghantam keras kepalaku, dan membuatku pusing lagi. Ah, sialan! Aku susah tidur!***